"Gadis kampung, mana pantas kujadikan istri."
______
Bukan Istri Idaman
Bisma Ardhana
Kami menikmati malam ini dengan alunan lagu khas Surabaya yang lagi digandrungi anak muda. Beberapa pasangan muda-mudi terlihat mesra sambil mendengarkan lagu yang aku sendiri tidak paham artinya.
Aku menikmati cappucino dan cake yang dipesan Fathan, menikmati cake itu aku jadi ingat Aulia. Seharusnya aku bersenang-senang karena punya istri, nyatanya aku malah kesini karena menghindarinya.
Kulihat Fathan terlihat resah saat melihat ponselnya, sudah dua puntung rokok dia habiskan. Aku sebenarnya tidak suka melihatnya menghirup racun itu tapi dia tidak menggubris ucapanku, katanya kalau tidak merokok dia makin stres.
"Ada apa sih, Tan?" tanyaku, karena kulihat dia beberapa kali menghela nafas berat.
Fathan memperlihatkan ponselnya padaku, terlihat beberapa foto Rani sedang bersama teman-temannya. Tak ada yang salah menurutku, bukankah wajar para wanita berkumpul sekedar jalan dengan teman-temannya.
"Memang kenapa?" tanyaku.
Lalu Fathan memperhatikan isi chat istrinya, aku baca dari atas sampai bawah. Aku sangat kaget dengan permintaan istri Fathan yang tidak masuk akal.
"Kamu tahu gara-gara Rani aku punya hutang ratusan juga, harta warisan dari orang tuaku juga habis," ucap Fathan terlihat kesal.
"Lalu uang sebanyak itu buat apa?" tanyaku tak mengerti.
"Untuk menuruti gengsi, Rani rela mengeluarkan uang puluhan juta hanya untuk sebuah tas. Aku sudah tidak sanggup, setahun saja hutangku sudah sebanyak ini."
"Lalu, apa rencana kamu?"
"Aku akan menceraikan Rani," jawabnya enteng.
Aku tak percaya dengan ucapannya begitu mudah melepas wanita yang dulu dikejar-kejarnya.
Rani dan Risa, mereka bersahabat. Fathan menyukai Rani dan aku menyukai Risa. Tapi karena Risa punya hubungan dengan anak ceo yang terkenal kaya raya, aku tidak berani mendekatinya.
Beberapa bulan yang lalu kami dekat sejak Risa putus dengan pacarnya. Namun kisah kami harus berhenti karena aku menikah dengan Aulia.
Sedangkan Fathan, nasibnya lebih beruntung. Dengan pengorbanannya yang begitu besar akhirnya Fathan bisa menikahi Rani. Tapi kenyataannya kenapa sekarang Fathan malah ingin menceraikan Rani.
"Kamu yakin?"
Sekali lagi Fathan menghembuskan asap nikotin yang tadi di hisap.
"Masih banyak perempuan baik-baik yang pantas dijadikan istri."
"Apa tidak bisa diperbaiki hubungan kalian?"
"Aku sudah memintanya untuk menghentikan kegiatannya, tapi dia tidak mau. Aku menyesal karena tidak menuruti orang tuaku untuk menikahi wanita pilihan mereka. Aku malah memilih Rani yang kupikir berlian ternyata dia tak lebih dari barang rongsokan," umpatnya kesal.
"Maksud kamu?"
"Bisma, kamu itu jangan terlalu polos jadi laki-laki. Perempuan seperti Rani dan Risa itu sudah sering di pakai laki-laki."
Deg! Seketika pikiranku teringat ucapan Kevin kalau Risa itu sudah bekas pakai. Apa sebegitu murahannya mereka sampai mau menyerahkan hal yang paling suci pada laki-laki yang bukan suaminya
"Kalau kamu masih menyukai Risa, sepertinya kamu harus berpikir ulang," imbuh Fathan lagi.
Fathan memang tidak tahu kalau aku sudah menikah, aku tidak memberitahukan padanya karena menurutku pernikahanku tidak penting.
"Aku pikir memilih istri itu harus yang nggak malu-maluin kalau diajak keluar. Yang pergaulannya luas, ternyata aku salah."
Aku mendengarkan Fathan mengungkapkan perasaannya. Pikiranku juga sama perempuan modis dan pergaulan yang luas itu yang pantas dijadikan istri. Ternyata kami salah.
"Than, sebenarnya aku sudah menikah," ceritaku akhirnya.
"Beneran, Bis?"
"Iya, tapi dia gadis kampung."
"Bagus dong."
"Tapi aku tidak mengharapkan pernikahan ini," ucapku.
"Memangnya kenapa?"
"Gadis kampung, mana pantas dijadikan istri," jawabku asal.
"Justru punya istri yang polos begitu enak, Bis. Mereka lebih mudah diatur," ucap Fathan.
"Seperti apa sih istrimu?" tanya Fathan.
Kuperlihatkan ponselku, karena aku tidak punya foto Aulia akhirnya aku tunjukkan foto Aulia di iklan produk kecantikan.
"Ini siapa?" tanya Fathan.
"Dia istriku."
"Gadis kampung?" Fathan mempercayakan apa yang dia lihat.
"Yang membuat dia seperti ini Kevin."
"Maksud kamu?"
"Sebenarnya dia ini gadis kampung, pertama aku ketemu dia kucel banget. Sampai aku tinggal di sini dia berubah seperti ini," jelasku, dan aku pun tidak tahu apa yang terjadi disana kenapa cepat banget berubah.
Kevin mengangguk mulai paham maksudku.
"Mumpung belum terlambat, kamu kembalikan istrimu seperti awal. Istri polos itu lebih mudah dididik, Bisma."
Aku merenungi ucapan Fathan, melihatnya sekacau ini karena istrinya membuatku berpikir apakah Aulia akan menjadi seperti istrinya Fathan jika sudah terkenal. Ini juga salahku, karena terobsesi punya istri idaman yang ternyata persepsiku salah.
Aku jadi ingin segera pulang, ingin melihat sejauh apa perubahan Aulia.
***
Pagi ini aku segera mempersiapkan diri untuk pulang, pikiranku hanya tertuju pada Aulia. Aku tidak mau Aulia berubah, aku akan merasa bersalah padanya.
Masih jelas dalam ingatanku saat aku mengatakan kalau dia bukan Istri yang kuharapkan. Aku juga selalu bilang pada Ibu bahwa aku hanya ingin mempunyai istri seperti Risa. Pasti ibu juga yang berusaha menjadikan Aulia seperti Risa, itu kenapa mereka menjadikan Aulia model.
Setelah melakukan perjalanan yang melelahkan karena dari semalam juga aku tidak bisa tidur, akhirnya tiba kembali ke rumah.
Rumah tampak sepi, mobil ayah dan juga Kevin tidak ada.
Segera aku masuk ke rumah mencari keberadaan Aulia, entah kenapa aku begitu ingin bertemu dengannya.
"Mas Bisma!" panggil Niken langsung mendekatiku.
Niken membantuku membawa koper, kurasa dia sedikit berbeda. Pakaiannya agak longgar dan terlihat agak berisi tubuhnya.
"Mbak Aulia sekarang berubah, Mas," ucap Niken sambil mengambil pakaian kotor yang ada di dalam koper.
Aku diam saja tak menyahutinya, tapi ucapan Niken sedikit membuatku berpikir, seperti apa Aulia sekarang.
"Mbak Aulia dan Mas Kevin terlihat mesra, tiap hari mereka bersama. Bukankah tidak baik kalau mereka sering bersama. Apa Mas Bisma tidak takut mereka saling suka?" ucapnya lagi. Aku masih melihat ponselku pura-pura tidak mendengarkan ucapan Niken. Tapi tidak bisa dipungkiri kalau hatiku mulai panas.
"Kalau sudah selesai kamu cepat keluar dari kamarku," usirku pada Niken.
Dengan cemberut akhirnya Niken meninggalkan kamar ini, sebelum membuka pintu Niken masih sempat berkata lagi yang membuatku makin makin muak dengan Niken.
"Aku tahu kalau Mas Bisma tidak menyukai Mbak Aulia, Niken siap kapan saja untuk menggantikan Mbak Aulia."
Kulihat seluruh kamarku, ada sedikit perubahan di beberapa sudut. Di meja rias terdapat banyak sekali produk kecantikan.
Di atas meja terlihat foto Aulia, berani-beraninya dia pasang fotonya di situ.
Kuliah foto itu, baru aku menyadari kalau Aulia benar-benar menarik. Sungguh bodoh selama ini kubiarkan dia begitu saja.
Kurebahkan tubuhku karena terasa lelah. Tiga bulan aku bekerja keras membuka showroom mencari pelanggan baru. Akhirnya aku tertidur dengan foto Aulia masih di tanganku.
Terdengar pintu kamar terbuka, aku langsung terjaga, nengerjapkan mata.
Terlihat Aulia dan Kevin di dalam kamar. Melihat mereka berdua aku langsung duduk.
"Kak, kapan pulang?" tanya Kevin. Aku tak menjawab pertanyaannya, pikiranku berkelana sedekat apa hubungan mereka hingga Kevin berani masuk ke kamarku.
"Jangan salah paham, aku hanya membawakan belanjaan Kak Aulia," ucap Kevin tenang.
Aulia berlalu meninggalkan kami lalu masuk ke dalam kamar mandi. Bahkan dia tidak menyapaku.