"Acer kau ada di mana? Aku butuh bantuanmu." Jhon harus mendiskusikan masalah yang ditemuinya hari ini.
Acer bersedia menemuinya nanti malam. Sementara Jhon sebenarnya ingin mendiskusikan masalah pria bernama Donelo itu pada Eigner atau pun Sam. Namun, mereka tampaknya masih tidak percaya padanya.
Hal itu terlihat dari sambutan Eigner ketika Jhon ingin membicarakan masalah pria yang punya bekas luka di wajahnya itu. Eigner tidak punya waktu hari ini dan minta Jhon menemuinya besok.
Akhirnya Jhon pun mengikuti keinginannya, memilih untuk mencari alternatif lain. Jhon akan menjaga botol minum yang sudah dipegang oleh Donelo. Secepat mungkin Jhon menempelkan selotip bening ke permukaan botol tersebut agar tidak merusak struktur sidik jari yang ada di sana. Jhon bisa pastikan botol itu hanya dipegang oleh dia dan pria itu saja hari ini.
Sesampainya Jhon di rumah Acer.
Pria itu membawa makanan sebagai buah tangan. Terlebih di sana ada putrinya Acer yang sakit. Sudah lama menyendiri di rumah dan dijaga oleh pelayan.
Acer menerima bawaan Jhon dan memintanya duduk terlebih dahulu. Jhon mengangguk, melihat pria itu ke dapur untuk menyalin makanan yang dibawanya.
"Kau jangan repot-repot membuatkanku minuman."
"Lalu kau ingin bibirmu kering?"
"Haha, kalau tidak repot ya silakan!"
"Alasan! Padahal kau bisa menghabiskan 2 liter air selama di sini."
Jhon pun tertawa cekikikan. "Hihi, kau ada-ada saja. Bahkan air di galon pun kau hitung berkurang seberapa banyak?"
Acer ikut tersenyum.
"Bagaimana keadaan putrimu?" tanya Jhon.
"Sehat, dia baru makan."
"Ah, apa terapinya berjalan baik?"
"Hmm, sudah lebih baik. Sudah bisa bicara juga."
"Syukurlah, aku ingin melihatnya."
"Jangan buat keanehan!"
"Ya, tenang saja." Jhon naik ke lantai dua dan mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Hadiah untuk putri cantik Acer yang sudah berusia 19 tahun itu.
Ya, bukan anak kecil yang seperti dipikirkan, melainkan seorang remaja yang telah kehilangan semangat hidup karena alasan yang tidak diungkapkan oleh Acer pada Jhon. Saat ditanya, jawabannya hanya senyuman.
Pintu kamarnya terbuka, Jhon mengetuk pelan. Dua wanita di dalam menoleh bersamaan. Perempuan manis berambut panjang bergelombang itu mengira ayahnya yang masuk.
"Ayah," panggilnya.
Nani, pengasuhnya pun melihat ke arah pintu. Ternyata yang masuk bukan Acer melainkan Jhon. "Itu paman Jhon," bisik wanita berumur 50 tahunan itu.
Sontak anak itu pun mengalihkan perhatian. Tidak senang bila ada orang lain masuk ke kamarnya, terlebih pria selain ayahnya.
"Hai, Monica!" sapanya.
Perempuan itu hanya diam saja. Tidak mau menoleh padanya.
"Jhon, apa kabar?" tanya Nani.
"Baik, Nani! Bagaimana keadaan kalian?"
"Sehat, aku dan Monica baik-baik saja."
"Syukurlah." Jhon mendekat dan hendak melihat keadaan Monica, tetapi wanita itu membuang muka. Jhon pun tersenyum. Bukan kali pertama dia ke rumah Acer, tetapi tetap saja tidak diterima oleh Monica.
"Nak, paman menjengukmu."
"Ah, iya Bi, Aku belum seumuran paman. Aku masih muda, baru 20 tahunan."
"Lalu kau mau dipanggil siapa?" Nani tersenyum.
"Jhon saja."
Nani pun tersenyum kembali, "Jhon ingin menyapamu, jangan sombong, ayo sapa balik." Dia berusaha membuat Monica mau bersosialisasi, tetapi sampai sekarang tidak berhasil.
Jhon merendahkan tubuhnya di dekat Monica, memberikannya kotak berwarna putih. Perempuan itu meliriknya. Mata abu mudanya sangatlah indah.
"Monica, aku bawakan sesuatu untukmu." Jhon mendekatkan kotak itu.
Monica mencoba untuk mengabaikannya. Namun, saat Jhon membuka kotak itu, pancaran sesuatu dari dalam membuatnya menoleh. Kilauan permata dari sebuah jepit rambut menyita perhatiannya.
Jhon tersenyum. "Kau suka? Ini untukmu. Aku beli dari Austin."
"Austin?"
"Ya, aku bertugas di sana kemarin."
"Terima kasih!" Monica tersenyum.
"Sama-sama, pakai lah di rambut indahmu. Kau akan semakin cantik."
Monica tersenyum tipis. Itu kali pertama Jhon melihatnya tersenyum. Selama ini perempuan cantik itu hanya diam saja menatapnya sinis.
"Aku Jhon, kau mungkin ingat namaku. Kalau kau mau kita bisa jadi teman."
Monica menggeleng. "Tidak, aku benci pria."
"Mengapa? Aku seorang polisi, kalau ada yang menjahatimu, aku akan menangkapnya," hibur Jhon.
"Papa juga polisi, tetapi tidak bisa-" seketika Monica diam dan tidak menyambung ceritanya. Jhon berharap mendengar cerita itu langsung darinya dan bisa bantu Acer memecahkan masalah yang ditutupinya.
Nani juga tidak mau cerita padanya meski dulu sudah dirayu dengan makanan. Jhon masih penasaran, tetapi sepertinya hari ini bukan waktu yang tepat.
Jhon tersenyum simpul padanya, terselip rasa kasihan pada putri satu-satunya Acer yang mengalami tekanan batin, tanpa tahu alasannya.
"Aku menemui ayahmu dulu ya," katanya lalu berdiri dan meninggalkan kamar setelah pamit pada Nani.
Jhon menuruni tangga sambil berpikir, Apa sebenarnya yang terjadi pada Monica? Kenapa dia takut pada pria?
Di ruang kerja Acer.
Acer sudah duduk di sofa, menatap laptop yang menyala di meja. Saat Jhon masuk dan mendekatinya, Acer melirik ya dari balik layar.
"Kau tidak membuatnya takut?"
"Tentu tidak." Jhon duduk di sampingnya. "Monica semakin cantik."
"Hanya cantik yang ada dalam otakmu."
"Haha, harusnya kau mengucapkan terima kasih padaku karena sudah memujinya."
"Aku tidak perlu pujianmu."
Jhon menyeringai lalu menggeleng. "Acer, sebenarnya apa yang kau tutupi dariku? Monica bisa seperti itu karena apa?" tanyanya.
"Jangan bahas itu, bahas yang mau kau bahas saja sampai kau mengganggu waktu santaiku."
"Wah, dasar!" Jhon mengeluarkan botol minum dari dalam tasnya dan beberapa bukti yang sudah dikumpulkannya.
Acer menarik diri dan memperhatikan semua barang yang diletak sahabatnya itu, alisnya pun sedikit bergerak.
"Apa ini?"
"Aku disuruh mendatangi semua pengrajin sepatu yang ada di Chicago."
Acer pun menahan tawa. Jhon meliriknya.
"Kenapa tertawa?"
"Kau dikasih tugas berat?"
"Tidak juga, menurutku menyenangkan dari pada ikut operasi lapangan mereka yang tidak punya kejelasan, mending keliling sepertiku dengan alasan jelas."
Acer tersenyum miring. "Mereka belum dapat apa pun juga?"
Jhon menggeleng. "Belum," jawabnya tersenyum turun.
"Aneh, tim yang diagungkan kenapa kerjanya lambat?"
"Menurutku ya, mereka itu sudah diawang-awang karena pujian, terus sibuk-sibuk tidak menentu."
Acer tersenyum lagi. Jhon meliriknya. "Kenapa kau senang?"
"Tidak, aku hanya ingin tahu kinerja tim kesayangan Charles Dowson."
"Heeei, kenapa kau dan Komjen sepertinya tidak akur? Apa aku melewatkan sesuatu?"
"Kau memang melewatkan banyak hal."
"Acer, kau jangan membuatku tidak percaya diri." Jhon mengerutkan kening.
Acer memukul kepalanya. "Jauhkan rasa takutmu, karirmu masih panjang dan kau harus naik jabatan setelah ini."
"Oke siap, Bos!" Jhon pun langsung ke inti pembicaraan. Mengatakan semua yang ditemukannya dalam penyelidikan mandiri. Acer sama-sama menganalisis masalah yang ada dan merasa kalau Jhon sudah naik ke tahap selanjutnya.
"Kau harus mengambil foto pria itu dan sidik jari ini bawa ke Komjen dulu sebelum bawa ke tim."
"Kenapa begitu?"
"Karena tim yang kau masuki itu tidak menghargai usahamu."
"Ah, begitu ya, oke akan aku ingat."
Jhon kembali mendiskusikan tentang langkah selanjutnya pada Acer. Namun, pria itu tidak bisa terlalu jauh mencampurinya.
"Acer, bantu aku. Kau harus ikut aku ke lapangan," bujuk Jhon.
"Tidak bisa, aku bisa kena masalah."
"Kau tidak mau bantu aku? Kenapa?"
"Orang yang ditugaskan untuk masalah ini di tim kita hanya kau saja."
Jhon pun marah, "Kau memintaku untuk naik jabatan, tapi tidak mau membantuku."
Acer pun menghela nafas. "Komjen akan marah padamu dan aku kena sanksi. Bahkan sebenarnya bukti ini tidak boleh kau bawa keluar tim."
Jhon benar-benar emosi dan memilih untuk mengakhiri perbincangan malam ini. Acer merasa Jhon salah paham.
"Jhon, pahamilah posisiku."
"Terserah, yang aku tahu kau memang tidak mau membantuku."
"Bukan seperti itu, Jhon!"
"Oke, baiklah, Aku tidak akan minta tolong padamu lagi. Aku akan melakukannya sendiri."
"Jhon, aku hanya tidak mau berurusan dengan si Charles."
"Kalau kau punya masalah dengan Komjen, jangan sampai membuatku bermasalah juga. Aku juga tidak mau masuk tim Light, aku lebih nyaman di zonaku."
Jhon pamit pada Acer dengan kecewa, begitu juga Acer yang tidak bisa menceritakan masalah pribadinya terkait Komjen Charles.