Hukuman

2049 Kata
Terlihat jelas tanda lahir di bagian pinggang gadis itu saat selimut terbuka, Daren segera melingkarkan selimut Carla yang melorot dengan tangan bergetar. Carla merasakan tangan Dareen menyentuh kulitnya, dia pun tersentak dan sedikit melonggarkan pelukannya. Namun, suara petir yang menyambar-nyambar lebih membuatnya takut dari apa pun. “Aku takut.” Carla memejamkan matanya sembari merangkul tubuh kekar itu. “Tidurlah, Saya akan menemani, Nona.” Dareen memapah tubuh Carla yang sudah tertutup rapat oleh selimut. Tubuh gadis itu masih menggigil karena udara malam semakin dingin. Carla membaringkan tubuhnya yang masih menggigil. Tiba-tiba Dareen memeluknya hingga seluruh tubuhnya tertutup tubuh Dareen. “Percaya sama saya, Nona. Saya tidak akan melakukan hal buruk pada Nona,” ujar Dareen. Dia tidak akan mengingkari janjinya pada Frans yang akan selalu menjaga Carla bagaimana pun keadaannya. Carla merasakan tubuhnya menghangat saat tubuh mereka saling menempel, dia merasakan napas Dareen menghembus mengenai wajahnya begitu hangat. Darah lelaki itu terasa panas dan menyalurkan kehangatan pada tubuh Carla. Mereka benar-benar terjebak dalam suasana yang tidak baik. Dua orang dewasa dalam satu kamar dan dalam keadaan tanpa berbusana. Carla pasrah jika Dareen melakukan hal buruk padanya, tubuhnya juga sangat sulit di control. Hingga semalaman mereka menahan segala yang ada dalam tubuh mereka. Dareen benar-benar memegang janjinya meskipun itu sangat sulit untuk dilakukan. Suara riuh terdengar dari luar, Dareen segera melepaskan pelukannya dan merenggangkan kedua tangannya. Posisi tidurnya yang salah telah membuat tubuhnya sakit semua. Dia segera memakai pakaiannya yang sedikit mengering, dia akan mencarikan pakaian untuk Carla dan segera kembali setelah air surut. Tidak bisa membayangkan jika mereka harus bertahan lebih lama di sana. Gadis itu telah membuat tubuhnya sakit dan kepalanya pusing. Orang-orang di luar begitu kebingungan karena hujan semalam mengakibatkan air meninggi, mereka telah terjebak dalam kepungan air yang juga masuk ke lantai bagian bawah. “Jalan utama rusak, bendungan jebol. Kita terjebak di sini.” Suara seseorang sedang menelepon. Dareen mencari Edward, dia harus segera membelikan baju untuk Carla. Dia menyibak gerombolan orang berwajah panik, dia sendiri juga panik karena air semakin tinggi dan sudah menggenagi lantai bawah. Dia lalu menghubungi asistennya untuk mengirim bantuan agar mereka bisa pulang. Dia menyesal tidak memperkirakan kemungkinan terburuk itu, dia juga tidak membawa baju ganti. “Fred, kamu kirim beberapa orang untuk menjemput kami.” Dareen memberi perintah pada asistennya. “Iya, Pak. Kami akan segera ke sana.” Dareen berjalan ke lobi mencari Edward. Wajah-wajah bingung dan juga panik terlihat jelas pada wajah mereka yang masih terjebak banjir di penginapan itu. Air semakin meninggi akhirnya mereka semua naik ke atas menghindari banjir. Dua orang laki-laki menghampiri Dareen, mereka juga terlihat panik melihat air yang semakin tinggi. Apalagi ada orang-orang penting di sana yang harus mereka lindungi. Dalam keadaan bencana alam seperti itu, semua tidak bisa berbuat apa-apa, sebanyak apa pun harta yang dimiliki tidak bisa menyelamatkan mereka. “Tuan Dareen, maaf. Kami tidak memprediksikan adanya bencana alam seperti ini. Seharusnya kami mempertimbangkan karena sekarang ini musim hujan. “Tidak apa-apa, Pak, saya tidak menyalahkan siapa pun, ini murni karena bencana alam,” ujar Dareen. Memang rencana peresmian pabrik itu sebulan yang lalu, tapi karena meninggalkan sang Presdir, membuat semua agenda dibatalkan. “Tapi apa memang di sini selalu banjir saat hujan?” tanya Dareen. Mereka berdua saling pandang seolah menutupi sesuatu, “Em … sebenarnya dulu tidak,” jawab Rudi—pengelola pabrik yang telah dibangun itu. “Maksudnya, apa setelah pabrik ini dibangun tempat ini menjadi banjir? Tanya Dareen. “Iya, Pak.” Edward menundukkan wajahnya karena takut, dia merasa telah melakukan kesalahan. Seorang pelayan mendorong troli makanan menuju kamar yang ditempati Carla, Dareen segera menghampiri lelaki itu . “Pak, apa saya bisa mendapatkan pakaian untuk nona muda? Pakaiannya basah, dia tidak mungkin memakai pakaianya lagi,” tanya Dareen sopan pada pelayan yang usianya hampir sama dengan ayahnya. “Ada, Tuan. Kebetulan anak saya menjual pakaian, tapi pakaian murah. Apa tidak apa-apa Nona Muda memakai pakaian murah?” tanya pelayan itu polos. “Justru saya sangat berterimakasih jika Bapak bisa membawakan baju untuk Nona Muda. Saya tunggu, ya, Pak. Biar makanan ini saya yang bawa ke dalam.” Dareen membawa makanan itu ke dalam dan menaruhnya dekat dengan ranjang tempat Carla tidur. “Nona segera makan, nanti pelayan membawakan pakaian untuk Nona,” ujar Dareen lalu dia meninggalkan Carla di kamar itu. Lalu dia menemui  Edward untuk membahas masalah banjir itu. “Kita harus membahas masalah ini, Pak.” Daren berkata pada Edward, dia merasa bertanggung jawab atas kejadian ini. “Baik, Tuan Dareen. Kami akan siapkan untuk rapat darurat.” Para petinggi perusahaan memang selalu mendapatkan pengarahan dari Fransisco untuk selalu berhati-hati setiap kali melakukan pembangunan, jangan sampai merugikan warga sekitar. Banjir kali ini masih belum diketahui masalahnya, yang jelas banjir semakin parah saat setelah pabrik di bagun. Edward memberitahukan pada para petinggi perusahaan dan juga mengundang kepala desa untuk mengevaluasi kenapa terjadi banjir. Edward merasa bertanggung jawab atas masalah ini kerena pembangunan terjadi juga atas persetujuannya. Rapat darurat ditengah-tengah kepungan banjir pun diselenggarakan, Dareen orang yang dipercaya menggantikan posisi pemilik perusahaan meminta penjelasan atas kejadian ini. Setelah mendengar berbagai argument yang diberikan beberapa pelaksana pembangunan pabrik, penanggung jawab dan juga perwakilan warga, ternyata pabrik dibangun di area resapan air. Dareen menyayangkan hal itu, tapi semua sudah terlambat karena pabrik sudah berdiri kokoh. “Kita harus pikirkan bagaiamana banjir bisa segera surut, jangan sampai karena ambisi kita bisa mengorbankan warga,” ujar Dareen. “Kami akan mengevaluasi lagi,” jawab Edward. Rapat pun selesai, Dareen segera meninggalkan tempat rapat yang tergenang air itu, dia lalu naik ke lantai atas untuk melihat Carla. Dia lega setelah melihat gadis itu sudah mengenakan pakaian. “Kapan kita bisa pulang?” tanya Carla yang terlihat kesulitan mengikat rambutnya, gadis yang tidak pernah melakukan apa pun walau hanya sekedar mengikat rambut. Daren meminta gelang rambut yang di pegang Carla, lalu dia membantu mengikat rambut gadis itu. Leher jenjang Carla yang terlihat putih membuatnya menelan ludah. “Kita tunggu air surut,” jawab Dareen singkat. “Tuan Dareen, tadi pelayan membawakan anda pakaian dan itu makanannya juga masih banyak.” Carla menunjuk kaos dan celana yang berada di atas sofa. Dareen segera mengambil kaos itu lalu membuka pakaiannya, dia sudah tidak nyaman dengan pakaian yang dia kenakan sejak kemarin. Carla memalingkan wajahnya saat melihat Dareen mengganti pakaiannya. “Seharusnya anda bilang dulu kalau mau ganti baju biar saya keluar,” protes Carla. Dareen tidak menanggapi omelan gadis itu. “Anda telah menodai mata saya,” keluhnya lagi. “Mata saya lah yang ternoda Nona. Anda telah seenaknya memperlihatkan tanda lahir Nona.” Carla langung melotot mendengat ucapan Dareen karena tanda lahir itu berada di pinggangnya, dia tidak terima atas keluan Dareen yang berani melihat tubuhnya. “Kenapa, Anda kurang ajar.” Carla menatap kesal pada lelaki itu. “Bukan saya yang kurang ajar, Nona. Tapi anda yang sengaja memperlihatkannya,” tuduh Dareen. “Tuan Dareen. Seorang Carla Alexandra bisa melakukan hal seperti itu? Apa anda tidak tahu jika saya ini wanita terhormat. Laki-laki mana yang tidak ingin mendapatkan saya.” Carla mendengus kesal, harga dirinya telah diinjak-injak oleh asisten pribadi ayahnya. Dareen tersenyum sinis, “Sudah jelas, Nona yang memeluk saya dan memperlihatkan tubuh nona pada saya. Nona telah menodai mata saya.” “Bukankah, Anda yang memanfaatkan keadaan, semalam?” Dareen tersenyum sinis, lalu dia mengambil makanan yang disisakan oleh Carla. Cacing di perutnya sudah menjerit meminta haknya, apalagi  setelah berdebat dengan gadis itu membuat tenaganya terkuras habis. Carla berjalan menuju pintu dia ingin menghirup udara segar di luar, udara segar yang dihirupnya kemarin membuatnya ingin menikmatinya lagi, sangat sulit menadapatkan udara sejuk di kota tempat tinggalnya. “Nona, mau kemana?” tanya Dareen saat gadis mulai memegang tuas pintu. “Ingin menghirup udara segar, di sini udaranya pengap,” jawab Carla sinis sembari melirik Dareen. “Tetap diam di sini, Nona!” “Kenapa?” “Sangat berbaha jika Anda di luar.” Lelaki itu tetap menikmati makannya tanpa terganggu sedikitpun dengan decakan kesal Carla. Sungguh, sejak bersama Dareen hidupnya semakin membosankan. Dia tidak bisa membayangkan jika hari-harinya harus bersama lelaki angkuh itu. Carla akhirnya menghempaskan tubuhnya di ranjang itu dengan kesal, lalu dia mulai membuka ponselnya. Carla melihat pesan yang baru masuk sejak terakhir dia lihat, sepuluh jam yang lalu dia membuka ponselnya. Dibukanya aplikasi warna hijau itu lalu dibukanya pesan dari kontak yang bernama Damian. [Sayang, kamu di mana? Kenapa tidak pulang?] isi pesan tersebut. Carla meletakkan lagi ponselnya lalu dia merebahkan lagi tubuhnya karena tiba-tiba saja dia merasakan tubuhnya tidak nyaman. Carla mulia mengingat laki-laki bernama Damian yang mengaku sebagai calon suaminya, dia heran kenapa tidak mengingatnya sama sekali padahal lelaki angkuh yang bersamanya  sangat dia ingat. Dia semakin tidak yakin kalau Damian adalah orang penting dalam hidupnya. Setelah selesai makan, Dareen mendekati Carla, dia tampak khawatir dengan gadis itu yang terlihat memegangi perutnya. Apa pun yang dilakukan Carla tidak pernah luput dari pengamatannya, dia memang selalu memperhatikan gadis itu untuk memastikan dalam keadaan baik karena gadis itu sangat berharga bagi perusahaan. “Nona kenapa?” tanya Dareen. “Tidak kenapa-kenapa, hanya bosan melihatmu sepanjang hari,” Jawab Carla asal. Lelaki itu hanya tersenyum lalu dia mendekati Carla. Carla menahan napasnya saat Dareen semakin mendekatinya, dia pun menggeser tubunya. Dareen mengunci tatapannya tepat ke mata Carla, mereka akhirnya saling menatap. Ada desiran halus di dalam sana yang Carla sendiri tidak tahu apa itu, yang jelas tatapan Dareen membuatnya begitu nyaman. Dareen semakin mendekatkan wajahnya, hidung mancung mereka hampir tak berjarak. Tiba-tiba, suara ketukan pintu membuyarkan semuanya, dan setan pun kecewa karena usahnya untuk menyesatkan keduanya gagal. Lelaki itu meninggalkan Carla yang masih menahan debaran dadanya tanpa merasa barsalah sedikit pun. Dia lalu bergegas membukakan pintu untuk melihat siapa yang datang. “Tuan, ada Tuan Fredy.” Edward menundukkan kepala hormat saat Carla ikut menghampiri mereka. Dareen berjalan menuju lobi untuk menemui Frady tanpa menoleh ke arah Clara yang mengikutinya dari belakang, gadis itu terus saja mengikuti Dareen dan Eward berada di belakangnya. Melihat Fredy bersama beberapa pengawal membuat Dareen lega. Edward langsung menyiapkan tempat duduk untuk Carla dan Dareen. Dareen yang tidak menyadari kalau Carla mengikutinya, dia langsung mendekati gadis itu. Menurutnya, tidak baik bagi keselamatan Carla jika ikut keluar, apalagi saat ininya keadaannya  tidak kondusif. “Nona, kenapa anda ikut?” bisiknya. “Aku bosan berada di kamar terus.” “Di sini sangat berbahaya, Nona.” “Aku tidak peduli, aku tidak mau berada di kamar terus.” Dareen lalu berbisik pada edward, Carla hanya menatapnya sekilas lalu melihat satu persatu orang-orang yang berada di sana. Tidak satu pun orang yang dia kenal, dia sendiri tidak tahu apakah memang dia tidak pernah bertemu mereka atau memang dia melupakan mereka. “Nona, kembali ke kamar. Pak Edward, tolong antar Nona Carla ke kamar,” ucap Dareen tegas. “Mari, Nona.” Edward menunduk ramah dan mempersilahkan Carla untuk kembali ke kamar. Namun, gadis itu bersikeras tetap di sana karena dia sudah bosan berada di kamar. Dareen beranjak dari duduknya, dengan cepat dia langsung mengangkat tubuh Carla dan membopongnya menuju lantai atas. Semua orang di sana melihat adegan itu sambil tersenyum. Sangat manis hubungan presdir dan asistennya itu. Ya, mereka tahu bahwa Carla memang anak yang manja dan keras kepala. “Tuan Dareen, turunkan saya!” Carla terus saja meronta untuk turun, dia sangat malu dengan tatapan orang-orang di sana. Sedangkan Dareen tidak sedikit pun menanggapi Carla, dia terus saja membawa gadis itu hingga ke kamar penginapan itu. Dareen menurunkan Carla ke ranjang, karena Carla terus saja meronta akhirnya Dareen hilang keseimbangan dan tubuhnya menindih tubuh Carla. Mereka sempat menikmatinya dengan saling menatap dengan tatapan yang … entahlah. “Nona, jangan menyusahkan saya,” ujar Dareen dengan masih dalam posisi di atas Carla. Carla mendorong tubuh Dareen saat lelaki itu tiba-tiba mendaratkan ciuman di pipinya. “Tuan Dareen, anda jangan kurang ajar!” Carla segera mengusap bekas bibir Dareen di pipinya. Lelaki itu pun tersadar atas kekhilafan yang dilakukannya, dia juga melakukan hal sama mengusap bibirnya. “Kalau Nona masih saja tidak menuruti perintah saya, Nona akan mendapatkan hukuman lebih dari itu.” Carla langsung menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, dia sangat takut jika Dareen benar-benar malaksanakan ancamannya. Dia tidak punya siapa-siapa di dunia ini, hanya Dareen yang punya kuasa penuh atas semua yang menjadi miliknya, dia sendiri tidak tahu Dareen itu seperti apa orangnya.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN