BAB 1 : Gagal Cerai
“Lepaskan!” Rheva berusaha melepaskan cengkeraman Naren pada pergelangan tangannya.
Naren tidak menggubris. Kakinya terus melangkah menuju kamarnya. Rheva mengikuti dengan langkah sedikit terseok. Naren baru melepaskan cengkeramannya begitu mereka berada di kamar.
Rheva menatap nyalang Naren sembari mengelus pergelangan tangannya yang merah dan sedikit sakit. “Apa maumu?!”
“Justru aku yang harusnya bertanya seperti itu. Apa maksudmu datang ke pengadilan?” nadanya dingin dan tajam. Begitu pun dengan tatapannya. Ketidaksukaan tergambar jelas di wajahnya.
“Aku ingin bercerai darimu.”
“Cerai? Siapa yang mengizinkanmu untuk cerai dariku?” geram Naren. Ia melangkah mendekati Rheva yang refleks melangkah mundur.
“Berhenti! Jangan mendekatiku lagi,” pinta Rheva ketika tubuhnya terhalang dinding. Suaranya sedikit bergetar. Dadanya berdebar kencang. Rasa takut perlahan menjalari dirinya begitu Naren semakin memperpendek jarak mereka.
Naren menghentikan langkahnya. Menyisakan jarak satu langkah dengan Rheva. Tidak sedikit pun ia mengalihkan pandangannya dari wanita itu. “Jangan harap kamu bisa menuntut cerai dariku.”
Rheva memberanikan diri menatap wajah Naren, tepat di mata pria itu. “Kenapa? Bukankah seharusnya kamu senang karena akhirnya bisa bersama dengan selingkuhanmu?”
Naren membungkukkan sedikit tubuhnya yang jangkung. Wajah mereka berhadap-hadapan dengan jarak yang cukup dekat. Bahkan Rheva dapat merasakan napas hangat pria itu menerpa wajahnya. Rasa takut membuat dadanya semakin berdebar tidak terkendali.
“Apa yang kamu lakukan? Menjauh dariku!” Rheva mendorong bahu Naren, tetapi pria itu segera meraih tangannya.
Naren memperhatikan setiap perubahan kecil pada wajah istrinya. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat. “Kamu marah dan cemburu pada Naila?”
Mendengar itu, refleks Rheva menatap Naren dengan mata melotot. “Kamu pikir aku robot? Dengar, Naren. Meskipun aku mencintaimu, bukan berarti aku wanita bodoh yang tetap mencintaimu dan setia padamu yang telah berselingkuh tepat di depan mataku.”
“Kalau begitu, maka kita tidak akan pernah bercerai. Karena aku akan membuatmu untuk terus mencintaiku.”
“Itu hanya ada dalam mimpimu!”
“Kita buktikan saja, Sayang.” Naren mencolek dagu Rheva yang langsung ditepis dengan kasar oleh wanita itu.
“Kamu terlalu egois, Naren!” raung Rheva. Ia tidak peduli apakah suaranya akan membuat Naren tuli atau tidak.
“Ya, aku memang egois.”
“Kamu berengsek!”
“Itu nama tengahku, Sayang.” Naren kembali meraih dagu Rheva. Dalam sekejap mata, pria itu mencium bibir Rheva.
Rheva terkejut mendapat serangan tidak terduga. Tubuhnya bahkan sampai kaku untuk beberapa saat. Begitu sadar dengan apa yang terjadi, ia segera mendorong tubuh Naren sekuat tenaga hingga ciuman mereka terpisah.
“Sialan! Berani-beraninya kamu menciumku, Berengsek!”
Rheva mengusap kasar bibirnya dengan punggung tangan. Ia menatap tajam Naren. Seolah ingin membunuh pria itu dengan tatapan matanya. Pasalnya ini adalah ciuman pertamanya. Rheva akui bahwa Naren adalah pria tampan, tetapi ia tidak terima ciuman pertamanya diambil oleh orang berengsek seperti Naren.
Alis Naren terangkat tinggi dengan reaksi Rheva. Ia meraih tangan Rheva, menghentikan wanita itu untuk terus mengusap bibirnya yang kini sedikit merah dan bengkak.
“Apa kamu sengaja menggodaku supaya aku kembali menciummu?”
“B*jingan sialan!” maki Rheva marah. “Dengar, apa pun yang terjadi, aku tetap akan menggugat cerai dirimu.”
“Lakukan apa pun yang kamu mau. Tapi kamu juga harus ingat satu hal, aku tidak akan melepaskanmu sampai kapan pun.”
“Kenapa? Apa karena kakek belum mewariskan perusahaan padamu, sehingga kamu tidak mau bercerai denganku?”
‘Kenapa ini tidak berjalan sesuai rencana?’ raung Rheva dalam hati. Dirinya benar-benar frustasi dalam menghadapi Naren yang keras kepala.
Rheva tidak tahu bagaimana jiwanya bisa berpindah ke dalam n*vel romansa yang baru saja selesai ia dibaca. Karena itulah, saat menyadari bahwa dirinya berada dalam n*vel berjudul ‘Akhirnya Suamiku Membalas Perasaanku’, hal pertama yang ia lakukan adalah menggugat cerai Naren Mahendra. Suami dari protagonis wanita.
Rheva tidak peduli jika isi dari n*vel tersebut akan berubah akibat dirinya tidak mengikuti alur cerita aslinya. Ia melakukan itu karena sangat muak dengan karakter Naren. Seorang pria yang telah berselingkuh tepat di hadapan istrinya. Karena itulah, apa pun yang terjadi, ia harus bisa lepas dari Naren. Selain itu, Ia tidak akan membiarkan Naren menjadikan dirinya alat untuk pria itu mendapatkan Mahendra Group.
Namun, Rheva tidak menyangka Naren akan menghentikannya tepat saat ia menginjakkan kaki di gedung pengadilan. Membawanya pulang dengan paksa.
Tubuh Naren menegang, tetapi tidak ada perubahan ekspresi pada wajahnya. Namun, hal itu hanya terjadi sesaat. Naren semakin memperpendek jarak mereka. “Jika kamu sudah tahu alasannya, maka berhentilah untuk menuntut cerai dariku.”
“Dalam mimpimu! Pokoknya aku ingin bercerai darimu.”
Naren hanya tersenyum miring. Kembali, tanpa aba-aba, Naren mencium bibir Rheva. Namun, kali ini hanya sebentar. Pria itu segera berbalik dan keluar dari kamar untuk kembali ke perusahaan. Meninggalkan Rheva yang memaki Naren tanpa henti atas tindakan pria itu yang kembali menciumnya.
Rheva bukanlah wanita penurut. Setelah kepergian Naren, ia kembali pergi ke pengadilan. Namun, tepat ia keluar dari taksi, seorang pria menghadang jalannya dan memaksanya untuk kembali pulang.
Tidak ingin menjadi tontonan publik, Rheva pun menurut. Namun, ia tidak pulang ke rumah, melainkan meminta Vito mengantarnya ke perusahaan Naren. Setibanya di sana, Rheva langsung menuju ke lantai 19, di mana ruang kerja Naren berada. Tentunya setelah ia bertanya pada resepsionis.
Tanpa mengetuk pintu, Rheva membuka pintu ruang kerja Naren dengan kasar.
“Kenapa kamu menyuruh orang untuk mengawasiku?” cecar Rheva sembari menghampiri Naren yang duduk di meja kerjanya.
Naren menatap Rheva dengan senyum lebar. Dengan santainya ia berkata, “Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak akan melepaskanmu?”
“Kamu memang pria berengsek, Naren!” raung Rheva menumpahkan kekesalan yang sudah menumpuk sejak tadi kepada Naren.
“Terima kasih untuk pujiannya.” Naren tidak mengambil hati makian dari Rheva. Dan hal itu semakin membuat Rheva kesal sampai ke ubun-ubun.
“Dengar, Naren.” Rheva berkata dengan sedikit nada mengancam. “Tidak peduli seberapa banyak kamu menyuruh orang untuk mengawasiku, aku tidak akan menyerah. Aku akan tetap menggugat cerai dirimu.”
“Benarkah?” Naren meletakkan kedua tangannya yang bersilang di atas meja. Nadanya sedikit menantang saat ia berkata, “Kalau begitu lakukan apa yang kamu inginkan. Aku ingin melihat apa yang bisa kamu lakukan.”
Kedua tangan Rheva terkepal erat. Rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu akan menyesal karena telah menantangku, Naren!”
“Aku menantikannya, Sayang.” Naren memasang senyum lebar, membuat Rheva semakin kesal kepada pria itu.
Detik itu juga Rheva meninggalkan ruang kerja Naren. Ia tidak ingin tinggal lebih lama bersama Naren. Takut dirinya akan gila jika terus berdekatan dan berdebat dengan pria itu.
‘Kamu tunggu saja pembalasanku, Naren!’ marah Rheva dalam hati. ‘Jangan pikir aku akan menyerah dan menghabiskan sisa hidupku denganmu. Itu tidak akan pernah!’