"Waah rame ternyata, aku kira sendiri. Haha," seruku saat sampai di meja. Nada kalimat ini harus tepat dengan ekspresi yang pas. Karena dengan intonasi lain, bisa saja artinya mengejek. Kalian cobain aja. Aku bahkan udah mikirin dan latihan berkali-kali sejak aku nelihat meja ini ramai dari jauh. Syukurlah, se-geng di depanku cuma senyam-senyum.
"Kami cuma nemenin kok. Savira jarang kemana-mana sendiri soalnya," jawab salah satu dsri mereka. Dari tanda pengenalnya, aku bisa tau namanya Elisa.
"Hmm, kalau tau gitu aku ajak pasukan juga tadi," lanjutku tetap dengan perhitungan kata yang matang. Satu yang aku mulai paham bahwa jika tidak ingin belibet, aku harus nyusun semua kata dulu dalam otakku. Makanya kalo ditanya random aku pasti belibet. Ah, aku harus belajar menguasai kemana arah pembicaraan.
"Kamu anak 11 C kan?" Tanya seorang anggota geng lainnya. Mereka ada berempat dan 3 udah ngomong. Kali ini namanya Novi.
"Iya, dan kalian 11 A?" Sambungku. Aseek, udah mantap kali ini. Aku mulai bisa nyantai.
"Yap, kecuali Indy. Dia 11 B." Masih yang nominan (heeh kok belibetnya malah disini?) Yang dominan masih Elisa dan Novi. Savira bahkan masih belum ngomong. Cewek ini jadi pendiam sekali kalau lagi sama geng. Kayaknya beda sama Savira yang di UKS tadi?
"Savira, lagi puasa?" Nah aku pancing nih, jawab nggak dia?
"Nggak, ini aku lagi minum. Kok puasa?" Savira agak tidak mengerti dengan pertanyaanku.
"Oh nggak aku kira tadi kamu puasa ngomong soalnya diam aja?" Duh salah nggak ya ngomong gini?
Tuh kan dia diam lagi. Fix salah.
"Eh nggak gitu maksudnya." Aku buru-buru merevisi omonganku. Mampey, merusak citra depan cewek di hari pertama kenal.
"Iya, rencana tadi mau puasa tapi aku lupa sahur," katanya membuyarkan suasana. Ah jokesnya qaqa. Titis (kok titis, tipis hey) tipis-tipis aja.
Makanan yang aku pesen datang beberapa saat kemudian. Dipaksa sih sama mereka mesen. Duh malunya. Harusnya aku yang bayarin mereka. Ini malah dibayarin. Kalau sama Savira aja, aku sih masih oke. Ini sama gengnya bos. Taruh dimana tadi ya harga diri aku ya? Hilang nih.
Namun kejadian di kantin menandai awal sebuah cerita. Aku belum paham Savira. Belum banyak yang aku tahu tentang dia. Sebab aku memang anaknya masa bodo, nggak mau tau anak kelas lain. Tipikal cowok yang cuma iya iya saat temennya nyusun daftar incaran cecan di sekolah. Nggak begitu interested. Saviranya juga jarang banget dapat spotlight, cewek yang meski dekat dari kelasku begitu jarang aku lihat. Aku malah lebih familiar dengan Elisa. Dia sering kelihatan. Seingatku dia salah satu anggota dancer sekolah yang suka perform kalo ada perayaan something gitu.
Bagiku, ngejar cewek bukan prioritas. Karena hidup sudah membuatku berada di rangkaian kegiatan yang padat. Sepulang sekolah aku harus naik angkot tiga kali nyambung untuk sampai rumah. Setelah itu ngerjain tugas dan ngejar pelajaran yang aku ketiduran. Kalo udah larut dan aku mulai ngantuk, paling ke rental PS biar berisik dan aku nggak bisa tidur. Belum lagi nyuciim pakaian dan masakin buat Bang Robin. Kadang harus ikut turnamen biar dapet duit. Aku ngerasa nggak punya banyak waktu sih buat mentingin hal begituan. Toh kata orang juga pas kuliah bisa kan kalo mau pacaran. Nggak harus di SMA.
Savira juga pasti belum kenal aku. Ada banyak sekali hal yang dia butuh tau. Aku nggak suka pencitraan. Aku ingin dikenal seperti apa adanya aku. Bukan jagoan berantem. Nggak cowok keren dengan motor gagah atau mobil kelas atas. Bukan pula cowok macho yang punya skil olahraga dan ototnya suka dipamerin kalo pake baju lenganless.
Mampey, pulang gimana ni caranya. Kan dompet aku ketinggalan. Aduh kacau. Minjem uang sama geng sabi kali ya? Coba dulu deh.
Aku kembali ke kelas setelah pwngeroyokan oleh cewek-cewek di kantin. Berharap nggak ada anak kelas yang liat, apalagi kalau tau aku dibayarin. Bisa kencing di celana aku.
"Boy, gue boleh pinjem uang gak? Dompet gue ketinggalan nih," pintaku pada Boy setelah akhirnya masuk kelas di jam kedua.
"Yaelah santai aja kali Van. Kayak siapa aja. Ini ambil aja."
"Kebanyakan cumi," seruku setelah menerima uang 50 ribu.
"Tinggal pake aja ribet amat," sahut Boy galak.
Aduh begoo kan. Kenapa aku nggak minjem dari tadi coba? Kan aku nggak harus dibayarin di kantin tadi. Si pe a emang.
Seep, nanti siang aku pecahin dulu uangnya. Langsung bayar ke Savira ajalah. Nggak enak, dia jadi traktir aku kan tadi.
Nah biar nggak rame. Mending aku ke UKS aja siapa tau dia disana sendiri.
Pelajaran kedua hari ini kesenian. Aseek ini refreshing sih dari mata pelajaran yang berat. Ibu Venny yang ngajar juga bening banget lagi. Si Bronby pasti auto kesetrum ini mah.
"Anak-anak, hari ini kita ambil nilai nyanyi ya?" Kata Bu Venny memulai pelajaran.
"Waah ibu mau banget saya nyanyiin Bu?" Tuh kan langsung onfire si Bronby. Bu Venny emang belum married sih. Baru juga lulus PNS tahun lalu. Masih semuda itu untuk ukuran guru.
"Ayo ke ruangan musik," Bu Venny nggak ngeburis (kan belibet lagi, ngegubris Pak) ucapan Bronby. Matoy lu Bron, emang enak dikacangin.
Widih, anak-anak kelas pada jago ya ambil nilainya. Ada yang main gitar, sampai main drum pun ada. Bisa nih bikin band kelas. Si Boy sama Eval aja yang nyeleneh. Masak mereka qosidahan? Yaa nggak ada yang salah sih, cuman kan itu mengundang tawa. Lengkap dengang (belibet terus) dengan rebana MasyaAllah akhi.
Sekarang giliranku. Dulu, pas ayah ibu masih ada, aku pernah belajar piano. Dirumah juga masih ada pianonya. Udah jarang aku mainin memang, karena bising-bising bisa bikin Robin marah. Kebayang kan apa yang terjadi kalo gorila kebon udah ngamuk? Bayangin aja.
Waktu pertama kali
Kulihat dirimu hadir
Rasa hati ini inginkan dirimu
Hati tenang mendengar
....
Terimalah cintaku yang luarbiasa
Tulus padamu
Eh ada yang lewat barusan. Savira bukan ya? Kayaknya iya deh. Dia sempat nengok sini tadi. Ah, aku pastiin ah.
"Bagus Rovan. Ibu nggak nyangka kamu berbakat di piano."
"Bu, Saya izin ke toilet sebentar ya?"
"Yaudah, jangan lama-lama ya?"
"Baik Bu."
Ahaha, aku nggak kebelet kok. Aku mau ke UKS aja lah. Membuktikan apa yang lewat tadi beneran Savira apa bukan?
Tuh kan beneran ada dia, berarti benar.
"Hey Van. Kamu jago juga ya main pianonya?" kata gadis itu saat aku masuk UKS
"Kamu denger?"