Dihukum Sih, Tapi gapapa

1025 Kata
"Eh, kamu Van. Nggak biasanya kamu telat," sapa Pak Bahar seusai mengunci pagar. "Iya Pak. Saya ketiduran," jawabku sembari melempar senyum. "Oh, sudah bisa tidur sekarang?" Balas Pak Bahar sambil tertawa. Yang membuat akupun ikut tertawa. "Yasudah, Bapak bukain dulu. Kamu masuk kelas aja nggak usah dihukum." "Eh jangan Pak. Saya kan telat. Jadi saya harus dihukum. Lagipula nggak enak sama yang lain kalau saya kabur." "Kamu Van, jadi siswa kok polos banget." "Kalau polos berarti nggak curang. Saya bangga Pak jadi anak polos." "Kok gitu?" "Yaah Bapak tau sendiri kan berapa banyak orang yang dilahirkan dari pendidikan kita. Bukannya malah memperbaiki keadaan malah memperkeruh saat mereka sudah jadi orang besar. Awalnya yaa curang dikit-dikit Pak. Nyontek, bolos, lama-lama makin gede yang dicurangin. Ujungnya duit negara, aturan hukum pun bisa diakali." Pak Bahar terdiam dengan ucapanku barusan. Aku sedang tidak kampanye calon ketua OSIS padahal. Tapi kenapa bisa sebijak itu ya? Paling juga nanti saat aku diamanahkan sama rakyat untuk mengelola negara, bakal sulit juga menolak godaan-godaan itu? Dih amit-amit. Semoga jangan deh. Mending aku jadi warga biasa aja daripada harus ikutan menipu rakyat. Duh mampey, Pak Hotmen lagi yang jaga. Emh alamat lari keliling lapangan lagi ini. "Aduh Rovan Rovan. Kalau nggak tidur di kelas, terlambat kamu. Mau jadi apa sih?" Katanya membuat gigi ngilu. "Maaf Pak," jawabku sekedar merespons. "Kalian semua hari ini hukumannya bersihkan perpustakaan." Tukasnya kemudian, membuat kami semua mengangguk. Kalo dipikir-pikir, ada hikmahnya juga. Aku nggak belajar semalam, sama sekali. Mana ini ujian kelistrikan lagi. Gimana aku harus jawab hukum Kirchoff yang ribet itu nanti? Toh nggak ujian sekarang boleh minta susulan kok. Walau ngurusnya agak ribet dikit. Ada enam orang siswa yang terlambat. Dua cowok dan empat cewek. Dari tampangnya, aku ramal laki-laki dissmpingku ini kelas 12. Ada lambang integral di keningnya. Wkwk canda Bang. Hmm, kayaknya dia bakal males-malesan. Aku deh yang harus kerja rodi ngeberesin perpus. Nggak mungkin kan aku biarin cewek-cewek ngangkat buku. Paling mereka pegang kemoceng aja sama sapu. Nggak usah banyak cincong maruncong, kita mulai aja. Heuf perpus kotor banget, petugasnya nggak kerja apa ya? Oh iya aku lupa, kerja seminimal mungkin, gaji semaksimal mungkin. Sama aja kayak prinsip ekonomi yang salah dipahami banyak orang. Modal sekecil-kecilnya, untung sebesar-besarnya. Yaa karena itu ada yang jualan bakso tikus, sate daging babi, makanan pake pewarna tekstil, dan banyak kejanggalan lainnya. Adam Smith pasti kecewa ngeliat kelakuan mereka yang kayak gitu. "Eh aduh," terdengar suara dari rak sebelah. Aku langsung mendekat kesana. "Eh Savira kenapa?" Tanyaku saat tahu itu Savira. "Itu tadi aku ngangkat bukunya tapi jatuh." Hmm kan, si Abang nggak ada disini. Dasar senior. Bantuin kek. "Ada apa dek?" (Nah baru diomongin, langsung datang dia.) "Eh nggak apa-apa Kak." (Bagus Savira, jangan mau dimodusin) "Savira, kamu kesana aja dulu. Aku beresin buku ini dulu ya?" Aku pura-pura aja ini kerjaan aku, biar senior ini nggak curiga. *** "Makasi ya Van kamu udah bantu selesaiin rak aku tadi," kata Savira saat semua udah selesai kerja. "Iya nggak apa-apa. Aku yang harusnya makasi kan kamu udah bantuin aku juga. Eh nanti aku ganti uangnya ya?" "Nggak usah apaan dah gapapa." "Yaah, tapi kan...," "Udah nggak apa-apa." "Hmm, yaudah makasi ya." "Btw, kamu kenapa mau dihukum sih? Kan baru sekali telat kan?" "Kamu kok tau aku baru sekali telat." "Habis, Pak Satoam aja heran kamu telat." "Oh iya, haha." "Kan bisa pembelaan tadi depan Pak Hotmen." "Aku ujian fisika pagi ini. Semalam aku nggak belajar." "Eh pelipis kamu berdarah tu?" Savira tiba-tiba panik melihat pelipis aku moncer darahnya. "Aku antar ke UKS ya?" Serunya kemudian. "Nggak usah aku sendiri aja kesana. Nanti aku minta tolong aja sama yang jaga." "Yang jaga UKS hari ini aku, udah yok." Cewek itu narik tanganku. Yasudah aku bisa apa kalau udah gini. Sembari itu dia ngasih tisu buat nutup pelipis aku biar darahnya nggak ngalir terus. UKS sama perpus sih nggak jauh. Jaraknya cuma dua bangunan. Yang jauh itu..., eh jangan travelling. "Kenapa sampai bisa luka pelipisnya Van?" Tanya Savira sembari mengobati luka pelipisku. Wajahnya hanya sejengkal dari wajahku sekarang. Dia cantik. "Berantem," jawabku singkat sembari menelan ludah. "Sama siapa?" Sambungnya lagi. "Sama Abangku," masih pendek-pendek aja jawabnya. Jujur mukanya sedeket ini bikin jantungku nge-DJ. Aku takut nanti belibet kalo ngomong panjang-panjang. "Kamu suka berantem?" (Ingin kukatakan, jangan tanya terus. Kamu nggak liat aku deg-degan gini?) "Eh maaf, aku salah nanya ya?" Savira salting karena aku cuma diam. "Nggak, nggak kok Savira. Aku nggak suka berantem kok. Kemaren cuma sapalaham aja." Aduh tu kan belibet. "Sapalaham?" Ulangnya sambil tersenyum. Aduh Gusti, tolonglah hamba-Mu ini. Senyumnya sekarang tepat fokus di retinaku. Tanpa ada yang menghalangi. Aku memang belum kenal Savira sebelum hari ini. Tapi, aku harus menyesal kenapa aku nggak kenal dia dari kemarin-kemarin? "Dah, beres. Jangan basah ya," katanya seperti dokter beneran. Aku mengangguk. Dan perlahan aku bangkit melangkah keluar UKS. "Makasi lagi ya Savira," ucapku saat udah agak jauhan. Oke, sekarang aku bisa lebih nyantai ngomongnya. "Hoiya, besok aku ujian fisika juga. Sama Bu Sinta kan?" "Iya, aku mau ke ruang guru dulu mau minta susulan." "Van," Savira tiba-tiba manggil aku, nggak tau kenapa. "Iya, ada apa Savira?" Balasku sesantun mungkin. "Habis ke ruang guru. Aku tunggu di kantin ya?" "Ngapain?" Aku agak terkejut sih dengan pernyataannya barusan. "Mm, kamu kan nggak bawa dompet. Jadi aku mau traktir kamu makan." "Haha nggak usah, aku bawa bekal kok." "Pokoknya aku tunggu di kantin, awas nggak dateng," ancamnya. "Iya," jawabku singkat. Di perjalanan otakku sibuk memikirkan kenapa tadi dia malah ngajak aku makan. Ah aku nggak mau menduga-duga lah. Nanti salah, baper, kenap PHP. Eh kok jadi menduga. Nggak-nggak. "Permisi Bu Sinta. Maaf Bu tadi saya terlambat. Jadi nggak bisa ikut ujian. Saya boleh minta susulan Bu?" Yess, aku nggak belibet. "Oh Rovan. Yaudah besok saya ada ujian di 11 A jam pelajaran kedua. Kalau mau, kamu susulan disana aja ya? Jangan lupa minta izin dulu sama guru yang ngajar di kelas kamu. Kalau nggak diizinin nanti lapor Saya lagi ya?" "Baik Bu, terimakasih banyak Bu." Ibu Sinta memang baik, fisikanya aja yang sering jahat sama nilai ujianku. Hahaha "Eh Van, ayo duduk." Em dikerjain fix, aku kira dia sendiri. Ternyata bawa geng.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN