BAB 1- Prasangka
Panas. Silau.
Itulah yang pertama kali Kanaya rasakan begitu kesadarannya perlahan kembali. Kepalanya terasa berat, pikirannya masih berkabut. Ia diam sejenak, hanya bola matanya yang bergerak ke sana kemari, mencoba memahami di mana ia berada.
Ini bukan kamarnya.
Dindingnya bukan warna krem lembut yang biasa ia lihat setiap pagi. Langit-langitnya pun tak memiliki lampu gantung favoritnya. Kanaya perlahan berusaha bangun, meski tubuhnya terasa kaku seolah baru saja menempuh perjalanan jauh.
Ia duduk di ranjang sempit yang terasa asing, matanya menelusuri setiap sudut ruangan. Sebuah kamar kecil, mungkin hanya berukuran tiga kali empat meter. Di sudut ruangan, sebuah lemari kayu berdiri kokoh, meski terlihat usang. Sesaat kemudian, ia melirik ke atas—mencari sumber cahaya yang membuat matanya perih.
Atap itu memiliki lubang kecil, tepat di mana sinar matahari masuk tanpa dihalangi. Tidak ada AC, tidak ada kipas angin. Udara panas membuat tubuhnya berkeringat.
"Aku di mana?" gumamnya, suara sendiri terdengar begitu asing di telinganya.
Kanaya mencoba mengingat-ingat. Hal terakhir yang ia tahu, semalam ia naik taksi. Ia kabur. Tapi… setelah itu?
Ia mengerutkan kening. Ia tidak ingat apa pun setelahnya. Kapan sopir taksi membangunkannya? Apakah ia sempat membayar ongkos taksi? Atau… apakah ia menjadi korban kejahatan?
Jantungnya langsung berdebar panik. Dengan cepat, ia melompat turun dari tempat tidur, mencari tas selempang dan travel bag miliknya. Syukurlah, kedua barang itu masih ada di sudut ruangan. Tangannya gemetar saat memeriksa isinya.
Dompet? Ada.
KTP? Masih lengkap.
ATM? Tak ada yang hilang.
Uang cash? Masih utuh.
Ia bahkan tidak kehilangan satu rupiah pun. Tapi kalau begitu… bagaimana ia bisa sampai di sini? Apakah ini benar-benar kosan yang ia pesan untuk pelarian sementara? Kenapa ia tidak ingat sama sekali?
Kanaya menarik napas dalam. Ia butuh sesuatu untuk menenangkan diri. Ponselnya!
Ia merogoh tasnya dan menarik keluar smartphone-nya—tetapi sial, baterainya mati. Lebih buruk lagi, ia tak menemukan charger-nya di dalam tas.
"Sial!" desisnya.
Ia harus keluar. Mencari charger atau minimal mencari tahu di mana ia sekarang berada.
*
Begitu keluar dari kosan yang tampak sepi, Kanaya berjalan menuju jalanan utama. Pandangannya menyapu sekeliling. Daerah ini… terasa asing. Ia tidak ingat pernah melihatnya sebelum ini.
Lalu matanya menangkap sesuatu—sebuah konter HP kecil di seberang jalan. Tanpa pikir panjang, ia berjalan ke sana.
"Siang, Mbak. Mau cari apa?" sapaan ramah penjaga konter menyambutnya.
"Mau beli charger HP," jawab Kanaya cepat.
Penjaga konter itu mengambil sebuah charger dari etalase dan menunjukkannya.
"Bukan yang ini. Untuk smartphone, Bang. Yang colokannya gepeng."
Si penjaga mengernyit, terlihat bingung. "Smartphone? Maksudnya kayak gimana, Mbak?"
Kanaya menghela napas dan mengeluarkan ponselnya, memperlihatkannya pada penjaga konter itu.
Yang terjadi selanjutnya membuatnya tertegun.
Alih-alih langsung mengambilkan charger, penjaga konter itu malah menatap ponsel Kanaya dengan ekspresi aneh. Seolah ia sedang melihat benda dari dunia lain.
"Saya… saya baru lihat HP kayak gini, Mbak," katanya ragu. "Jadi kayaknya di sini nggak ada chargernya."
Dada Kanaya berdegup lebih kencang. "Loh, di sini jual HP apa?"
Si penjaga menunjuk etalase di depannya. Kanaya mengikuti arah jarinya, dan…
Matanya membesar.
Semua ponsel yang ada di sana adalah ponsel jadul. Ponsel dengan tombol fisik. Tidak ada satupun smartphone.
"Ini semua masih bisa dipakai?" tanyanya, nyaris tak percaya.
"Ya jelas, lah," si penjaga tertawa kecil. "Ngapain juga saya jual HP rusak? Eh, tapi Mbak bukan orang sini, ya?"
Kanaya membuka mulut, hendak menjawab, tapi sebuah suara lain lebih dulu menyela.
"Mas, beli pulsa."
Kanaya menoleh sekilas ke arah sumber suara—hanya sekadar refleks. Namun, detik berikutnya, tubuhnya membeku.
Jantungnya seolah berhenti berdetak.
Lelaki itu…
Seorang pemuda berseragam sekolah berdiri di sana. Usianya mungkin sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun. Rambutnya berantakan dengan gaya khas anak muda yang cuek. Tapi bukan itu yang membuat Kanaya tertegun.
Wajahnya.
Ia… mirip sekali.
Mirip dengan seseorang yang sangat Kanaya kenal.
Mirip dengan Gavin.
Tidak, bukan sekadar mirip. Pemuda itu bahkan terlihat persis seperti Gavin saat masih muda.
Telinga Kanaya menangkap percakapan singkat antara si pemuda dan penjaga konter, tapi pikirannya terlalu kacau untuk benar-benar mendengar. Yang ia tahu, pemuda itu kemudian meliriknya. Tatapannya netral, mungkin sedikit heran karena Kanaya terus menatapnya. Lalu, pemuda itu tersenyum kecil dan mengangkat alis.
Senyum yang sama.
Gaya yang sama.
Kanaya merasa kepalanya berputar.
"Udah masuk pulsanya, Vin. Coba dicek," ujar penjaga konter.
Kanaya langsung menegang. Vin?
Apakah… namanya juga Gavin?
Pemuda itu mengangguk, memasukkan ponselnya ke saku. "Makasih, Mas. Mari, Mbak," katanya santai sebelum beranjak pergi.
Kanaya hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh.
Tidak. Ini tidak masuk akal. Tidak mungkin.
Sementara itu, si penjaga konter kembali menatapnya. "Jadi gimana, Mbak? Mau cari di konter lain?"
Kanaya menelan ludah. Ia masih gemetar. "Itu tadi… namanya Gavin?"
"Iya. Kenapa? Manis, ya? Udah punya pacar, lho."
Kanaya tak bisa menjawab.
Gavin. Mirip Gavin. Nama juga Gavin. Dan…
"Tunggu… dia orang Ketapang?" tanyanya cepat.
Si penjaga menatapnya aneh. "Iya. Mbaknya tahu?"
Mulut Kanaya menganga.
Tidak. Tidak mungkin. Ini semua pasti hanya kebetulan.
Atau… mungkin tidak?
Ia berbalik, hendak pergi. Namun saat matanya menangkap bayangan dirinya di cermin etalase, langkahnya terhenti.
Itu… bukan dirinya.
Itu dirinya—tapi lebih muda. Wajahnya lebih segar, kulitnya lebih kencang. Tidak ada garis-garis halus di bawah matanya.
Tangannya refleks meraih cermin kecil di meja konter. "Bang, boleh pinjam kaca?" tanyanya buru-buru.
Si penjaga menyerahkan cermin dengan ekspresi bingung. Kanaya menerimanya, mendekatkannya ke wajahnya sendiri.
Matanya melebar.
Ia muda.
Ia kembali muda.
Dan kalau itu benar…
Pemuda yang tadi…
Bukan sekadar mirip Gavin. Itu memang Gavin. Gavin saat masih muda.
Dada Kanaya berdegup semakin cepat. Ia mengembalikan cermin itu ke tangan penjaga konter dengan sentakan, lalu berbalik dan berjalan cepat kembali ke kosannya.
Pikirannya kacau. Nafasnya memburu.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamnya.
Dan pertanyaan yang lebih menakutkan menghantui pikirannya:
Jika ia kembali ke masa lalu… apakah itu berarti masa depan telah berubah?