FAM 1
KOTA Albany terasa begitu kejam bagi seorang wanita yang menghabiskan beberapa hari ini untuk mencari pekerjaan. Tidak ada satu pun pekerjaan yang mau menerima wanita berusia hampir 30 tahun dengan rambut gelapnya itu. Apa yang salah dengannya? Apa hanya karena Flora tidak melanjutkan kuliahnya sehingga tak ada yang tertarik dengan latar belakangnya?
Flora yakin kakinya memerah di balik sepatu boot hitamnya. Ada begitu banyak perusahaan besar di kota ini, tapi tak ada yang mau mempekerjakannya. Jika dia tidak sedang dalam krisis ekonomi dan sedang sangat membutuhkan dana, Flo tak akan mengemis pada bosnya dahulu untuk mempekerjakannya lagi.
Akan tetapi, tetap saja yang diterima Flo adalah penolakan, bahkan setelah merendahkan diri dan menjilat ludahnya sendiri.
Wanita itu melamun di pinggir jalan raya yang tak jauh dari Westgate Plaza, terlalu memikirkan nasib ke depannya jika dia tak kunjung mendapat pekerjaan. Orang-orang tak akan menebak Flo adalah orang yang dilanda masalah keuangan melihat outfit bermerek yang dikenakannya, yang sulit untuk dijual karena tak ada yang mau beli barang bekas walau merek terkenal.
Deringan telepon bergetar di saku mantel musim dinginnya sehingga Flo meraih ponsel flip-nya dan mengangkat telepon. “Halo, Mom. Aku belum mendapatkan pekerjaannya,” ujarnya menunduk, melihat ke dedaunan yang gugur menghadapi musim dingin.
[Tidak apa-apa, Flo. Mom akan menghubungi Dad untuk minta bantuan.]
“Aku minta maaf, Mom. Aku akan mencari lagi.”
Flair, adiknya menderita sebuah penyakit yang biaya pengobatannya sangat mahal. Ibunya bahkan terancam harus menjual rumahnya jika setelah banyak barang dijual biayanya tak juga cukup untuk pengobatan Flair. Ayahnya tinggal di kota lain bersama keluarga barunya, Flora tak yakin apa dia akan membantu.
Dia melirik kelelahan ke sekeliling Central Avenue, ke banyaknya toko yang berdiri tapi tak ada satu pun yang mau menerimanya. “Apa tidak ada satu kelontong pun yang mau menerimaku? Setidaknya aku tidak terkesan seperti pengangguran.”
Musim gugur yang dipadukan dengan musim hujan adalah yang terburuk. Badai semalam sangat buruk sehingga banyak menciptakan genangan. Flo berusaha menjauhi genangan-genangan air yang bisa membasahi sepatunya.
Namun, sialan! Sebuah mobil malah dengan sengaja melaju cepat di pinggirnya sehingga genangan air di jalan terciprat padanya. “Astaga! Kenapa hariku sial sekali? Argh! Sepatu Laviola-ku,” kesal Flo melihat sepatu mahalnya basah terkena cipratan. Dia memungut sebuah kertas yang tak jauh darinya, berniat mengeringkan sepatunya pakai kertas itu sebelum tertarik dengan isi pengumumannya. “Hei, ini sebuah pekerjaan! Ohh, tapi jaraknya akan menghabiskan setengah uangku yang tersisa untuk menyewa sebuah mobil.”
Bagaimana tidak? Flora harus ke Buffalo di mana kota itu sangat jauh dari Albany. Bisa menghabiskan waktu 4 jam lebih memakai mobil. Jelas itu akan menguras sisa uang Flora yang tidak seberapa dan harus cukup jika kerjaan ini juga menolaknya. Taxi tak akan ada yang mau bernegosiasi menunggu Flo mendapat gaji pertama baru boleh membayar.
Ah! Flo melipat kertas yang sudah kotor itu dan memasukkan ke dalam mantelnya, mengambil ponselnya lagi untuk menghubungi seseorang.
“Halo, Dave?”
[Yo, Floi. Kau sudah dapat pekerjaan itu?]
“Tidak, aku tidak dapat satu pun. Hey, bisa aku meminjam jeep-mu?”
[Selama ibuku tidak mendereknya dari rumah, pakailah. Kuncinya ada di tempat biasa.]
“Oh, kau yang terbaik, Dave! Aku akan mentraktirmu Pizza Detroit nanti jika aku mendapatkannya.”
Flo bergegas pergi ke rumah sepupunya untuk meminjam sebuah mobil yang dulu sering dipakai Flo semasa belajar mengendarai mobil. Paling tidak sepupunya itu selalu mengisi penuh semua kendaraannya sehingga dia hanya perlu menambahkan sisanya jika habis di perjalanan.
Semoga pekerjaan ini jalan Flora untuk membantu adiknya.
***
Flora memang tak pernah ke Buffalo sebelumnya, tapi dia kira kota itu adalah kota minim penghuni seperti kota sherif di film-film di mana tumbleweed mudah sekali ditemui. Faktanya, Buffalo termasuk kota maju, tak jauh beda dengan Albany atau kota-kota lain di New York. Gedung-gedung pencakar langit berdiri di setiap ruas jalan didukung pusat fashion yang diisi toko-toko ternama.
Dibantu Google Maps, Flora terus mengendarai mobil Dave melewati pusat kota Buffalo. Tempat yang dimaksudkan masih terus masuk setelah 4 setengah jam Flora berkendara. Well, melihat pesatnya kota ini membuat Flora berharap besar diterima. Apalagi kerjaannya tidak sulit dan dia yakin bisa melakukannya.
Lima belas menit kemudian, area yang ditempuh Flo makin masuk ke hutan dan perkebunan. Cuacanya juga tak sedingin tadi sehingga dia membuka mantelnya. Rumah-rumah warga mulai jarang dan berjauhan antara rumah satu dengan yang lain. Flo tidak melewati perbatasan New York, ‘kan?
Tak lama kemudian, Google Maps itu menunjukkan kalau Flo sudah sampai di tempat yang dimaksud. Wanita itu tercengang melihat betapa besar bangunan di depannya. Bangunan jenis apa ini? Hotel atau hunian pribadi? Cheese, Flo yakin pemiliknya pasti sekaya Mark Zuckerberg yang sudi menggelontorkan dana fantastis hanya untuk sebuah rumah—atau apalah itu.
“Benarkah ini tempatnya? Rumah ini sungguh gila. Pemiliknya pasti seseorang yang memiliki segudang kekayaan,” gumamnya keluar mobil, tak berhenti berdecak kagum melihat bangunan di depannya.
“Siapa kau?” Seorang pria kekar berpakaian serba hitam bertanya pada Flo dengan suaranya yang berat dan serak. Kelihatannya sih seorang bodyguard.
“Umm, aku Flo. Benar di sini sedang membuka kerjaan di pabrik daging? Bantulah, aku sedang sangat butuh uang.”
Pria itu dan temannya menatapi Flo dengan seksama bak menilai seberapa pantas wanita itu masuk ke dalam rumah tuannya. Flo ikut melihat dirinya sendiri. Kemeja putih, celana hitam, dan boot Laviola. Tidak buruk jika mengabaikan rambutnya yang tidak terikat rapi.
“Baiklah. Jeff, antar dia.”
“Lewat sini.”
Selama mengikuti pria yang lain itu, Flo tak bisa berhenti tercengang atas interior berharga selangit yang dilihatnya secara langsung. Apakah White House juga seperti ini? Wah, betapa beruntung dan kayanya orang yang punya rumah itu. Sayangnya, aura yang ditimbulkan terkesan dingin dan mencekam bak rumah yang lama tidak dihuni.
Mereka berjalan lama sekali ke dalam rumah itu. Flo khawatir dia bisa tersesat jika pulang nanti dan tak ada yang mengantarnya ke luar rumah. Bayangkan saja, sedari tadi mereka berjalan dalam lorong lurus. Bisa dipastikan seluas apa rumah itu?
“Wow, aku kira hanya aku yang menemukan selebarannya,” ujarnya begitu sampai di sebuah ruangan dan di luarnya ada beberapa orang menunggu.
“Silakan menunggu.” Pria itu menunduk singkat sebelum pergi kembali ke depan rumah.
“Terima kasih.” Flora bergabung dengan orang-orang yang sudah menunggu sebelumnya itu, duduk di kursi yang paling ujung. “Hei, apa kalian juga sedang melamar bekerja di pabrik daging?”
“Iya, bayarannya sungguh gila!” kata seorang wanita yang duduk tepat di samping Flora.
“Oh ya? Berapa?”
“Dua ribu dolar per bulan. Apa pemiliknya gila memberikannya sebagai upah tukang daging?”
“Dengan uang sebanyak itu, aku bisa membeli semuanya hanya dalam setahun.”
Flora ikut tercengang. Ya ampun, pemiliknya itu sedang beramal atau memang pekerjaan mereka akan sulit nanti? Gaji Flo sebagai pekerja kantoran saja sebelumnya hanya 500 dolar atau paling banyak 750 dolar setelah menjilat bosnya, ini hanya sebagai pekerja di perusahaan daging dibayar 2000 dolar?
Meski Flora tak yakin akan cukup atau tidak uang itu untuk pengobatan adiknya, tapi dia sangat berharap besar bisa membantu. Setidaknya ibunya tak perlu sampai menjual rumahnya hanya untuk pengobatan itu.
“Lalu apa yang kita tunggu?” tanya Flo.
“Mereka sedang memanggil pelamar satu per satu.”
“Oh, bagus. Aku akan menjadi yang terakhir, ‘kan?” Dia melihat ke depan, hanya tinggal tiga orang termasuk wanita yang mengobrol dengannya tadi. Baiklah, seharusnya tidak akan selama itu hanya untuk wawancara kerja. Jika dilihat-lihat juga tak ada yang membawa berkas apa pun. Jadi, Flo bisa merilekskan diri sebentar sebelum dipanggil.
“Tenanglah. Uang sebanyak itu dan infonya disebar di jalanan akan memancing tunawisma macam kita untuk datang.”
“Oke. Omong-omong, sejak kapan kau datang?”
“Entahlah, lima belas menit?”
Satu orang dipanggil masuk, tapi tak ada yang keluar. Lho, ke mana pelamar sebelumnya?
***
Damian merasakan sebuah harum menusuk indra penciumannya sejak tadi. Harum yang memabukkan, tapi terlalu lemah untuk memprediksi bau apa ini. Mungkin karena jarak ruangan Damian sekarang sangat jauh ke mana pun dan tak sembarang orang bisa masuk makanya baunya tak tercium cukup kuat, tapi tidak mudah hilang.
Apa mungkin ini mate-nya? Namun, kenapa Dane—wolf Damian—tidak bereaksi?
Manusia ke-11 yang datang hari ini memasuki ruangan. Kebanyakan yang datang perempuan, tapi justru mereka lebih merepotkan saat dilumpuhkan. Tak semuanya, tetapi tak ada satu pun pelamar pria yang menolak menyerahkan nyawa mereka untuk segepok uang. Mungkin untuk berjudi atau ditukar dengan obat-obatan.
Seperti yang sudah-sudah, setiap wanita akan tersihir melihat ketampanan Damian yang bak Dewa Yunani, terlalu sempurna untuk bisa dilihat secara langsung.
“Siapa namamu?”
“Thressia. Aku punya pengalaman bekerja di—”
“Ke mana kau akan mentransfer uangnya?” potong Damian tak sedikit pun menatap langsung lawan bicaranya, fokus menuliskan nominal upah yang akan diganti dengan para manusia itu.
“Apa?”
“Rekeningmu.”
“Aku akan mengambil uangnya langsung. Aku tak percaya pada bank,” balas wanita berambut hitam keriting itu.
“Siapa keluargamu?”
“Aku tinggal sendiri. Apa kau serius sedang menanyaiku untuk bekerja?” Sorot matanya melirik Damian penuh curiga mendapatkan pertanyaan yang sangat aneh untuk wawancara kerja. Semua itu bukannya tidak ada hubungan sama sekali dengan pekerjaan tukang daging?
“Apa yang kau harapkan?” gumam Damian. “Siapa yang akan menerima uangmu?”
“Diriku sendiri.”
“Baiklah.” Damian berdiri, mengambil cangkir kecil dan menuangkan sebuah cairan berwarna hijau pudar setengah dari cangkirnya. Dia menaruhnya tepat di depan Thressia. “Kalau begitu, minum ini.”
“Apa ini?”
“Minum saja.”
“Aku tak akan mati, ‘kan? Dua ribu dolarku akan sia-sia.” Wanita itu mengedikkan bahu, tak berpikir panjang langsung mengambil cangkir itu dan bersiap meneguknya. “Masa bodo. Demi uang.”
Damian menyaksikan momen yang sudah disaksikannya berkali-kali dengan bersandar ke meja, sudut bibirnya terangkat. Setelah menaruh cangkirnya, Thressia mulai kehilangan kesadaran dan harus menopang kepalanya sendiri agar tak kliyengan. Tak lama kemudian, wanita itu ambruk dari kursi dan membentur lantai, mengeluarkan bunyi ‘bruk!’ yang cukup kuat. Itulah kenapa Damian memasang ruangan itu kedap suara.
Mendengar bunyi itu, dua orang pria keluar dari sebuah ruangan pendingin yang didesain seperti kamar lain. Setelah memastikan wanita itu sudah kehilangan kesadarannya, mereka membawanya ke ruangan pendingin tadi sebelum dibawa ke tempat seharusnya.
“Kau masih belum menemukannya?” tanya seorang pria yang berpakaian kuno bak kerajaan, Xavior.
Damian mendengus. “Sudah kubilang aku tak berharap dia manusia.” Akan tetapi, dia tak bisa menyangkal kalau wangi yang tercium sejak tadi ini adalah wangi mate-nya. Konon bau setiap mate akan berbeda satu dengan yang lain. Jadi, sekalipun Damian bertanya pada warior-nya yang sudah bertemu mate, jawaban mereka tidak bisa dipercaya sepenuhnya.
“Tapi ‘kan kau sudah bertahun-tahun menjadi Alpha seorang diri. Kapan kami akan mendapatkan Luna?”
“Diamlah dan kembali bekerja.”
“Baik, Alpha.” Xavior membungkuk 45 derajat, lalu kembali meninggalkan Damian sendirian untuk menyeleksi manusia-manusia yang akan dibawa ke dunia immortal. Salah satu tujuannya adalah mencari mate. Ah, ini sudah menjadi tradisi setiap Alpha yang tak kunjung bertemu mate-nya.
“Selanjutnya.”
‘Auuummm!’
Bola mata Damian membesar, tangannya mencengkeram tepian meja saat harum itu semakin kuat menghampirinya. Dane di dalam sana mengaum kencang minta keluar, tapi Damian sebisa mungkin menahannya agar terlibat biasa saja. Sulit menahan jiwa serigalanya yang jelas lebih kua daripada Damian.
Dia langsung menoleh begitu pintu terbuka dan masuk seorang wanita yang terlihat sangat cantik di mata Damian. Padahal Flora hanya memakai kemeja dan celana jeans biasa, wajahnya juga jenis wajah yang umum ditemui di New York. Sangat membosankan, tapi Damian tak mengalihkan tatapannya sedikit pun.
“Hai,” sapa Flora kikuk ketika pria di depannya ini terus saja menatapnya. “Umm, aku tak membawa dokumen apa pun untuk bekerja, aku—”
“Kau diterima.”
“Hah? Secepat ini?” Wanita itu terkesiap. Jika wawancaranya begitu singkat, lalu apa saja yang dilakukan orang-orang sebelumnya tadi hingga begitu lama? Akan tetapi, Flora menepisnya dan ikut senang mengingat kondisi adiknya. “Baiklah, aku beruntung.”
“Jadi, kapan aku bekerja?”
“Mulai hari ini.”
“Apa? Hari ini? Kau tidak bercanda?”
“Tidak.” Sama seperti sebelumnya, Damian juga menuangkan minuman hijau yang sama pada Flora dan menaruh cangkir itu di depannya. “Minum ini.”
“Apa ini?” Saat Flora menatap Damian, matanya langsung melotot melihat ada yang aneh dengan pria di depannya. “Pak, matamu ....”
“Cepat minum!”
“Tapi ini apa?!”
“Minum saja!”
“Tidak!”
Flora tidak peduli dengan kemungkinan dia gagal kerja, dia berdiri dan berniat pergi dari ruangan itu. Akan tetapi, Damian lebih cepat menahannya kembali duduk dan memaksa mate-nya meneguk cairan hijau tadi. Flora berusaha melawan, tapi pada dasarnya Damian bukan manusia jadi dia kalah dengan mudah dan meneguk minuman itu.
Setelah Flora terkulai di kursinya, Damian mengambil cermin. Matanya terus berubah dari coklat ke merah, tanda kalau Dane sedang berusaha mengambil alih tubuhnya. Bulu-bulu lebat juga mulai muncul di tangan dan rahangnya sehingga dia semakin kuat menahan Dane untuk keluar sekarang.
“Diamlah, Dane! Jika kau muncul tadi, dia akan ketakutan!”
‘Biarkan aku keluar, Damian. Aku ingin menyentuh mate-ku!’
“Kau hanya akan mengacau. Diamlah, akan kubiarkan kau keluar setelah di mansion.”
Wolf itu menurut, bulu-bulu di tubuh Damian mulai hilang serta matanya berubah coklat lagi. Pria itu mendekati Flora dan menatap lekat wajahnya, lalu mengendus bau tubuhnya di leher. Aroma lavender menguar di sana membuat Damian menutup mata dan menghirupnya dalam-dalam.
“Lavender. Siapa namamu, Mate?”
***
Hai, hai, hai! Siapa di sini yang pembaca atau pengikut lama cerita-ceritaku sebelumnya? Kali ini aku mencoba genre yang beda banget sih. Tiba-tiba belok ke fantasi wkwk. Doakan ya semoga lancar menghalunya hehe.
Oh ya, rencananya cerita ini akan bersambungan dengan cerita sebelah. Harusnya sih begitu ya, cuma kita lihat sehabis cerita ini signed yang satu udah lolos atau belum. Kalau belum ya .... Liat nanti deh ya hehe.
See you pas cerita ini udah signed :v