DAMIAN tidak lagi menerima pelamar mana pun yang ingin mendapatkan uangnya—bisa dibilang menukar hidupnya dengan uang. Ada beberapa orang berdatangan, tapi para warior sigap mengusir mereka dan mengatakan kalau pekerjaan itu sudah penuh. Tidak tahu saja orang-orang itu kalau hidupnya telah terselamatkan.
Alpha itu menghentikannya karena merasa manusia yang akan dibawa ke Supermoon Pack sudah cukup banyak. Untuk apa mereka semua? Santapan atau jika berbakat, mereka akan menjadi pemanah pack. Damian tidak sering melakukannya, hanya saat-saat buruan di hutan sudah tak ada lagi.
Flora adalah orang terakhir yang masuk ke ruang wawancara. Setelah kesadarannya hilang, Damian terus memandanginya. Ah, tidak sendirian. Di dalam sana Dane juga mengagumi kecantikan mate mereka. Ya walau Dane tak akan mendapat mate berwujud wolf, Flora sudah lebih dari cukup.
“Kenapa kau begitu cantik dan wangi? Aku bisa memandangimu seharian, Luna,” gumamnya memilin rambut hitam Flora.
Sementara sang Alpha berleha-leha, di luar sana Xavior dan yang lainnya mengepak barang bawaan yang akan mereka bawa ke dunia immortal. Tak hanya manusia, barang-barang dan hewan lainnya juga turut mereka bawa dalam sebuah kotak beroda cukup besar yang mampu menampung banyak barang—dengan bantuan mantra witch.
Terdengar ketukan di pintu, lalu Xavior masuk ke dalam dan membungkuk di depan pintu. “Alpha, semuanya sudah siap untuk menyeberang,” lapornya. Agak terkejut melihat tingkah Damian yang bertolak belakang dengan citranya sebagai Alpha yang tegas.
Damian tidak mengindahkan kehadiran Betanya dan tetap memperhatikan Flora. “Baiklah. Aku akan keluar sebentar lagi.”
Xavior terkekeh. “Sampai kapan kau akan memandanginya? Dia tidak sadar, tak akan bisa kabur.”
“Kau rasanya karena kau belum bertemu mate-mu,” dengus Damian.
“Lalu, apa tanggapanmu mengetahui dia manusia?”
Pergerakan jari Damian seketika berhenti, menegakkan tubuhnya yang semula membungkuk. Sudut matanya melirik Xavior datar. “Entahlah. Penasaran mungkin? Hanya sedikit di pack yang memiliki mate seorang manusia.”
“Kau tahu, itu juga merupakan tantangan untukmu. Aku bertaruh Luna tak akan mudah menerima kalau kau bukan sepenuhnya manusia.”
“Itu urusanku. Sana, persiapkan saja makanan-makanan itu untuk menyeberang.”
Xavior mengangguk, lalu membungkuk sebelum pergi. Dia yakin bahwa Damian tak akan langsung bangkit, ingin berlama-lama bersama Luna baru pack mereka. Ya wajar saja sih, Damian sudah sangat lama menantikan momen ini.
Damian mendekat ke telinga Flora dan berbisik, “Bersiaplah. Kau akan meninggalkan dunia fana ini.” Meski kecil kemungkinannya Flo akan mendengar, wajah Damian tampak puas. Dia mengambil sebuah selimut tipis dari lemari dan mengenakannya pada tubuh Flora.
Sang Alpha menggendong Luna baru pack-nya, di depan ala bridal style. Begitu keluar, para warior tak terkecuali Xavior kompak membungkuk menyambut pemimpin mereka. Damian berjalan terlebih dahulu. Lorong yang tadinya sangat jauh itu menjadi tepat berada di depan pintu utama sehingga Damian langsung masuk ke mobil yang akan membawa mereka ke perbatasan.
Damian, Flora, dan Xavior menaiki mobil pertama dengan Sean yang menyetir. Sebagian warior naik di mobil dua dan tiga, mobil dua berisi barang bawaan mereka dari dunia manusia. Jarak dari bangunan itu ke terowongan perbatasan tidak jauh, tapi tidak bisa dilihat oleh sembarang orang.
Hanya dalam dua menit, rombongan mobil itu sudah sampai di depan sebuah terowongan tua yang mampu menampung dua mobil bersamaan. Lorongnya diselimuti kabut tipis di mana akan menebal jika sembarang manusia mencoba untuk masuk. Terowongan itulah portal yang menyambungkan dunia manusia dan immortal, khususnya Supermoon Pack.
Damian berbalik, memastikan semua anggota pack-nya ada di sana. “Semuanya siap?” tanyanya. Dia tidak tampak lelah menggendong Flora sedari tadi.
“Siap, Alpha,” jawab Sean, sang Gama dari Supermoon Pack.
“Kalian duluanlah. Aku berjalan di belakang dan memastikan kalian menyeberang dengan selamat.”
Para werewolf yang mendengarnya seketika kebingungan dan terkejut. “Tapi, Alpha, kami tidak bisa meninggalkanmu di belakang,” kata salah satu warior senior.
“Ini perintahku. Kalian tak berhak melanggarnya.”
“Baiklah. Sean, kau berjalan di depan disusul warior pembawa manusia. Aku dan Alpha akan berjalan di belakang kalian,” ujar Xavior.
“Baik, Beta.”
Sean maju ke depan mulut gua. Kakinya mengetuk di tanah dua kali sehingga kabutnya memudar. Di ujung sana, tampak sebuah hutan yang cukup rimbun di mana tempat itu berbeda dimensi dengan bumi.
Sang Gama melintasinya dengan cepat, lalu melambaikan tangannya begitu sampai di ujung. Setelahnya, para warior yang jumlahnya puluhan itu serentak mendorong kotak. Cukup berat karena isinya banyak, terlihat sedikit sebab kotak dimantrai sehingga bisa memuat banyak barang. Mereka melintasi perbatasan dengan mulus meski kabut menebal saat mencapai tengah-tengah terowongan.
“Damian, kau yakin tak akan berjalan duluan?” tanya Xavior. Bukannya meragukan kemampuan Damian, hanya saja dia Alpha. Sudah tugas Xavior melayani dan memastikan keselamatannya.
“Seorang pemimpin tak berarti harus di depan, Xav. Aku bertanggung jawab atas keselamatan kalian semua. Jadi, kau pergilah lebih dulu.”
“Baik, Alpha. Hati-hati.” Meski tak setuju, Xavior tak bisa apa-apa selain menuruti perintah Damian. Dia melintasi terowongan secepat mungkin dan menunggu Alpha mereka bersama Sean dan para warior yang sudah tiba di sana lebih dulu.
Damian menoleh pada Flora yang tak sadar. “Kau siap, Luna?” Sekali lagi, dia bertanya pada orang yang jelas tak akan menjawabnya. Damian melintasi terowongan dengan langkahnya yang pelan dan tatapan tertuju pada mate-nya.
Selain karena Flora masih di bawah pengaruh obat bius, melewati perbatasan antara dunia manusia dan dunia immortal akan berbahaya bagi manusia. Mereka bisa ditolak masuk atau bahkan hilang dan tak pernah kembali. Itulah kenapa para manusia yang dibawa diletakkan dalam kotak yang sudah diberi izin melintasi perbatasan.
Cara lainnya agar bisa melintas adalah bersentuhan dengan makhluk immortal antara kulit dan kulit. Tidak semua werewolf bisa melakukan ini, tapi tentu saja Damian bisa. Alasannya membuat Flora tak sadar adalah mempermudah mereka melintasi perbatasan. Orang tak sadar tak akan bisa memberontak, ‘kan?
***
Sayup-sayup di tengah-tengah upayanya mendapatkan kesadaran, Flora melihat sebuah kabut dan seorang pria. Sekujur tubuhnya sempat merasa dingin, tapi hanya sekejap sebelum dia kembali terbius sebab pengaruh obatnya masih ada. Apa yang dia lihat berganti-ganti dari balik kelopak matanya, mulai dari gelap hingga terang siang hari.
Satu kali kedipan, Flora perlahan meraih kesadarannya kembali. Semula buram hingga beranjak jelas dan terang menusuk matanya yang terlanjur lama terpejam. Begitu sadar, wanita itu tercengang.
“Di mana ini? Ini bukan kamarku,” gumamnya melihat ke sekeliling. “Apa aku tidur di kamar Taylor? Ah, sejak kapan dia suka tipe antik begini.”
Ruangan itu tiga kali lebih luas dari kamarnya. Interior baik yang menggantung di dinding maupun dipajang di atas meja terkesan kuno dengan gaya bangunan bak kastel. Hampir semuanya berwarna keemasan dan memakai kain satin. Persis seperti potret kamar seorang putri dalam film live action Disney.
Penasaran, Flora turun dari ranjang dan melihat ke luar jendela. Matanya membelalak melihat pemandangan luar biasa asri dan ditumbuhi banyak pepohonan bak hutan hujan. “Bukankah harusnya salju mulai turun? Kenapa jadi musim semi?”
Seumur hidup Flora tak pernah melihat pemandangan begitu di Amerika mana pun, bahkan tidak di Hawaii. Euforia yang bisa didapatkan jika berkunjung ke pedesaan atau lokasi tempat tinggal di film Tarzan. Benar-benar khas alam.
Flora memekik saat matanya tak sengaja melihat sesuatu dekat hutan. “Hah! Apa itu serigala?!” Flora menepuk-nepuk pipinya sendiri, siapa tahu masih terjebak dalam mimpi. “Ah, tidak. Aku pasti masih berada dalam mimpi. Ayolah, Flo, stres boleh tapi jangan sampai kau gila.”
Wanita itu kembali ke kasur. Menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. “Oke, yang harus kulakukan adalah kembali tidur dan semuanya akan kembali seperti sedia kala.”
Flora memang berniat untuk kembali tidur, tapi langsung akting sedang tidur sungguhan ketika mendengar suara pintu terbuka. Entah lantai jenis apa yang digunakan, langkah kaki seseorang itu terdengar sangat jelas di telinganya. Bulir-bulir keringat muncul ketika Flora merasa orang itu sudah ada di depannya.
“Luna.”
Eh? Flora sepertinya pernah mendengar suara berat dan serak khas pria itu. Terdengar tak asing di telinganya. Dan siapa itu Luna? Apa di ruangan ini ada orang lain selain Flora?
‘Duh, aku tidak mungkin berhalusinasi tentang pria, ‘kan? Terakhir kali aku berkencan masih beberapa bulan,’ batin Flora mengaduh.
“Kau bisa bangun jika memang sudah bangun.”
Flora mendengus, tanpa aba-aba langsung duduk. Tak disangka jarak wajah pria itu sangat dekat sampai Flora terjengkang ke belakang berusaha menghindarinya. “Kau siapa?!” pekik Flora, mundur secara perlahan ke arah kasurnya yang super besar.
Oke, mari kita jelaskan seperti apa pria itu. Tampan? Sudah jelas. Kulitnya tampak kecoklatan di tengah bulan Oktober. Garis wajahnya tegas bak model celana dalam pria. Namun, ada satu yang aneh, ada apa dengan pakaiannya? Dia memakai baju ... kerajaan? Baju itu biasa Flora lihat di acara sakral kerajaan Inggris. Kenapa dia memakainya?
Pria itu dengan santainya duduk di kasur dan menjawab, “Yang membawamu ke sini.”
“Memangnya ini di mana?”
“Di mansion-ku.”
Padahal mereka bertemu sehari yang lalu, tapi efek obat bius membuat Flora lupa akan Damian. Wanita itu kembali menepuk-nepuk pipinya. “Apakah aku masih mimpi? Hei, bangunlah.”
Damian terkekeh, tak bisa menahan diri untuk menahan tangan Flora dan mengelus pipinya. “Kau tidak sedang bermimpi, Luna.”
Flora menepis tangan Damian dan mendorongnya menjauh. “Jangan menyentuhku seenaknya. Dan asal kau tahu, namaku Flora, bukan Luna,” sinisnya. “Tunggu. Aku mengingatmu. Bukannya kau orang yang memberikan pekerjaan sebagai tukang daging itu?”
“Aku mempertimbangkan untuk menghapus ingatanmu, tapi Xavior menyarankan agar kau menerimaku sepenuhnya.”
“Apa sih yang kau bicarakan? Menerima apa?” Panik membuat Flora baru menyadari ada yang berbeda dari tubuhnya. Baju hangatnya telah berganti dengan gaun tidur putih yang terkesan mewah. “Tunggu. Pakaian apa yang kugunakan? Ke mana pakaianku? Siapa yang menggantikan bajuku?!”
“Kenapa kau terus berseru? Tidak ada satu werewolf pun yang berani berkata lantang di mansion,” dengus Damian kesal. Awalnya dia kira Flora tak akan kembali seperti sesaat sebelum dibius, ternyata memang sifat aslinya begitu ya sulit diubah, bahkan dengan mantra.
Sementara itu, Flora mengernyit bingung. “Wer apa?”
“Lupakan. Kau Lunaku.” Bak tak jera sudah ditolak, Damian kembali mengelus pipi Flora. Tentu saja wanita itu kembali menepisnya.
“Jangan sentuh aku dan berhenti memanggilku Luna.”
Damian mendesis. “Tak ada yang berani memerintahku.”
“Kubilang jangan sentuh!”
“Alpha.” Entah sejak kapan, tahu-tahu Xavior sudah ada di ruangan itu. Raut wajahnya seperti biasa, datar dan tak berekspresi. “Lebih baik kau memberi waktu untuk Luna menerima semuanya,” sarannya.
Damian tak berkata apa-apa, bangkit dari ranjang dan keluar dengan langkahnya yang besar-besar. Ketahuilah, meski Damian adalah Alpha yang baik dan tegas, dia kurang menguasai yang namanya sabar. Sejak kecil memang dididik untuk mengendalikan emosinya, tapi sejak kematian kakaknya Damian jadi mudah hilang kendali.
Hal itu juga yang membuat Supermoon Pack dan Megamoon Pack tak pernah akrab. Salah satu dari mereka sama-sama berambisi mengalahkan yang lainnya.
Xavior membungkuk, berniat memberikan Flora waktu untuk menyendiri. Namun, sang Luna mencegahnya. “Hey, jangan dulu pergi. Aku ingin menanyakan sesuatu,” kata Flora membuat Xavior tak jadi keluar ruangan. Dia diam-diam me-mindlink Damian.
‘Alpha, Luna ingin bertanya padaku.’
‘Jawab semua pertanyaannya.’
Pria itu mengangguk, mendekati Flora yang duduk di ranjang. “Silakan, Luna.”
Flora berdecak sebal. Jadi bukan hanya pria tadi yang memanggilnya begitu? Ya ampun, padahal tinggal bertanya namanya saja ‘kan tidak perlu pakai nama orang lain. “Kenapa kau dan dia terus memanggilku Luna?”
“Karena kau mate Alpha.”
“Apa itu Alpha?”
“Alpha yang akan menjelaskan semuanya.”
Flora mengangguk-angguk, mengambil sebuah kesimpulan. “Jadi, pria tadi namanya Alpha?”
“Bukan, namanya ... Damian.”
“Terus kenapa kau memanggilnya Alpha?” tanya Flora sarat akan kekesalan. Pria di depannya ini tampan sih, tapi sama-sama menyebalkan dengan si Alpha. Menjawab hal mudah saja berbelit-belit. Wajah tampan mereka akan dipandang sebelah mata karena bodoh.
“Sudah seharusnya, Luna,” jawab Xavior. Walau dia bisa menjawab semuanya, tapi akan lebih baik jika Damian yang menjelaskannya secara langsung. Harus secara perlahan atau Flora akan terkejut setengah mati.
“Baiklah-baiklah. Lalu, ini di mana?”
“Supermoon Pack.”
“Pack? Kita ada di Albany, ‘kan?”
“Tidak, Luna. Kita ada di Supermoon Pack.”
“Iya, di daerah mana itu? Aku tak pernah mendengarnya.”
“Luna akan tahu jika ada di sini lebih lama.”
Flora menoleh ke jendela. Ya tidak mungkin juga sih mereka ada di Albany, perubahan cuacanya tak akan seekstrem itu hanya dalam waktu sehari. Entah di negara bagian mana ini, tapi ada banyak istilah yang tak pernah dia dengar sebelumnya.
“Tidak mau. Antarkan aku pulang.” Flora menyibak selimutnya dan bersiap untuk bangkit.
“Luna tidak akan bisa ke mana-mana. Inilah rumah Luna.”
“Ini bukan rumahku dan berhenti memanggil Luna.”
Xavior melenguh. Astaga, siapa sangka meladeni pertanyaan seorang manusia lebih sulit daripada menghadapi sekumpulan Rogue? Jika Flora bukan Luna dan bergabung dengan manusia lainnya, pasti tak akan ada kesempatan untuk hidup lagi.
“Jika Luna butuh sesuatu, ada omega di depan. Saya permisi, Luna,” pamit Xavior buru-buru keluar ruangan sebelum sang Luna kembali mencegahnya. Sekesal apa pun, Xavior tetap tidak bisa menolak keinginan mate dari Alpha-nya.
“Hei, aku belum selesai bertanya.” Terlambat, pintu besar itu sudah tertutup rapat dan pria tadi sudah tak kelihatan. Flora menggumam, “Supermoon Pack? Oh, mungkin saja ada di Maps.”
Dia menyibak selimut untuk mencari ponselnya, tak ada. Biasanya Flora meletakkannya di saku jaketnya yang entah .... Ah! Ternyata ponselnya ada di dekat lampu tidur. “Hah? Ada apa dengan ponselku? Kenapa tidak bisa menyala?” gerutunya.
Ketika ditekan tombol power-nya, ponsel itu tidak menyala sama sekali. Padahal seingatnya terakhir kali pakai ponsel baterainya masih penuh, tak mungkin mati tanpa sebab. Flora terduduk bersandar ke kaki ranjang. “Sialan. Berakhir sudah peradaban hidupku.”
***
Setelah melarikan diri dari Lunanya, Xavior bergabung dengan Damian di balkon lantai dua. Dari atas sana, seluruh Supermoon Pack bisa terlihat bahkan sampai ke perbatasan. Di balkon itu jugalah tempat Damian menyampaikan pengumuman penting untuk semua rakyatnya.
“Apa saja yang dia tanyakan?” tanya Damian, rahangnya masih mengeras karena hal tadi.
“Hal-hal mendasar. Ingatkan aku untuk menolak ditanyai lagi,” balas Xavior.
“Sepertinya kau benar.”
“Tentang?”
“Tak akan mudah memiliki mate seorang manusia. Kedudukannya akan selalu berada dalam bahaya musuh-musuhku.”
Xavior menepuk-nepuk bahu Alpha-nya, bermaksud menenangkan. Dia paham kekhawatiran Damian, semakin besar posisi akan semakin besar bahaya yang mungkin terjadi. “Pack kita besar, Alpha. Ada banyak warior yang akan dengan senang hati menjaga Luna.”
“Megamoon Pack pasti akan mencari celah untuk memanfaatkan Flora.” Mata Damian menghunus lurus ke mansion musuh bebuyutan pack-nya yang berada jauh di seberang sana.
“Siapa?” tanya Xavior.
“Bukankah namanya Flora?”
“Oh ya, Luna.”
“Bagaimana tentang pemukiman rakyat? Ada keluhan selama aku di dunia manusia?”
“Tidak ada, Alpha. Ada serangan dari Rogue, tapi warior yang berjaga sudah mengatasinya.”
“Rogue. Kenapa mereka bisa menerobos jebakan kita?” Damian menggeram. Para wolf liar itu selalu meresahkan setiap Alpha dan pack. Entah sudah ke berapa kali pack-nya kedatangan para perusuh itu dan membuat kekacauan.
“Sudah banyak jebakan yang mati karena banyaknya Rogue. Jadi, semakin besar celah mereka untuk menerobos,” jelas Xavior. Di perbatasan, para warior tidak bisa seenaknya mengganti satu jebakan dengan jebakan lain. Bisa dibilang di sana itu tempatnya ranjau darat. Terjadi ledakan setiap hari karena Rogue terus berdatangan.
“Perketat penjagaan di perbatasan. Jangan sampai Eiden merencanakan sesuatu yang membahayakan pack kita,” titah Damian. Lebih daripada itu, dia khawatir sang rival merencanakan sesuatu yang menyangkut Flora. Mate-nya.
***
Oh ya, kalau kalian belum ngerti apa itu omega, rogue, atau bahkan alpha bisa cari di internet ya. Takutnya kalau aku yang ngejelasin malah gagal paham. Kayak aku ngerti, tapi kalau disuruh ngejelasin malah bingung gitulohh.
Tentang warior itu sama aja kayak guards kalau kalian baca di cerita lain. Jadi kalau ada warior itu bayangin aja guards ya, artinya kan kurleb sama kok
Satu lagi, next chapter semoga aku bisa ngasih kabar bagus ya untuk kita semua. Stay tuned.