FAM 3 WTF

3033 Kata
PONSEL mati dan tak ada satu pun alat penambah daya ponsel, bahkan tak ada soket listrik. Tak ada tanda atau nama lokasi sama sekali yang bisa menjawab rasa penasarannya. Entah jenis peradaban terbelakang seperti apa tempat yang ditinggalinya ini, tetapi bagi Flora rasanya seperti neraka. Ayolah, pasti akan ada banyak hal yang tertinggal dengan tidak terhubung di internet. Entah itu mantannya terlibat perkelahian atau sekadar kabar adiknya. Oh ya, Flair! Flora mengusap tengkuknya gusar, berusaha mencari ‘lampu’ di kepalanya. Apa saja yang bisa mengeluarkannya dari sini, adiknya sedang membutuhkannya sekarang. Apa yang akan terjadi jika dia melompat jatuh? Ah, ide buruk. Flora tidak pandai menghitung ketinggian, tetapi itu akan cukup untuk membuat kakinya patah. Tidak, terima kasih, dia tak mau memiliki alasan seperti itu untuk menemui dokter. “Luna, Alpha menunggumu di ruang makan.” Wanita itu terperanjat, melirik sinis pada seseorang yang dia lupa namanya—atau mungkin Flora memang tak pernah bertanya. “Aku tidak mau makan sebelum ada yang memberitahuku semuanya,” ancamnya bersedekap d**a. Kedua pria itu sama-sama tampan, tetapi tidak menjadi nilai plus sama sekali di matanya. Kalau saja sekarang mereka ada di Albany, paling tidak Flora akan berusaha menendang bokongnya karena sudah seenaknya menculik. “Alpha yang akan memberi tahu,” ujar Xavior. “Lalu di mana Alpha-mu itu, huh? Tidak ada yang memberitahuku, dengar? Tidak ada!” “Ya, Alpha akan memberi tahu semuanya di meja makan.” Mata Flora menyipit curiga. “Kau bohong, ‘kan?” “Tidak, Luna.” “Berhenti memanggilku Luna!” pekik Flora. Tatapannya tertuju pada ujung kakinya, tepatnya ke ujung bajunya yang sama sekali tidak memiliki gaya penampilan yang bagus. Gaun ini lebih mirip seperti gaun tidur nenek-nenek dengan pinggangnya yang tidak dibentuk sama sekali. Lebih tepatnya gaun itu seperti kain yang asal dijahit. Entah penjahit mana yang membuatnya, tetapi ini sangat buruk! “Oke. Aku tak mau mengenakan baju ini. Bisa bawakan aku baju yang lain?” Bak sulap, sepotong baju datang hanya dengan jentikan jari Xavior. Flora mengusak matanya sendiri. Dari mana baju itu datang? Trik apa yang digunakan pria menyebalkan itu? “Ini, Luna.” Apakah semua penduduk di sini buta gaya? Bukan lebih baik, ini bahkan lebih buruk, astaga! Itu jenis gaun yang biasa ditemukan di opera, seperti gaun-gaun kerajaan Inggris zaman dulu. Mirip gaun Elizabeth 1 dengan detail renda-renda yang membuat mata gerah melihatnya. Bisa dipastikan ada lebih dari sepuluh kain yang digunakan untuk membuat gaun tersebut dan tentu saja jawabannya adalah tidak. Flora meliriknya malas. “Gaun apa itu? Apa kalian ini hidup dari abad ke sembilan belas?” “Ini gaun untuk Luna. Sudah turun temurun sejak Luna terdahulu.” “Apa? Pakaiannya sudah setua itu dan kau menyuruhku memakainya? Apa kalian tidak tahu apa itu gaya berbusana?” Xavior hendak mengatakan sesuatu, tetapi kemudian dia menerima mindlink. ‘Xavior, kenapa Flora belum juga datang?’ “Luna, Alpha sudah menunggu.” “Biarkan saja. Apa peduliku? Aku diculik ke tempat tak jelas ini dan tak ada yang mau menjelaskan. Bagus sekali.” Flora tidak mengindahkan sama sekali tentang gaun turun temurun tersebut yang pastinya sangat tidak sesuai dengan gaya pakaian di zamannya. Tidak tahu saja dia betapa penduduk di sana sangat menginginkan punya kesempatan mengenakan gaun tersebut. Seolah keinginan para gadis kecil untuk dapat menjadi seorang putri kerajaan. ‘Luna tidak ingin memakai gaunnya, Alpha.’ ‘Kalau begitu, suruh penyihir membantunya.’ “Baiklah, Luna. Para penyihir akan membantumu dengan gaunnya.” “Apa? Penyihir?” Ah, Xavior ingat kalau di dunia manusia tidak ada yang namanya penyihir atau mantra sihir. Entah bagaimana bisa mereka hidup berkemudahan tanpa adanya penyihir yang membantu mereka. “Itu hanya sebutannya, Luna.” “Baiklah. Mana penyihirnya?” “Luna harus tutup mata dulu.” “Kenapa?” “Jika tidak, mereka tak akan bisa bekerja.” “Terserahlah. Demi baju yang sesuai denganku dan zaman ini.” Flora duduk di kursi meja rias dan menutup matanya. Dia tidak tahu apa yang terjadi atau apa yang akan terjadi, tubuhnya terlalu merindukan sesuatu yang modis. Paling tidak, gaun tidur itu tidak ada kancing depannya sama sekali! Dengan lirikan matanya, beberapa penyihir datang begitu saja dari balik dinding. Bak ibu peri yang siap menyelamatkan malam Cinderella, penyihir putih itu mengucapkan mantra yang kemudian serbuk putih berkilauan menyerbu Flora. Benar-benar sihir murni yang dapat membantu sang putri mendapatkan gaunnya. Sudut mata Flora mengerut. Dia tidak merasakan seseorang datang untuk mendandaninya atau sekadar menyiapkan gaun. Apa-apaan ini? Apa pria itu berkata omong kosong? Jadi, itu artinya Flora sia-sia tutup mata sejak tadi? “Sudah, Luna.” Setengah tidak percaya dengan umpatan yang tak hentinya dalam hati, Flora perlahan membuka matanya. Bibirnya sudah siap melontarkan seribu satu umpatan yang akan membuatnya dihukum jika dia mengatakannya di usia 10 tahun. Rahangnya bak jatuh begitu saja ketika pakaiannya benar-benar berganti, bukan lagi kain yang sama usangnya seperti kain pel tadi. “Hah? Bagaimana bisa?” tanyanya tak percaya, berlari ke depan kaca. Memang tidak sesuai ekspektasinya, tetapi ini jauh lebih baik. Tidak ada lengan balon, tidak ada layer kain berlapis-lapis atau kerah berenda yang memuakkan. Itu hanya sebuah gaun dengan warna biru pudar yang cocok di kulit pucatnya. “Trik.” “Yaa ini gaun sih, tapi jauh lebih baik daripada gaun turun temurun itu.” Flora tersenyum senang, menghampiri pria tadi dan mengulurkan tangannya. “Baiklah, siapa namamu?” Xavior menunduk singkat, secara tidak langsung menolak uluran tangannya. “Xavior, Luna. Tetapi kau bisa memanggilku Beta.” “Baiklah, Xavior, tunjukkan jalan ke meja makannya. Entah kenapa aku bisa bertahan semalaman tanpa makan apa-apa. Ugh! Semoga berat badanku akan berkurang lima pon.” “Lewat sini, Luna.” Xavior berjalan lebih dulu dan membukakan pintu untuk sang Luna. ‘Alpha, Luna menuju ke sana.’ *** Damian menyiapkan acara makan kali ini dengan serius dan berbeda. Tentu saja dia tidak ingin Flora lari terbirit-b***t jika melihat isi meja makan penuh dengan daging mentah dan tulang yang masih utuh. Kali pertama Flo keluar dari kamarnya, tidak boleh ada yang kurang atau wanita itu akan lebih lama mengurung di kamarnya. Sang Alpha juga memperbaharui tampilan mansionnya. Para penyihir dengan cepat membuka semua gorden yang ada, membiarkan mansion dipenuhi sinar mentari dari luar. Tidak berubah banyak, setidaknya lebih ramah manusia. Hanya ada satu manusia di mansion ini dan itu hanyalah Flora. “Baiklah. Kalian sudah singkirkan semua tulangnya?” tanya Damian pada semua maid alias omega. “Sudah, Alpha. Kali ini para omega memakai daging rusa untuk hidangannya—yang sudah dimasak.” “Bagus. Flora tak akan suka memakan daging sebangsanya.” Dengan pakaian kebangsaannya yang juga mencerminkan warna pack—coklat keemasan—yang biasanya hanya digunakan pada saat acara atau pengumuman penting. Ketampanannya bertambah berkali-kali lipat dengan bahunya yang tampak kokoh. Bukankah ini juga acara penting? Memenangkan hati seorang manusia yang tidak akrab dengan ‘mate’ akan menguras tenaga, kata Xavior. Panjang umur. Xavior datang tidak lama kemudian. Damian melirik ke belakangnya, tidak ada siapa pun. Sang Beta datang sendirian, tetapi tidak mengirimkan mindlink sama sekali. “Xavior, di mana Flora?” Xavior terlihat sama bingungnya, menoleh ke sekeliling ruang makan yang terlihat bersih tanpa noda darah atau potongan tulang. “Bukannya dia sudah kemari?” “Apa maksudmu?” “Tadi Luna memintaku tidak mengikutinya. Jadi, para omega yang mengantarnya ke sini.” “Sialan, di mana dia?” umpat Damian berlari ke lorong tersebut, memerintahkan penyihir untuk membantu mencari keberadaan Luna mereka. Penyihir ada hampir di setiap lorong dan dinding, walau ada beberapa ruangan yang tidak diperbolehkan. Flora tidak mungkin kebetulan masuk ke ruangan tersebut, ‘kan? *** Di film-film, setiap lorong kastel seperti ini paling tidak akan menemukan jendela atau apa pun yang bisa digunakan untuk melarikan diri. Sialnya entah sudah berapa lama atau seberapa jauh Flora melarikan diri dari omega yang mengantarnya tadi, dia tidak juga menemukan pintu keluar. Semua lorong ini terlihat sama saja. “Di mana aku?” gumamnya di tengah-tengah persimpangan lorong, bingung harus mengambil jalan yang mana. “Astaga, niatku kabur malah tersesat begini. Lagi pula rumah macam apa ini? Ingin keluar saja sangat susah. Bangunan ini lebih besar dari bangunan yang sebelumnya.” Bagus bagi Flora omega yang tadi sangat mudah ditipu, sama bodohnya dengan Xavior yang percaya saja kalau Flora akan menurut dan tetap ke meja makan. Halo, tidak ada tawanan yang mau-maunya melewatkan kesempatan sebagus ini untuk melarikan diri. Ya meski entah akan berhasil atau tidak. “Kenapa kastel tua ini sangat luas? Melihat ke ujung lorong saja sudah melelahkan. Dasar orang-orang kuno! Sepertinya mereka tidak tahu yang namanya rumah minimalis atau Burj Kalifa yang luas ke atas, bukan ke samping!” gerutu Flora memijat kakinya yang telanjang. Entah di mana sepatu mahal Laviola miliknya, ingatkan dia untuk bertanya pada si Alpha itu nanti. Sepanjang perjalanannya, Flora tidak menemukan omega atau siapa pun. Bagus dan buruk. Bagusnya dia tidak ketahuan melarikan diri, buruknya Flora mulai berpikir kalau dia sedang menjalani tes ketakutan dalam mimpi seperti di Divergent. Mustahil bangunan sebesar ini tidak ada siapa-siapa. “Mengerikan sekali di sini. Lebih seram dari rumah berhantu milik Liam saat halloween. Entah bagaimana orang-orang itu bisa bertahan tanpa bergidik ngeri atau kedinginan. Apa aku ada di Alaska atau Kutub? Aneh, di luar sana ‘kan musim panas. Aku ada di negara mana ini? Ck! Memikirkannya membuat kepalaku mau pecah!” “Cepat cari dia!” Flora membelalak. Suara itu entah datang dari lorong yang mana, tetapi terdengar semakin mendekat. Jangan sampai si Alpha itu menemukannya. “Astaga, apa dia si pria menyebalkan? Gawat. Aku harus bersembunyi di mana ini?” Entah baru disadarinya atau pintu itu memang tadinya tidak sana, tanpa pikir panjang Flora masuk ke ruangan yang dia tidak tahu. Benar-benar terpaksa. Yep, Flora langsung menyesali keputusannya saat berbalik dan yang dilihatnya kegelapan. Err, tidak begitu gelap sih, samar-samar di bawah sana karena ada obor. Terpikir untuk keluar dan mencari tempat persembunyian yang lebih bagus, tetapi seruan orang-orang itu memaksa kakinya melangkah ke bawah. “Cepat endus!” “Hii! Orang-orang itu seperti kanibal saja. Primitif. Tunggu, apa jangan-jangan mereka memang kanibal dan aku akan disantap? Apa jangan-jangan ini adalah pulau kanibal di Siberia? Gawat. Aku harus segera keluar dari sini.” Tangannya meraba-raba dinding, berharap tidak ada serangga jenis apa pun yang akan merayap ke tangannya. Tidak ada jalan lain lagi selain turun ke tempat yang gelap itu. Sampai di tengah-tengah anak tangga, kaki Flora berhenti. Dia jari ragu saat mendengar suara-suara aneh dan bau yang menyengat dari bawah sana. Namun, dia juga tidak mungkin kembali ke atas. Ayolah, apa yang lebih buruk dari ruang bawah tanah? Ya, apa pun selain Pennywise yang memegang balon. “Ada orang di sini?” tanya Flora berusaha lantang, tetapi malah terdengar mencicit. Semakin bawah, matanya membelalak. Apa-apaan ini? Ruang bawah tanah itu bukanlah ruang barang-barang tak terpakai atau tempat persembunyian anak nakal. Ini penjara! Gilanya lagi, di balik jeruji itu bukan hanya ada manusia, tetapi serigala atau rubah dengan tatapan lapar ditujukan padanya. Ya ampun, apa tempat ini sarang penjualan organ manusia dan binatang dilindungi? “Tolong.” Flora mengambil salah satu obor dan mengarahkannya ke sel yang paling dekat dengannya, membekap mulutnya terkejut. “Kau?!” “Hei, tolong aku! Bagaimana bisa kau keluar? Apa kau kabur dengan cara menghajar orang-orang itu?” pinta wanita yang sempat menjadi teman bicara Flora saat menunggu waktu itu. “Aku tidak dikurung sebelumnya. Kenapa kau dikurung?” “Aku tidak tahu. Cepat bantu aku keluar sebelum orang itu kembali lagi.” Tidak hanya ada dia, ada beberapa orang lain dalam sel yang sama dan mereka semua tampak ketakutan. Belum lagi hewan buas yang ada di sel sebelah, Flora berusaha untuk tidak menatapnya. “Baiklah. Aku akan mencari cara.” Walau tidak yakin akan ada kunci yang sengaja ditinggal, Flora menyusuri dinding dari lantai atas tadi. Harusnya ada di sekitar sana sehingga penjaga bisa mudah meninggalkan kuncinya. Sial! Tidak ada. Flora terus menyusuri setiap tembok sampai yang memisahkan sel satu dengan yang lainnya. Ah, orang-orang itu masih berbaik hati tidak menjadikan selnya tembus pandang. Roarr! Flora menjengit, tak sengaja menjatuhkan obornya. Gawat! Seseorang di bawah cahaya remang-remang itu—bahkan Flora tak yakin apa itu orang atau bukan! Kakinya gemetar hebat saat orang itu menyadari keberadaannya dari denting obor yang jatuh. “Siapa di sana?!” “Mati aku.” Dia sudah siap mengambil langkah seribu dan ambil risiko orang-orang tadi akan menemukannya, tetapi sesuatu melompat dari kegelapan. Seharusnya dia bisa berlari secepat mungkin atau berteriak. Namun, Flora benci menyerah dari sesuatu yang menurutnya masih bisa diimbangi. Jadi walau terdengar bodoh, Flora memasang kuda-kuda dan menunggu sesuatu itu terlihat. “Argh! Kenapa ada serigala yang lepas di sini?!” Serigala itu menggeram lalu mengaum keras. Sial, jelas Flora tidak bisa melawan serigala! Oleh karena itu secepat kilat dia berbalik, akan berlari ke mana saja atau memohon pada siapa saja agar membantunya lepas. Akan tetapi, wajahnya membentur sesuatu yang keras, tetapi tidak sekeras dinding. Sial, sial, sial. Kenapa tidak ada rencananya yang berjalan lancar? Bukannya lepas dari serigala, malah bertemu serigala lainnya. Dari mana juga si Alpha itu tahu keberadaannya?! “Aku tidak membiarkanmu untuk pergi. Kenapa kau pergi?” geram Damian. “Tempat apa ini? Kenapa kau menahan mereka? Kenapa ada serigala?” tanya Flora melupakan ketakutannya dan fakta kalau di belakangnya ada serigala—yang langsung tunduk saat melihat Damian. “Kau tidak perlu tahu.” Damian menarik Flora keluar dari ruangan itu, ke mana saja untuk memberinya pelajaran karena sudah beraninya mencoba kabur. “Lepaskan, sialan! Kau harus menjawab dulu pertanyaanku!” Flora memukul-mukul lengan berotot pria itu, tetapi Damian tampak tidak terganggu. Lorong yang tadinya super panjang dilalui Flora sekarang dengan mudahnya membawa mereka ke ruang makan. “Bagaimana bisa .... Bukankah tadi di depan pintu lorong panjang?” Damian menyentak tangannya dan duduk di kepala meja makan. Rahang pria itu mengetat sempurna. “Duduk dan makanlah. Jangan sampai aku kehilangan kesabaran dan berakhir dengan mengoyak dagingmu.” Flora terkekeh sinis, bersedekap d**a. “Apa kau bilang? Kau menculikku secara sepihak. Bagaimana bisa kau begitu santai menyuruhku untuk makan? Aku bahkan tidak selera! Aku tidak akan makan apa pun sampai kau memberi tahu tempat apa dan di mana ini.” Flora sadar akan beberapa orang berpakaian omega memperhatikannya, tetapi dia tidak peduli. Si Alpha ini perlu diberi pelajaran agar tidak seenaknya, bahkan jika dia memiliki uang jutaan triliun. Lagi-lagi, Flora mengutuk ketertinggalan tempat ini mengikuti zaman. Apa pria ini tidak bisa belajar sedikit saja mode di Bufallo? Damian mengalihkan tatapannya pada Flora—tatapannya datar. Mate bukan berarti bisa sebebasnya mengetes kesabarannya, Damian memiliki batas yang tidak boleh dilalui siapa pun. “Apa di dunia manusia sejenismu memiliki sifat penasaran seperti ini?” “Tunggu. Apa maksudnya dunia manusia dan sejenismu? Kuperingatkan, aku bukan orang yang tepat untuk diajak bercanda atau memainkan permainan apa pun yang sedang kau lakukan. Pulangkan aku, adikku membutuhkanku, sialan!” “Jika yang kau khawatirkan adalah lembaran kertas bernama uang itu, Sean sudah mengurusnya.” Perlahan Damian terlihat santai, meneguk sesuatu dari gelasnya. Kelihatannya dia sudah siap sarapan, tetapi dia tidak makan apa pun. “Dan tak akan ada yang menyadari kehilanganmu.” “Apa? Apa yang sudah kau lakukan dan bagaimana bisa?” “Kau tidak lelah terus mengatakan banyak hal tanpa makan?” “Aku tidak—” Kruyukk! Flora memejamkan mata, merutuki perutnya sendiri yang tidak tahan dengan godaan aroma daging panggang. Astaga, bahkan aromanya tidak selezat itu hingga perutnya bersuara nyaring. Lihat, orang-orang menertawakannya diam-diam, terutama si Alpha. “Perutmu bahkan bisa lebih jujur,” ejek Damian secara halus, berdiri. “Makanlah. Aku tidak bisa melakukan satu pun ritual setelah menemukan mate karena kau adalah manusia. Kau perlu beradaptasi sebelum menjadi Luna sepenuhnya.” “Luna lagi Luna lagi. Aku bosan mendengarnya dan tak ada yang memberi tahu apa artinya itu.” Membuang gengsinya, Flora duduk di meja makan. Semua makanan itu tidak akan menghabiskan dirinya sendiri, sangat sayang untuk dilewatkan meski tak akan selezat makanan buatan mamanya. “Kau tidak makan?” “Habiskan saja lebih dulu. Kau tak akan mau makan satu meja denganku tanpa muntah.” “Menjijikkan! Jangan katakan hal-hal seperti itu di meja makan, sialan!” *** Melalui mindlink, Xavior menemui sang Alpha di atas mansion. Dari atas sini, semuanya bisa dilihat lebih jelas dan lebih luas. Damian hanya mengundangnya datang jika pria itu memerlukan saran dari sesuatu yang benar-benar penting untuk dipikirkannya. Tidak bisa asal mengambil keputusan. Xavior ingat betapa dulu dia sering menggunakan kawasan ini untuk mengawasi ayahnya bersama Damian. Mereka akan mempraktikkan bagaimana para orang tua berkelahi walau saat itu mereka masih terlalu muda, Damian belum memiliki Dane dan Xavior dengan Rex. “Jadi, kau sudah menemukan cara bagaimana menjelaskan pada Luna tentang kita?” tanya Xavior menebak permasalahan sang Alpha. Dia memang tidak ada di ruang makan, tetapi informasi menyebar dengan cepat dan sampai di telinganya bagaimana sang Luna adu mulut dengan Alpha mereka. Damian mendengus, merasakan angin membelai kulitnya. “Sepertinya tidak sekarang, Xav. Kami bahkan tidak bisa langsung makan karena dia mengajakku berdebat. Menjelaskannya sekarang hanya akan membuatnya membenciku.” “Lalu apa rencanamu?” “Pastikan jangan ada pack lain yang tahu tentang Flora. Tidak sampai dia tahu situasi di luar sana bagaimana. Mengingat bagaimana dia berusaha melarikan diri pagi ini, dia pasti akan mencoba melakukannya lagi jika ada kesempatan.” Tatapan matanya tertuju pada mansion Eiden, musuh terbesarnya. “Tapi bukankah bagus jika mereka tahu Luna adalah mate-mu? Jika sesuatu terjadi dan Luna memasuki pack lain, mereka tak akan langsung membunuhnya atau mengira dia rogue.” “Tidak, Xav. Aku tak ingin kejadiannya sama seperti kakakku. Mereka akan memanfaatkannya bagaimana pun agar aku tunduk. Bukan hanya dia yang akan bahaya, tetapi seluruh pack kita.” “Baiklah, Alpha. Aku akan melakukan sesuatu agar informasi tidak menyebar.” Xavior membungkuk meski Damian membelakanginya, sebuah kewajiban yang sudah diterapkan sejak mereka kecil. Supermoon Pack sejak dulu hanya memiliki satu pewaris tetap, Damian. Terlepas dari kakaknya yang perempuan, takhta itu akan tetap menjadi miliknya apa pun yang terjadi. Dan karena itu pula, Damian membenci dirinya yang terus membahayakan semua orang yang disayanginya dan harus melindungi mereka. “Aku tidak akan membiarkan hal yang sama terjadi lagi. Cukup Dasha yang gagal kulindungi, tidak dengan mate-ku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN