ADA yang aneh dengan tempat ini, sudah jelas itu. Tempat ini seperti sebuah kota tersembunyi yang sulit ditemukan, tidak mungkin ‘kan kalau ini Atlantis. Kalau benar mungkin dalam paru-paru Flora sudah dimasuki banyak remis seperti di film kartun agar bisa bernapas dalam air. Lagi pula, sebenarnya tidak ada bedanya dengan Albany atau kota-kota lain, kecuali beberapa hal.
Pertama, tempat ini seperti tidak pernah tersentuh teknologi atau perkembangan dunia luar. Tidak ada gedung sama sekali, bukan New York sama sekali. Sangat terisolir, bahkan jauh lebih parah dari Glasgow—walau secara teknis Flora tak pernah ke sana. Tempat ini seperti perkampungan Inggris zaman dulu dengan wig-wig putih dan gaun besar, padahal Inggris yang sekarang ‘kan sangat modis.
Kedua, orang-orangnya. Oke, Flora tidak tahu si Alpha itu siapa di sini, tetapi jelas semua orang menghormatinya. Dia tidak mungkin raja atau pangeran Inggris, ‘kan? Oh ayolah, orang-orang dengan kamera yang gila penasaran itu tak akan membiarkan wajah tampannya absen dari internet.
Ketiga, kedua pria itu dengan nama yang aneh dan selalu menyebutnya Luna. Tidak dapat dipastikan, tetapi ada yang berbeda juga dari mereka. Terutama saat berhadapan dengan si Alpha, hunusan matanya tampak bersiap untuk menerjang tanpa ampun. Auranya juga terasa misterius, aura yang hanya dirasakan dari pria paling pendiam di bangku sekolah dulu.
Flora membawa ponselnya yang mati total, mengamati pemandangan dari jendela. “Akan lebih bagus jika aku memiliki intuisi Detektif Conan sekarang. Sayangnya, aku payah dalam menganalisis atau menyelidiki sesuatu. Sialnya, Google juga tidak berfungsi. Ponselku barang rongsokan sekarang. Menyebalkan.”
Hampir sebagian besar yang dilihatnya adalah pohon-pohon besar menutupi lahan. Flora bisa melihat perkampungan, tetapi hanya atap-atapnya saja. Entah nantinya pada penduduk itu akan lebih buruk atau sama seperti si Alpha, rasanya lebih baik daripada di sini.
“Di mana ada negara yang musim semi saat Oktober? Ah, ada terlalu banyak. Negara tropis ‘kan hanya memiliki dua musim. Tidak ada yang spesifik dari tempat ini untuk kucari tahu,” gumamnya berusaha memecahkan pertanyaan.
“Pemandangan ini terlalu fantasi untuk jadi kenyataan. Seperti di film Narnia atau Peter Pan. Mengejutkan orang-orang bergergaji besi itu tidak tahu ada tempat seluas ini untuk dijadikan tempat perbelanjaan.”
Flora mendongak, melihat lebih jauh. Keningnya mengerut saat melihat bangunan besar yang serupa dengan mansion ini—mungkin. “Mereka punya mansion lain? Kenapa jaraknya jauh sekali?”
“Luna.”
“Astaga!” Wanita itu terhenyak, menekan dadanya yang berdentum-dentum. Ekor matanya tajam mendelik pada Xavior. “Bisakah kau mengetuk pintu atau paling tidak bersuara? Bagaimana jika kau masuk saat aku sedang berpakaian?”
“Maaf, Luna, tapi Alpha ingin bertemu.”
Alpha, nama jenis apa itu? Terdengar seperti seseorang yang baru saja kehilangan pekerjaannya. “Jadi pria menyebalkan itu sudah tidak marah lagi? Kukira dia akan membuangku ke tengah-tengah hutan lebat di bawah sana,” gerutunya, tetapi tetap mengikuti Xavior. Pria itu tampaknya mustahil ditipu dua kali melihat bagaimana dia mengawasinya.
Bagus. Flora menyia-nyiakan kesempatan emasnya dengan berlari ke ruangan kemarin. Jadilah lebih sulit baginya untuk mencari celah jalan keluar.
Xavior membawanya ke sebuah ruangan yang Flora sendiri tak tahu jenis ruangan apa. Kantorkah? Hanya ada kursi tamu dan barang-barang seperti lemari, tetapi dibuat seolah resmi. Apa dugaannya benar kalau si Alpha itu pangeran atau semacamnya?
“Ada apa?”
“Duduk.” Damian berbalik, bersandar ke bingkai jendela. “Apa pun yang sedang kau pikirkan, lupakan. Kau tak akan bisa kabur atau pergi ke mana pun.”
“Kenapa tidak bisa? Kau takut tak ada yang memberiku tumpangan ke Albany? Aku memang tidak tahu ini di negara bagian mana dan uangku mungkin tak akan cukup untuk pulang, tapi ketahuilah, Tuan Alpha. Jika tekadku besar, aku akan sanggup pulang jalan kaki.”
“Kenapa kau berkeras ingin pulang?”
“Kenapa juga aku harus menetap di sini? Huh?”
“Bukankah sudah kubilang jika masalah keluargamu dengan uang sudah diatasi Sean?”
Flora menghela napas cukup dalam. “Maaf, siapa namamu?”
“Damian.”
“Damian, aku tidak tahu apa maksudmu ingin menahanku di sini. Aku juga tidak tahu kenapa kau menahan orang-orang itu di bawah sana. Aku tak tahu dan aku tak mau tahu. Tidak ada ruginya bukan kau melepaskanku, huh?”
Entah perasaan Flora saja atau Damian menatapnya cukup intens walau dari jarak jauh. Mata coklatnya seolah memaku atensi Flora agar tidak berpindah ke mana pun. “Aku tidak bisa melepaskanmu, Luna.”
“Harus kubilang berapa kali ....” Flora meremas tangannya sendiri, menyalurkan kekesalannya. “Oke, kau boleh memanggilku Luna. Asal pulangkan aku, k*****t! Aku tidak ada urusan sama sekali denganmu dan tempat bodohmu ini!”
Sekejap hanya ada keheningan di antara mereka. Flora melemparkan tatapan paling tajam yang pernah dibuatnya, bahkan dengan tatapan seperti itu mamanya pernah mengurungnya di ruang bawah tanah—tidak sopan. Dia tidak mau kalah dengan tatapan jenis apa pun yang dibalas Damian.
Semula dia pikir dia akan berhasil, misi melarikan diri atau membuat Damian membebaskannya dari sini paling tidak akan sedikit menunjukkan kemajuan. Flora tidak diperlakukan sebagai tahanan seperti orang-orang kemarin, jadi seharusnya Damian tidak ada alasan untuk menahannya.
Ya, kalau pria itu masih memiliki belas kasihan.
“Tampaknya akan sulit berbicara denganmu beberapa waktu ke depan,” ujar Damian.
“Apa maksudmu beberapa waktu ke depan? Kau pikir aku akan bertahan selama itu? Tidak akan.” Flora berdiri, berkacak pinggang dengan raut wajah pongah. “Aku akan mencari cara untuk keluar dari sini, bahkan jika itu membunuhku.”
Dia baru sadar bahwa sejak tadi Xavior ada di sana, tetapi Flora melewatinya begitu saja. Entahlah akan ke mana, yang jelas rumitnya tempat ini tidak akan membuat Flora menyerah. Dialah orang yang dulu menaklukkan labirin halloween dan memenangkan hadiah 1000 dolar, apa hebatnya tempat ini hingga membuatnya menyerah? Cih, tidak akan.
“Alpha, apa yang harus kulakukan?” tanya Xavior sebelum memutuskan sendiri untuk mengejar sang Luna.
“Awasi saja dia. Siapa yang tahu apa yang bisa dipikirkan manusia sepertinya? Sepertinya tak akan bagus.”
***
“Orang-orang bodoh itu, mereka pikir aku akan menurut begitu saja? Tidak akan. Flora Angeline tidak akan pernah pasrah dan berdiam diri. Pasti selalu ada cara, pasti. Aku hanya harus menemukannya,” gerutu Flora.
“Ayo, Flora, mungkin kau tidak bisa menjuarai lomba debat atau bela diri, tetapi kau tetap seseorang yang jenius. Ayo, gunakan otakmu semaksimal mungkin. James Bond, Ethan Hunt, siapa lagi orang-orang intel itu? Sial, bahkan aku tidak bisa mengingat cara mereka melarikan diri di situasi seperti ini.”
Sayangnya, tidak ada kain atau apa pun yang bisa dibuat pegangannya agar bisa turun ke bawah sana seperti di film. Lagi pula dengan ketinggian ini, paling tidak Flora membutuhkan lima seprai. Sial, tidak ada yang bisa digunakan untuk kabur di sini.
Flora membuka pintu kamarnya, seketika terkejut saat seorang wanita membungkuk di depannya. Yang benar saja, untuk apa dia di sana? Berapa lama? Flora masuk kamar belum lama, bagaimana bisa dia ada di sana?
“Ada yang bisa dibantu, Luna?” tanya wanita tersebut, salah satu omega.
Mata Flora menyipit, tanda kalau dia sedang berpikir atau mencurigai sesuatu. Kali ini, keduanya. Dia mengira-ngira apakah omega yang ini sama seperti omega yang sebelumnya—yang bisa ditipu. “Umm, apa kau bekerja di sini?”
“Bekerja? Maksudmu mengabdi, Luna?”
“Jadi kau ada di sini untuk waktu yang lama?”
“Tentu saja. Sebuah kehormatan—”
“Ya lupakan saja. Kau bisa membantuku keluar dari sini? Aku tak akan mengadukanmu pada pria kaku itu. Dengan apa kau memanggilnya? Alpha.”
Omega tersebut membungkuk. “Luna hanya bisa keluar dari sini bersama Alpha. Para witch tak akan membiarkan Luna kabur dari dalam mansion.”
Flora bergidik, melirik ke dalam kamarnya. “Jadi di sini memang ada penyihir? Kenapa aku tidak bisa melihatnya? Tunggu. Bagaimana jika kau penyihirnya?”
“Luna tidak akan bisa ke mana pun tanpa persetujuan Alpha.”
Benar-benar ada yang aneh dengan tempat ini. Bukan hanya Damian, wanita di depannya ini juga warna matanya berubah-ubah. Tanpa sadar Flora mendekatkan wajahnya, memperhatikan mata omega itu. Benar, warnanya berubah-ubah.
“Ada yang tak beres dengan matamu. Ambillah cuti dan periksa ke dokter mata.”
Tidak peduli apakah wanita tadi mengikutinya atau tidak, Flora berjalan-jalan di lorong yang lagi-lagi terasa tak berujung. Membingungkan, semua lorong terasa sama. Begitu dia mengambil satu lorong lain, dia seperti mengulangi lorong sebelumnya. Sial, semoga si Alpha itu juga pernah tersesat sepertinya.
Satu pintu menarik perhatiannya. Flora ingat jika pintu ke ruang bawah tanah kemarin ada tanda warna merah di kenop pintunya yang menyerupai cucuk kerbau. Kalau benar ini istana, berarti ekspektasinya tentang kerajaan di film kartun sangat tidak sesuai.
“Bagaimana nasib orang-orang yang kemarin? Dia seperti tidak mengenaliku,” gumam Flora di depan pintu. Tangannya sudah menyentuh kenop, tetapi kemudian ingat kejadian kemarin, Flora menoleh ke kanan dan kiri lalu mengambil sebuah tongkat. Entah apa kuat atau tidak, setidaknya dia punya alat perlawanan. “Baiklah, jika ada serigala lagi, sekarang aku sudah siap.”
“Haaaa!” Flora berteriak saat sudah masuk, memukul ke segala arah takutnya ada serigala atau orang jahat. Sedetik, dia tidak merasakan tongkat itu mengenai atau memukul sesuatu. Dari balik matanya juga terbersit cahaya, tidak mungkin ruang bawah tanah kemarin seterang ini.
“Kau?!”
Damian menyeringai, dengan santai mengancingkan pakaiannya. “Tersesat?”
“Aku yakin ini tempat yang kemarin. Serigala, orang-orang. Kenapa isinya jadi ruanganmu?”
“Para witch bisa membaca tujuan seseorang. Mereka bisa membantu, atau malah mengusili. Terkadang tempatnya tetap, ada satu tanda untuk membacanya.” Dia menoleh dan menatap Flora tajam. “Sepertinya kau memiliki niat buruk hingga mereka menyesatkanmu ke sini.”
“Aku tidak begitu,” elak Flora menyimpan tongkatnya di belakang pintu. Baru saja akan pergi, tetapi Flora tertarik untuk mendekat. “Damian, matamu bermasalah juga?”
“Juga?”
“Aku lihat tadi mata pelayan juga begitu. Apa itu wajar?”
Refleks Damian menyentuh matanya dan memejam, mengirimkan pesan pada wolf-nya agar tenang. Belakangan Dane sering meronta ingin lepas, tetapi Damian tidak mengizinkannya. Wolf itu akan mengacau jika muncul saat Flora belum siap melihatnya. Damian tidak bisa mengambil risiko.
“Ya, tapi belum saatnya kau mengetahui alasannya. Tak perlu khawatirkan aku,” ujarnya saat suara Dane sudah tenang di pikirannya.
“Siapa yang mengkhawatirkanmu? Percaya diri sekali,” decih Flora. “Kau tak ingin menjawab rasa penasaranku? Kenapa ada serigala, kenapa mereka ditahan, aku ingin tahu, Damian. Dan apa maksudnya dengan penyihir? Maksudmu pesulap yang melakukan trik?”
Damian selesai dengan pakaiannya, melangkah mendekati Flora yang masih terdiam di depan pintu. Aura pria itu begitu kuat sampai tanpa sadar Flora melangkah menjauh. “Kau ingin mengetahui semuanya?” tanya Damian dengan nada rendah.
“Tentu saja! Kau harus memberi tahu semuanya tanpa celah!”
“Aku akan mencari tanggal yang tepat untuk mengatakannya.”
“Kenapa harus mencari tanggal segala? Kau bisa memberitahuku sekarang.”
“Kau bisa pingsan.” Pria itu kembali memejam, wajahnya mengerut seolah sedang mengusahakan sesuatu. “Diamlah, Dane. Kau akan membuatnya terkejut setengah mati jika mengambil alih sekarang.”
‘Aku tidak sabaar!’ Dane lagi-lagi mengaum di kepalanya membuat Damian pusing. Wolf itu sangat mengganggunya sejak kehadiran Flora. Tidak jarang dia mengucapkan godaan-godaan agar Damian segera menandai Flora.
“Apa aku sedang bermimpi atau aku terlalu mabuk?” gumam Flora masih tidak percaya dengan semua situasi di sini. Bisa saja kalau ini hanya bagian dari fantasinya. Orang bilang jika sedang berada di bawah pengaruh obat bius atau koma akan mengalami kehidupan lain sampai sadar nanti—atau mati.
Ya, mungkin saja itu memang benar. Flora mengambil ancang-ancang dan menampar dirinya sendiri, cukup kuat sampai Damian meliriknya bingung sekaligus khawatir. “Auch! Sakit sekali.”
***
Tidak ada hari yang dilewati Eiden tanpa meluangkan waktu untuk memantau semuanya dari atas, baik penduduknya maupun sang rival jauh di perbatasan sana. Kedua bangunan megah tersebut saling berhadapan walau dalam jarak yang terpisah oleh banyak hal. Mata wolf-nya memungkinkan Eiden untuk mengawasi dari sana, meski tidak sepenuhnya bisa melihat jelas.
Seorang kepala warior yang dipanggilnya membungkuk di belakang. Instingnya memberi tahu Eiden tanpa perlu berbalik. “Ada pesan apa dari perbatasan?”
“Ada manusia yang berkeliaran di dalam mansion Supermoon Pack. Dapat dipastikan jika itu mate salah satu dari mereka.”
“Kau tidak melihat tandanya atau dengan siapa mereka berinteraksi?”
“Dia belum ditandai dan belum ada pengumuman resmi. Mungkin itu bukan mate Damian.”
“Seorang manusia, ya? Menarik.” Sebuah seringai muncul di bibirnya, seringai yang pas dengan struktur wajahnya yang selalu terlihat berambisi. “Awasi terus mereka. Jika kau sudah memastikan posisi manusia itu, aku akan siap dengan sebuah rencana untuk memanfaatkannya.”
“Kakak!”
Seringai itu lenyap, berganti dengan senyum lebar saat Eiden berbalik dan Eveline datang dengan wajah kesalnya, dia masih mengenakan baju berburunya. Ada Jaiden di belakang yang setia mengekori. “Sudah kubilang aku sudah besar! Jangan menyuruh Jaiden mengikutiku, aku sudah cukup berlatih!” protes Eve.
“Apa boleh buat? Kau tetaplah adik kecilku, Eve.”
“Kalian hewan berkaki empat yang menyebalkan.” Eveline mendengkus, melirik kaki semua orang dan menambahkan, “Atau berkaki dua.” Kakinya mengentak-entak meninggalkan ketiga orang yang cukup penting di pack-nya.
“Ada apa ini?” tanya Jaiden.
“Ada manusia baru di mansion Supermoon Pack, Beta.”
“Ow. Milik siapa dia?”
“Belum dapat dipastikan, Beta.”
Jaiden mengangguk-angguk, melihat jauh ke mansion Supermoon Pack. “Kabari aku jika kau sudah mendapatkan kabarnya. Akan sangat bagus jika Damian yang mendapatkannya. Manusia tidak berguna sama sekali, hanya menjadi kelemahan.”
“Jaiden, jangan lupa jika Eve juga lebih seperti manusia. Dia tidak bisa berubah karena hanya half,” ingat Eiden.
“Tapi dia tetap bukan sepenuhnya manusia. Tidak termasuk hitungan. Yang kumaksud adalah sepenuhnya manusia, tidak ada campuran sama sekali.”
Eiden berbalik kembali menghunus atensi tajamnya ke mansion sang rival. Dari tatapannya saja terlihat jelas betapa dalam dendam dan kemarahan yang tak akan mudah surut. Tangannya mengepal erat dan menggeram, “Tetap awasi mereka. Jangan biarkan kesempatan emas seperti ini lolos begitu saja.”