Selamat Tinggal Rahma

1530 Kata
… April, Mei, Juni 2008 …           Sekarang adalah hari di mana diriku beserta seluruh personil kembali mempersiapkan panggung hiburan. Ujian demi ujian baik di sekolah, di pondok maupun diniyah telah kita lewati semua. Dan mulai besok akan jadi sebuah hari istimewa bagi seluruh santri, karena mereka dapat pulang ke kampung halamannya masing-masing untuk menikati liburan semester selama satu bulan.           Kita semua berbagi tugas, ada yang menata panggung, menata dekorasi, mempersiapkan peralatan lalu aku dan Yunus mulai menata peralatan musik. Sungguh betapa tak terasanya, hampir satu tahun ini aku menjalani kehidupan di pondok pesantren. Betapa bahagianya diriku bisa kembali membangun grup musik sedangkan diriku harus meninggalkan grup lama yang diawaki oleh Yoga, Angga dan juga Adi. Entah bagaimana kabar mereka sekarang, kuharap semoga tetap dalam keadaan baik-baik saja.           “Vian,” ucap Yunus.           “Apa.”           “Kayaknya ampli bass mulai nggak beres deh, dari tadi gue checksound putus-putus mulu suaranya.”           “Emmm, Lu udah coba pakai kabel yang lain?”           “Udah, dari tadi udah gue cobain semua.”           “Ya sudah ini.” Ucapku sambil melemparkan obeng ke arahnya.           “Coba Lu buka bagian perangkat belakang, barangkali ada kabel ataupun sorderan yang bermasalah,” pintaku.           “Oke deh.” ***           Tepat di pagi ini juga Yoga, Angga dan juga Adi mulai berkumpul di sebuah kafe dekat sawah. Tentunya tak ada topik yang akan mereka bicarakan selain tentang musik, termasuk grup ini yang mulai vakum semenjak kepergianku. Angga dan juga Adi tak begitu masalah dalam menyikapi diriku, karena mereka berpandangan bahwa masih ada orang lain yang bisa menggantikan posisiku di grup ini. Lain dengan Yoga, kumenyadari sepenuhnya bahwa pendiri grup ini adalah dirinya, wajar jika dia selalu gelisah dan juga bingung dalam merencanakan grup ini ke depannya seperti apa.           “Yang jelas kita nggak ada pilihan lagi selain harus mencari vokalis baru Yog,” ujar Angga.           “Iya, lagipula kan kita masih bisa pakai Nabila,” imbuh Adi.           “Ehhh, Lu semua nggak tahu soal grup ini. Selama ini Lu semua kan cuma tinggal enak-enakan bisanya cuma main, main dan main. Lu pernah mikir nggak gimana caranya supaya band kita bisa berkembang.” Yoga membantah.           “Iya gue tahu Yog. Tapi kan Lu tahu sendiri kalau sekarang Vian tuh dah pergi dan nggak jelas kapan dia baru netep di sini lagi,” sela Angga.            “Soal mencari vokalis lain itu bagi gue mudah, tapi cari yang solid seperti Vian tuh jelas nggak mudah,” balas Yoga.           “Lantas bagaimana, apakah kita harus bubar begitu saja, sementara sudah hampir empat tahun kita susah payah ngebangun band ini,” tukas Angga.           “Entahlah, coba kita tunggu beberapa tahun ke depan,” jawab Yoga.           “Apa begini saja. Band kita ini tetap kita jalankan seperti biasa walau harus Nabila yang menjadi vokalis, sebagaimana layaknya kita latihan dan manggung saat ada Vian. Semua ini demi kita agar tetap bisa menjaga skill serta kekompakan untuk tetap berlatih,” usul Adi.           “Iya Yog. Tidak ada salahnya kok jika Nabila jadi vokalis kita,” imbuh Angga.           Yoga mulai merasa bimbang akan usul dari mereka, tetap melanjutkan grup dengan menggunakan vokalis baru sebagai penggantiku, atau bubar begitu saja. Bagiku, usul yang terbaik ada pada diri Angga dan Adi, karena sepertinya tidak ada pilihan lagi kecuali mencari vokalis baru. Aku tak keberatan jika keputusan telah dibuat, lagipula kujuga belum tentu kembali menetap di rumah jika diriku masih merasa nyaman di pesantren.           “Ya sudah, kita jalanin dulu aja. Entah bagaimana nantinya bisa kita lihat ke depan seperti apa,” jawab Yoga.           Pentas seni akan segera dimulai, para penonton yang tidak lain adalah para santriwan santriwati mulai memadati ruangan ini, tak sabar bagi mereka untuk menonton penampilan dari grup kita. Acara-acara pun mulai berlangsung, setelah dua jam berlalu kini saatnya kita tampil sebagai bintang tamu yang siap menggebrak para fans.           “Waduh, berapa menit lagi nih penampilan The Santri,” ucap salah seorang santri.           “Iya nih, entahlah mungkin lima menit lagi,” jawab santri di sebelahnya.           Hadirin para santriwan dan santriwati sekalian. Tibalah kita sampai pada puncak acara yang terakhir, yaitu penampilan spesial dari santri-santri RU. Mari kita tampilkan, Theeeee Santriiiii.” Ucap pembawa acara pada para penonton.           “Wwwuuuuuuu.” Teriak para santri penuh sorak.           Kita semua mulai menaiki panggung dan mulai mengambil alat musik masing-masing. Irvan dan Imam siap memainkan gitarnya, cak Inul dengan drumnya, Yunus dengan bassnya, dan aku mulai siap untuk bernyanyi dalam memeriahkan acara ini. Sungguh betapa luar biasanya manggung kali ini. Ini adalah untuk yang kedua kalinya manggung di depan para santri, namun ini sungguh berbeda, lebih banyak dari manggung yang kemarin. Penonton mulai memadati tempat hingga membeludak sampai di teras sekolah. Kita baru menyanyikan satu lagu sebagai pembuka dengan lagu yang berjudul Biarlah, yang dipopulerkan oleh Nidji. Penonton mulai teriak histeris sambil berjingkrak-jingkrak, dalam hati kumulai berkata,           “Seperti inikah rasanya menjadi artis baru.”           Pagi hari pun telah tiba. Seluruh santri mulai bersiap untuk pulang kampung dan mulai menenteng kopernya masing-masing. Begitu pun juga dengan diriku, yang juga siap untuk pulang dalam meninggalkan pesantren ini untuk satu bulan ke depan.           “Selamat liburan ya Vian.” Ucap salah seorang santri terhadapku.           “Iya selamat liburan juga.”           Liburan kali ini tak membuatku bahagia. Aku bisa saja pulang dan bertemu kembali dengan keluarga untuk melepas rindu, namun di sisi lain ku cukup merasa sedih karena tidak bisa melihat Rahma untuk satu bulan. Betapa perihnya hati ini ketika harus absen untuk tidak melihat senyumnya. Tapi setidaknya ku harus tetap kuat dalam menjalani hari-hari tanpanya, karena ku bisa saja mencari kebahagiaan lain tanpa harus bergantung terhadap satu sosok wanita.           Berminggu-minggu hidup di rumah sangat membosankan karena sama sekali tak ada teman yang bisa kuajak ngobrol. Sebenarnya aku ingin menghampiri personil band Maximum, namun entah kenapa kaki ini begitu berat untuk melangkah. Semua itu karena aku menyadari bahwa citraku sudah benar-benar jelek di mata mereka semua. ***           Dan hari pun akan terus berganti, dan kini tiba saatnya kuharus kembali ke pesantren. Jujur saja, saat liburan di rumah kemarin kumerasa tersiksa. Tersiksa bukan atas dasar kesendirian yang kurasakan, tapi aku bersedih karena harus menahan rindu, lebih-lebih rindu terhadap seorang perempuan yang kukagumi, Rahma.           Dan tibalah kakiku melangkah menuju kamar D5. Di hari ini masih belum banyak santri yang kembali, maka wajar jika suasana pesantren terlihat sangat sepi. Ku tak menyadari ketika Irvan tiba-tiba datang dari belakangku, namun begitu anehnya dia tak memasang wajah gembira melainkan cemberut, mungkinkah dia ada masalah.            “Vian,” sapa Irvan.            “Ya Van.”            “Ada satu hal yang ingin kubicarakan untukmu.”            “Apa Van emangnya?” tanyaku dengan rasa sedikit penasaran.            “Tapi kamu jangan sedih ya.”            “Iya, emangnya ada apa sih.”            “Emmm, Rahma telah resign dari pondok.” Jawabnya dengan pelan.            “Apa? Yang bener kamu Van!” sontakku dengan penuh kaget.            “Iya bener Vian.”            “Terus kenapa kamu baru bilang sekarang Van,” tegasku dengan nada tinggi.            “Maaf Vian, aku dapat informasinya juga barusan.”            “Wahhh, payah kamu Van.”           Mendengar kabar tersebut, betapa meledaknya hatiku dan betapa perihnya luka pada hatiku seakan telah teriris. Aku seolah-olah tersambar petir, di saat terdiam tiba-tiba harus merasakan kehancuran yang berkeping-keping. Ada apa ini, apa yang barusan terjadi? Sungguh aku benar-benar tak percaya akan kabar itu, demi Allah apakah aku siap menerima kenyataan pahit ini sedangkan perasaanku padanya begitu besar.           Dengan sigap kumulai berlari menuju pondok santri putri untuk mencari keberadaan Sofi selaku sahabat dekatnya.           “Sofi Sofiiii,” teriakku.           “Vian ada apa kok nyari Sofi?” tanya salah seorang santri putri padaku.           “Sofi tolong panggilkan kak, aku mau ketemu sama dia,” pintaku.           “Ya sudah tunggu di sini sebentar ya.”           Tak lama akan hal itu, Sofi pun mulai muncul.           “Ada apa Vian, siang-siang bolong kayak gini kok nyari saya?” tanyanya.           “Sofi, apa benar Rahma telah resign dari pondok?” tanyaku dengan sangat.           “Iya itu memang benar Vian. Dan posisinya sekarang sudah ada di Pontianak,” terangnya.           “Kenapa bisa secepat ini dia pergi Sofi.”           “Baiklah, aku bisa jelasin semuanya. Alangkah lebih baiknya kita bisa ngobrol di sana,” pintanya.           Lalu aku dan Sofi mulai terduduk di teras mushola dan dia kembali melanjutkan ceritanya.            “Rahma resign dengan sangat terpaksa, karena tak sedikit teman-teman yang sudah memusuhinya. Kehidupan Rahma di pesantren sangat memilukan Vian.”            “Kenapa bisa begitu Sofi?”           Lalu Sofi kembali menceritakan keadaan Rahma panjang lebar. Aku benar-benar tak menduga, bagaimana mungkin perempuan yang terlihat pendiam, lugu dan ramah ternyata banyak yang memusuhinya. Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus mencari tahu.           “Jadi begitu Vian ceritanya. Rahma tidak ada maksud buat ninggalin kamu, karena dia sudah tidak ada pilihan lagi selain harus pergi. Semoga kamu bisa mengerti perasaannya.”           “Baik Sofi, terima kasih atas apa yang baru saja kamu ceritakan. Selama ini memang aku yang salah, selalu menyia-nyiakan waktu hingga aku tak sempat mengatakan perasaanku yang sebenarnya.”           “Iya aku juga ngerti perasaan kamu, nanti akan aku berikan nomer teleponnya biar kamu bisa tetap komunikasi dengannya.”           Dan pada akhirnya kukembali pulang dengan perasaan hancur. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi, kuhanya bisa menangis perih menahan betapa sakitnya sebuah perpisahan ini.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN