… Februari 2008 …
Seminggu lagi akan datang masa liburan, tentunya satu hari sebelum masuk masa liburan aka nada acara semacam pentas seni. Setelah kita berunding, Insya Allah kita bakal ikut tampil untuk memeriahkan acara tersebut.
“Lu yakin Van, kita bakalan bisa tampil?” tanyaku.
“Ya pasti bisa lah bro, udah deh pokoknya kalian semua tenang aja, toh kita udah pengalaman kok,” terangnya.
“Syukurlah kalau begitu, yang pasti ini akan jadi hari pertama kali kita manggung, jadi tunjukkan kalau kita bisa bermain musik,” sahut Yunus.
“Oke, jadi kapan kita akan latihan di studio lagi?” tanya Imam.
“Pokoknya minggu ini kita harus ada waktu untuk latihan,” jawab Irvan.
***
Setelah hampir dua jam latihan di studio, kini tiba saatnya grup ini kembali pulang ke pesantren. Besok adalah hari di mana kita akan manggung di sebuah acara di sekolah, syukurlah kita semua sudah memiliki persiapan yang matang sehingga sudah tidak ada lagi rasa gugup ketika sudah ada di atas panggung. Di malam inilah, semua para santri mulai sibuk membangun panggung dan mulai menata tempat berkumpulnya para penonton.
Di malam ini juga, kegiatan pesantren juga mulai diliburkan karena besok akan menjadi hari terakhir kita bersama sebelum masuk masa liburan. Kumulai membantu para santri dalam mempersiapkan acara ini, sedikit pun rasa lelah tak ada, karena dari dulu aku selalu bersemangat setiap kali ada acara yang ada hubungannya dengan musik.
Hari semakin malam, dan waktu telah menunjukkan di angka sebelas malam. Kumulai terduduk sendiri, sambil memandang bulan yang bersinar. Dalam hati kumulai bertanya.
“Wahai bulan, kau yang ada di atas sana pasti tahu, apa yang Rahma lakukan di malam ini.” Batinku dalam hati.
Aku hanya tersendiri, dan mulai terdiam dalam sepi. Setitik luka pada hati ini, mungkin akan menjadi teman setia yang tak akan pernah bisa kuhindari. Rahma adalah lukaku, meski tak pernah sedikit pun menyakitiku. Dia juga pelita hatiku, meski tak pernah membahagiakanku. Aku selalu bahagia di saat melihat senyum manisnya, dan kujuga terluka di saat melihat wajahnya. Entah kenapa bahagia dan luka itu bisa sama-sama bertemu, sedangkan diriku tak mampu dalam mengendalikan rasa itu sedikit pun.
Aku merasa bahagia ketika melihat dirinya, namun aku lebih merasa terluka karena tak bisa memilikinya. Aku menyadari sepenuhnya bahwa seorang santri itu sangat dilarang berpacaran, akan tetapi diriku bukanlah berpacaran, namun hanya sekedar jatuh cinta saja. Bukanlah diriku benci atas segala rasa kagum yang tiba-tiba terjadi, namun aku benci dengan perasaan ini. Hingga membuat diriku selalu bertanya,
“Inikah yang namanya cinta, atau inikah yang namanya luka.”
“Hey.” Panggil Yunus terhadapku.
“Hmmm.”
“Gue tahu Lu lagi mikirin siapa? Ini pasti soal Rahma kan.”
“Memang siapa lagi kalau bukan dia.”
“Lu tak seharusnya memikirkan dia seperti itu Vian. Karena Lu tahu sendiri kan, dia udah kelas tiga dan sebentar lagi juga mau lulusan. Sudah pasti dia nggak bakalan sempat mikirin soal cinta.”
“Lagian ngapain juga mikirin dia dalem-dalem, bikin gue tambah sakit aja.”
“Lu nggak perlu bohong seperti itu Vian, gue tahu perasaan Lu. Setidaknya Lu harus bisa berubah dari sekarang, ingat Lu itu bukan anak SD lagi, sudah saatnya kau memikirkan sesuatu yang dapat membangun kepribadianmu yang lebih dewasa.”
“Iya gue tahu Yunus, masalahnya nggak semudah itu gue ngelepasin perasaan ini begitu saja. Gue akui gue tuh udah bener-bener cinta dan sayang sama Rahma.”
“Emmm, iya. Mungkin gue nggak bisa larang atas perasaan Lu. Namun jika Lu masih bersikukuh dengan perasaan itu, siap-siap menanggung pedihnya perpisahan.”
Pagi hari pun telah tiba. Semua santri kembali sibuk dalam mempersiapkan acara ini, begitu juga dengan diriku beserta personil grup band ini. Sebentar lagi alat-alat band yang kita sewa akan datang, sudah pasti kita semua akan melakukan cheksound. Sekarang adalah hari di mana aku dan Rahma akan menjalani perpisahan untuk sementara, sudah pasti akan datang rasa rindu yang setiap hari hanya akan membuat pikiran ini pilu.
Dan waktu pun mulai berputar hingga waktu telah menunjukkan di angka sepuluh pagi. Segala persiapan sudah disiapkan dengan cukup matang, dan kini saatnya kita bangkit dihadapan para santri. Kemampuan kita memang tak sebagus para artis, namun kita akan terus belajar dalam bermusik.
“Hadirin sekalian, dalam kesempatan kali ini izinkanlah kita dari personil grup band The Santri, akan menyanyikan beberapa lagu sebagai hiburan untuk anda dari hasil karya kita. Mari kita tanamkan jiwa seni dalam diri kita, agar kita dapat menikmati indahnya nada-nada dalam kehidupan,” sambutku.
Seluruh santri mulai memadati tempat ini, semua kompak dan serempak bertepuk tangan dalam menyaksikan penampilan kita. Tak terasa tiga lagu telah aku lantunkan, sementara santri masih tidak merasa bosan akan hal ini. Sungguh bagiku ini adalah penampilan yang sangat luar biasa, baru satu kali tampil rasanya seperti konser off-air para artis. Banyak juga santri yang mulai mengklaim kita bahwa kita adalah artisnya pondok RU 2.
Tibalah hari selanjutnya. Aku baru saja mandi dan memakai kaos sebelum pulang dalam menjalani liburan semester, tiada hal lagi yang kulakukan di setiap pagi kecuali hanyalah sarapan roti di kantor bersama Yunus. Aku dan Yunus mulai berbincang-bincang, seperti biasa topik yang selalu kita bicarakan kalau tidak tentang musik pasti ya tentang Rahma. Memang, di antara teman-teman yang lain, hanya Yunuslah satu-satunya teman yang paling enak untuk bisa curhat.
“Liburan kali ini Lu mau ke mana?” tanya Yunus.
“Nggak ke mana-mana, mungkin di rumah aja.”
“Hmmm, nggak bosen di rumah terus.”
Ya bosen sih sebenarnya, tapi entah mau gimana lagi jika di rumah memang nggak ada hiburan.”
“Kali aja Lu mau main ke rumah gue.”
“Lain kali aja deh, lagian gue juga belum bisa nyetir motor.”
“Hmmm, awas kepikiran soal Rahma loh,” celetuknya.
Bisa jadi ini adalah liburan yang sedikit memilukan untukku, karena diriku tak lagi ada kesempatan untuk melihat Rahma, walaupun hanya beberapa minggu saja kita berpisah, tapi sungguh hal itu sepertinya terasa berat.
Hingga di saat diri ini telah tiba di rumah, ingatanku tentangnya semakin dalam, bukan hanya tiap menit tetapi tiap detik bayangan tentang dirinya tak bisa lepas. Aku bingung, kenapa rasa rindu itu tiba-tiba hadir padahal baru satu hari saja kita berpisah. Aku sadar bahwa rasa rindu ini hadir bukan karena adanya sebuah perpisahan, namun karena adanya perasaan yang tak bisa untuk kulepaskan walau hanya sebentar.
Kumulai menatap matahari di waktu pagi, sekedar mencari kesejukkan sejenak karena sekarang masih dalam cuaca yang tak menentu. Tak ada yang bisa menghibur kesendirianku kecuali hanyalah awan putih serta kicauan burung di saatku meluangkan waktu sejenak di perkebunan.
Dan aku mulai berjalan menyusuri sungai kecil yang airnya cukup jernih, tanpa sadar telah membawaku ke sebuah lembah yang penuh dengan pepohonan pinus. Aku bersandar pada batu besar sambil memejamkan mata sedikit, dan di saat itulah kumulai merasakan kedamaian yang luar biasa. Barangkali dengan adanya ketentraman serta ketenangan jiwa ini, kubisa meredam rasa rinduku untuknya yang kini mulai berat.