"Mas," Senyum manis terukir dari bibir berwarna Nude di wajah cantik wanita yang langsung berdiri saat sebuah mobil terparkir di depan rumahnya.
Farhan sedikit berlari ketika baru saja turun dari mobilnya. Suara Mesya menggetarkan hatinya, membuatnya lebih khawatir dari sebelumnya.
"Duduk, jangan berdiri." Peringat Farhan cepat. Matanya jatuh pada kaki putih yang kini tampak bengkak dan sedikit membiru.
Mesya mengangguk, wajahnya terlihat sedih. Tangannya memegang kakinya yang sedikit bengkak. "Aku nggak papa kok mas," ujarnya pelan ketika tangan Farhan memeriksa kakinya.
"Kita periksa ke rumah sakit?"
Mesya menggeleng. "Nggak papa kok mas. Aku cuma jatuh dari motor, nggak ketabrak."
"Tapi kakimu bengkak, sayang."
"Cuma bengkak sedikit, Mas. Nanti juga sembuh,"
"Tapi aku khawatir kamu kenapa-napa. Enaknya, kita periksa ke rumah sakit aja yaa."
Mesya menggeleng lemah. "Udah nggak papa kok, Mas. Nanti juga sembuh, ini cuma sedikit nyeri aja."
"Tapi ini sampai memar membiru, Sayang. Kamu yakin nggak mau ke rumah sakit aja?"
"Udah aku kasih obat oles kok, Mas. Nanti juga ilang memarnya. Kalau misal mbak Ayana yang jatuh, pasti udah Mas gendong. Terus Mas bawa ke rumah sakit, gitu 'kan?" Selidik Mesya ingin tahu. Sebetulnya dia sedikit cemburu.
Tangan Farhan terhenti, dia termenung untuk sesaat ketika nama istrinya disebut. "Ayana," terhenti sesaat, dia bahkan bingung mendeskripsikan kemandirian istrinya.
"Iya, mbak Ayana pasti langsung Mas bawa ke rumah sakit 'kan? Atau mungkin mbak Ayana udah nangis-nangis sambil minta dibawa ke rumah sakit. Aku bisa bayangin gimana Mas manjain mbak Ayana selama sepuluh tahun ini. Kalau dipikir-pikir mbak Ayana beruntung banget ya. Aku aja iri,"
"Enggak. Kamu salah, Sayang. Dia nggak pernah ngeluh apapun sama aku," jawab Farhan pelan lebih mirip seperti gumaman.
Karena faktanya, tak sekalipun dia pernah mendengar rengekan atau kemanjaan Ayana selama sepuluh tahun meski istrinya tengah sakit. istrinya tak pernah meminta untuk diantar ke rumah sakit, atau pun pergi kemana pun. Semuanya Ayana lakukan dengan baik. Bahkan sangat baik sampai dia ngerasa semua menjadi membosankan. Dia hanya tahu jika istrinya tak beres-beres rumah atau memasak selama beberapa hari, artinya istrinya tengah sakit. Tapi bagaimana istrinya sembuh, Farhan tak peduli.
"Masa sih? Bohong kamu, Mas. Kamu ngomong gitu biar aku nggak cemburu 'kan? Mas nutupi semuanya demi mbak Ayana, biar dia nggak keliatan jelek di mata siapa pun termasuk aku."
Farhan mendesah, dia melepaskan tangannya dari kaki Mesya lalu duduk di sampingnya. "Sayang, Ayana itu cewek mandiri. Sangat mandiri sampai aku ngerasa jadi laki-laki yang nggak dibutuhin. Sepuluh tahun ini, aku belum pernah liat Ayana bersikap manja atau ngerepotin aku dengan sesuatu yang nggak bisa dia tangani. Dia sangat mandiri, sampai-sampai aku ngerasa kalau kehadiranku itu kaya semacam gangguan buat dia."
"Kok Mas jadi muji mbak Ayana sih? Mas tu buat aku nunggu selama sepuluh tahun, terus sekarang Mas muji-muji dia di depan aku. Dia itu ngerebut kamu dari aku loh, Mas."
"Bukannya muji, Sayang. Tapi itu kenyataannya. Ayana memang seperti itu."
"Ihh, kok Mas jadi bela mbak Ayana terus. Kalau dia memang sebaik itu harusnya dia nggak ganggu hubungan kamu sama aku, Mas. Harusnya dia nggak kegatelan dekati kamu. Dia itu harus menyingkir bukannya ngerebut milik orang lain. Dia itu nggak tau malu karena udah nikah sama kam-"
"Sayang," potong Farhan cepat ketika kata terakhir Mesya mengusik ketenangannya. "Ayana nggak kaya gitu. Itu aku, aku yang nikahi dia buat penuhi janjiku sama ibu. Jadi, jangan salahin Ayana."
"Tapi tetap aja Mas, mbak Ayana kan bisa nolak waktu itu. Mbak Ayana juga tau waktu itu Mas sama aku juga lagi jalanin hubungan."
"Itu maaf, Sayang. Ayana taunya di antara kita udah berakhir. Jadi-"
"Mas! Kamu bela aja terus mbak Ayana. Nggak usah peduliin perasaanku."
Farhan terkejut saat melihat Mesya merajuk. Dia dengan cepat menarik tangan Mesya lembut.
"Sayang, nggak kaya gitu. Maaf ya, aku lagi-lagi buat kamun marah. Keadaannya beda waktu itu, Sayang. Ibu sakit, kan aku juga udah ceritain ini sama kamu. Aku pikir, ibu bakal sembuh kalo aku nikahi Ayana karena dari dulu ibu paling dekat sama Ayana. Selama sakit ibu juga nyari-nyari Ayana terus."
"Bisa aja kan ibu Mas pura-pura? Waktu itu kita udah pacaran lama. Kita udah niat buat tunangan, tapi kamu batalin gitu aja."
"Ibu nggak mungkin kaya gitu, ibu itu beneran sakit waktu itu. Dan buktinya keadaan ibu memang membaik sejak aku ikuti kata-kata ibu buat nikahi Ayana."
"Halah, buktinya ibu masih idup selama itu dan baru bulan kemarin meninggal. Itu artinya ibu bisa aja pura-pura sakit buat ngikat kamu sama mbak Ayana. Untung aja ibu udah mati kalau nggak-"
"Mesya!" Bentak Farhan kesal. Dia masih tak habis pikir, Mesya bisa mengucapkan itu semua. Dia bisa diam jika itu soal Ayana, tapi soal ibunya, dia tak terima. Hal itu membuat amarahnya naik.
"Ma-mas, aku, nggak, maksudku nggak gitu, Mas."
Panik. Mesya menyadari kalau kata-katanya sudah kelewatan. Bahkan dia tak bisa menyembunyikan rasa syukurnya karena kematian ibunya Farhan.
"Ma-mas, aku salah Mas, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud jelekin mbak Ayana. Aku cuma cemburu, terus aku nggak bermaksud jelekin ibu. Aku cuma kesal karena nunggu kamu selama itu. Aku, cuma kecewa karena rasa sayangku ke kamu nggak berubah meski udah sepuluh tahun."
Farhan terdiam. Membuat Mesya menjadi sedikit ketakutan.
"Mas, aku minta maaf. Aku salah. Aku janji nggak akan ngungkit dan ngomong gitu lagi. Tapi kalau karena ini kamu bakal ninggalin aku, aku lebih baik mati aja Mas. Aku nggak sanggup lagi kalau harus jauh apalagi pisah sama kamu."
"Mas, kok kamu diam aja? Aku benar-benar minta maaf Mas, aku salah. Tapi aku beneran nggak bisa jauh dari kamu,"
Farhan mendesah, dia mengusap rambutnya kasar ketika mendengar suara Mesya diiringi isakan pelan. Menoleh, melihat wajah cantik yang tengah menangis dengan mengucapkan perasaan cinta yang dalam menyentuh ujung hatinya. Amarah Farhan pun mereda, seketika rasa bersalah muncul karena telah membuat orang yang dia cintai menangis.
"Aku nggak bisa terima kalau kamu jelekin ibuku. Kata-katamu udah keterlaluan,"
"Iya, Mas. Maaf, aku salah. Kata-kataku memang keterlaluan. Tapi aku nggak maksud gitu, aku emosi jadi sedikit kelepasan," ucap Mesya dengan mengusap air matanya. Suaranya bergetar dengan ekspresi sedikit ketakutan.
Hening untuk beberapa saat. Farhan bahkan merasa kalau seluruh hatinya terasa berat.
"Mas, aku janji nggak akan ngomong gitu lagi soal ibu atau mbak Ayana. Tapi setiap dengar Mas bela mbak Ayana, hatiku rasanya nggak karuan. Aku sadar, aku kalah sama mbak Ayana dalam semua hal. Dia udah nemani kamu selama sepuluh tahun. Dari langkah awal aja aku udah kalah, Mas. Terus di mata Mas, mbak Ayana sebaik itu. Aku insecure, Mas. Apa lagi ngeliat Mas bentak aku, aku jadi sadar kalau mungkin posisiku nggak sebaik mbak Ayana. Aku-"
"Sayang, ngomong apa sih. Aku nggak bermaksud bentak kamu tadi. Aku beneran nggak bermaksud buat kamu nangis," mendekat, Farhan merengkuh tubuh Mesya dalam pelukannya. "Udah jangan nangis. Aku minta maaf karena buat kamu kaget. Maafin aku ya,"
Mesya mengangguk lemah, membalas pelukan Farhan. "Aku tau kok mas, kamu nggak mungkin bentak aku dengan sengaja kan?"
"Iya. Aku minta maaf ya sayang, aku cuma nggak suka kamu ngomong yang nggak-nggak soal ibu dan Ayana."
"Aku yang salah, Mas. Aku cuma takut kalau akhirnya aku kehilangan kamu kaya dulu. Karena aku se cinta itu sama kamu. Aku jadi sangat ketakutan, aku takut kamu ninggalin aku. Aku takut rencana pernikahan kita bakal batal."
Farhan menggeleng. "Enggak. Aku tetap bakal nikahi kamu, Sayang. Aku juga udah lama nunggu hari itu. Supaya bisa hidup sama kamu."
"Terus mbak Ayana gimana?"
"Dia udah ngizinin aku nikahi kamu."
"Bisa aja kan nanti mbak Ayana berubah pikiran,"
Farhan menggeleng, dia mempererat pelukannya. "Aku tetap bakal nikahi kamu walapun dia nggak ngizinin. Tapi ternyata semua lebih mudah dari yang aku pikir. Dia ngizinin aku nikahi kamu terus dia juga janji bakal nyiapin pesta terbaik buat kita sebagai pengganti ibu."
"Serius? Dia nyiapin pesta buat kita? Terus mas percaya gitu aja?" Mesya mendorong tubuh Farhan hingga pelukan mereka terlepas. "Gimana nanti kalau pesta kita ancur? Bisa aja kan mbak Ayana pura-pura nyiapin pestanya dengan baik tapi aslinya pengen buat pestanya batal. Karena pada akhirnya, aku itu tetap ngerebut suaminya."
"Ayana itu berpikiran luas, Sayang. Dia nggak mungkin kaya gitu,"
"Tapi Mas, nyiapin pesta buat suaminya sendiri sama wanita lain, itu nggak masuk akal. Pokoknya aku nggak mau ikuti tema yang mbak Ayana pilih. Aku takut mbak Ayana ngancurin semuanya."
"Enggak. Dia nggak akan berani lakuin hal buruk ke pernikahan kita. Sekali kali kamu harus percaya sama dia,"
"Kok kamu bisa seyakin itu sih, Mas?"
Farhan cuma tersenyum, gimana dia nggak yakin sama Ayana. Ngizinin dia buat nikah lagi dengan lapang d**a saja bukanlah hal yang mudah, tapi istrinya bahkan bakal nyiapin pesta besar utuknya. Lalu memilih pergi dengan tenang dalam perpisahan. Tapi sayangnya, buat ngelepasin Ayana gitu aja, dia kaya nggak rela. Walau dia udah janji, tapi rasanya dia enggan ngasih tau poin ini sama Mesya.
"Yang jelas kita bakal jadi suami istri tanggal sepuluh bulan depan. Itu hari yang kamu pilih kan? Aku nggak sabar nunggu hari itu, aku mau ngasih liat ke dunia kalau akhirnya aku bisa miliki wanita yang aku cintai."
Berbalik, Mesya mengangguk dengan pelukan hangat. "Ahk, bayangin hari itu rasanya seneng sekali. Terus Mas, bulan madu kita,"
"Ayana juga bakal nyiapin semuanya."
"Mbak Ayana juga?"
Farhan mengangguk.
"Rumah yang mau kita tinggalin gimana? Aku nggak mau satu rumah sama mbak Ayana, rasanya nggak nyaman."
"Memangnya kenapa? Masih banyak kamar kosong, kamu bisa milih kamar yang mana pun, kamu tinggal ngomong sama Ayana, dia juga bakal nyiapin semuanya."
"Enggak. Aku nggak mau tinggal satu rumah sama mbak Ayana. Aku nggak mau tiap hari makan ati karena ingat dan liat perhatian kamu terbagi buat mbak Ayana,"
Farhan terdiam, dia ingat kata-kata Ayana, tentang Mesya yang mungkin aja nggak nyaman kalau tinggal satu atap, dia nggak nyangka kalau semua bakal jadi kenyataan.
"Ya udah, nanti kita beli rumah baru."
"Beneran?"
Farhan mengangguk. "Apa pun yang buat kamu senang."
"Ihh, aku seneng banget dengernya. Andai aja, aku bisa miliki kamu seutuhnya. Pasti lebih bahagia,"
Farhan tertawa kecil, dia memeluk Mesya dengan kecupan ringan. "Malam ini, aku nginap yaa." Dan hal itu membuat Mesya mengangguk malu.