1. Calon Suami?
Seorang gadis tengah berlari pasca keluar dari ruang kelasnya, tepat ketika dosen pengajar matakuliah keluar dari kelas. Hari ini dia sedang terburu-buru untuk datang ke sebuah rumah makan yang baru saja buka, karena ada promo gratis makan untuk seratus pengunjung pertama di rumah makan tersebut.
Tentu saja sebagai anak kuliahan yang apa-apa harus serba hemat, Viella tidak ingin melewatkan kesempatan sebagus ini, apa lagi uang bulanannya sudah semakin menipis. Siapa yang mau menyia-nyiakan makan gratis saat kondisi dompetmu sedang dalam masa kritis di akhir bulan seperti ini. Memang terdengar sangat ironis jika dipikir-pikir, tapi mau bagaimana lagi mengingat saat ini sudah waktunya akhir bulan datang menyapa sedangkan isi dompet sudah meronta-ronta.
"Aduh udah lewat 30 menit sejak dibuka, kira-kira masih ada stok gratis makannya gak ya?"
Suara berdebum seketika terdengar ketika gadis itu kurang berhati-hati saat berlari. Ia meringis pelan lantaran pantatnya mendarat di paving dan terasa lumayan nyeri, ia dengan segera memungut ponselnya yang secara tidak sengaja jatuh. "Ah please, jangan rusak!"
"Maaf saya tidak sengaja, sini biar saya benerin ponsel kamu. Karena saya, ponsel kamu layarnya sampai retak seperti itu."
Suara berat itu tiba-tiba saja menyapa indra pendengaran Viella, gadis itu yang sedari tadi terlalu sibuk dengan kepanikannya sendiri saat menyadari bahwa ponselnya tiba-tiba mati total dan tidak bisa dia gunakan. Ingin rasanya dia menangis di dalam hatinya, menyadari kecerobohannya. Jika sudah seperti ini maka apa artinya makan gratis dibanding kerusakan ponsel miliknya yang sudah buluk dan semakin parah karena terjatuh seperti ini.
"Ponsel udah buluk, kentang, ditambah rusak lagi. Kesialan macam apa lagi ini astaga!"
"Gak perlu Mas, biar saya urus sendiri!"
Viella dengan segera berdiri dari posisinya yang semula terduduk di paving fakultas Ilmu Budaya. Meski hatinya sangat berdarah-darah, tapi dia juga paham betul bahwa ini semua bukan sepenuhnya salah pria di depannya. Ini semua salahnya yang telah berlari-lari tanpa memperhatikan apa yang ada di depannya.
"Udah nggak apa-apa, biar saya benerin ponsel kamu. Untuk sementara kamu bisa pakai ponsel ini dulu. Besok saya akan menghubungi kamu kalau ponselnya sudah benar."
Viella ingin menolak, tapi dengan cepat pria di depannya mengambil alih ponsel miliknya yang telah rusak ke dalam genggaman tangannya. "Tapi saya ...,"
"Kamu mahasiswa fakultas sebelah ya?"
"Maksud Anda?"
"Perkenalkan saya Arkana Malik, dosen Fakultas Ekonomi sekaligus calon suami kamu."
"APA?" Viela kaget mendengar penjelasan pria dewasa di depannya masih dengan bibir yang terbuka.
"MAMA AKU GAK MAU NIKAH!" Viella ingin sekali berteriak, tapi apalah daya dia hanya bisa berteriak dalam hatinya.
Sekali lagi Viella memperhatikan seseorang yang ada di depannya saat ini. Penampilannya rapi dengan celana bahan berwarna hitam, kemeja warna biru tua. Tidak terlihat seperti mahasiswa, namun masih terlihat muda. Wajahnya bersih dan terbilang tampan, postur tubuhnya tegap dan tinggi dengan rahang tegas. Untuk sesaat Viella hampir terpana, namun dia segera tersadar dan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Tidak ingin terlarut lebih dalam pada pikiran liarnya.
"Kamu sudah selesai kuliahnya?"
"Emm itu iya," Viella merasa kalau lidahnya sangat kelu untuk bisa berbicara. Dia benar-benar merasa sangat bodoh di depan pria ini. Jelas dia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja diucapkan oleh pria di depannya ini. Calon suami? Tidak mungkin. Pasti pria ini hanya orang random yang sengaja ingin menggodanya atau mengolok-oloknya karena sudah menjomblo seumur hidupnya.
"Biar saya antar kamu pulang."
"Gak perlu, saya bisa naik ojek." Viella menjaga jarak dari pria di depannya. Pikirannya dipenuhi hal-hal buruk, malah dia takut kalau orang di depannya ini memiliki niat buruk padanya.
"Kamu tidak percaya dengan apa yang baru saja saya katakan?"
Viella memalingkan wajahnya. Jelas menunjukkan sikap defensif dan menarik diri. "Kita sama sekali tidak saling mengenal, candaan Anda sama sekali tidak lucu bagi saya."
"Saya tidak bercanda, bisa kita berbicara sebentar?"
Entah mengapa Viella menurutinya, bahkan dia merasa heran karena sekarang dia sudah berada di dalam mobil pria itu. Bukankah dia seharusnya kabur dan tidak perlu menurutinya? Bagaimana jika pria ini benar-benar akan menculiknya dan menjualnya ke tempat perdagangan manusia? Pikiran-pikiran buruk dalam benaknya semakin membuat gadis itu merasa parno sendiri. Rasanya dia ingin menangis.
"Apa kamu sangat takut sama saya?"
"Saya takut diculik." Viella hanya bisa menjawab dengan suara mencicit.
Arkana yang mendengar perkataan gadis di sampingnya hanya bisa diam selama beberapa saat. Lalu dia berdehem sejenak sambil menutupi sebagian wajahnya, berusaha menahan tawa. Reaksi gadis ini sangat lucu baginya, membuat Arka semakin gemas dan ingin sekali mengacak-acak rambutnya. Hanya saja dia masih berusaha menahan diri, takut akan semakin membuat gadis ini merasa cemas.
"Kenapa tertawa?" Viella mampu mendengar sedikit suara tawa yang berusaha diredam oleh pria di sampingnya. Membuat Viella tanpa sadar mengerucutkan bibirnya dan menatap pria di sampingnya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Mas nertawain saya?"
"Ekhem maaf sebelumnya, saya tidak bermaksud. Saya di sini hanya ingin menjelaskan kalau apa yang saya katakan sebelumnya itu memang benar adanya. Saya tidak bermaksud untuk bermain-main, saya memang calon suami kamu. Apa ibu kamu belum memberitahukan hal ini ke kamu sebelumnya?"
Kening Viella mulai mengerut, jelas dia tidak tahu apa-apa soal hal ini. Dia juga merasa agak curiga dengan sikap ibunya selama beberapa hari terakhir ini yang menurutnya agak mencurigakan. Di akhir pekan kemarin saat dia pulang ke rumah, ibunya yang biasanya super cerewet tiba-tiba saja jadi lebih penyabar dan tidak banyak mengomelinya. Bahkan memperlakukannya dengan sangat baik, seperti bukan ibunya sendiri yang sering menyuruhnya membantu melakukan banyak pekerjaan rumah.
"Aku akan menelepon ibuku," belum sempat Viella menyelesaikan ucapannya, dia teringat pada nasib ponsel buluknya yang sudah mati total. Dia hanya bisa merutuki nasibnya yang sangat sial.
"Biar saya yang menghubungi ibu kamu." Arka sangat paham dengan dilema yang dirasakan oleh Viella, dia mengambil ponsel miliknya dan segera menghubungi kontak yang dia beri nama 'Calon Mertua'.
"Halo Assalamualaikum Bu."
"Waalaikumsalam Nak Arka, gimana kabarnya?"
Viella seketika mengerutkan keningnya saat mendengar suara yang tidak asing di telinganya. Suara yang sebelumnya sangat jarang terdengar seramah dan selembut ini dari ibunya tercinta. Bagaimana bisa? Berbagai macam pertanyaan berseliweran dalam benak gadis itu. Dia masih tidak mau mempercayai hal itu, tapi ucapan selanjutnya yang dia dengar membuat semua pemikiran denial di kepalanya seketika harus runtuh.
"Gimana anak Ibu, kamu udah ketemu Viella belum? Maaf ya, kalau anak ibu mungkin masih banyak kurangnya. Ibu juga nggak nyangka kalau kamu ternyata mau menerima anak ibu yang masih banyak kurangnya itu."
Bibir Viella seketika terbuka lebar, sama sekali tidak menyangka kalau ibunya akan berkata seperti itu pada sosok pria dewasa di sampingnya ini. Bahkan Viella sempat berpikir apakah dia tengah dijual oleh ibunya sendiri saat ini? Kedua mata gadis itu bahkan sampai berkaca-kaca.
"Alhamdulillah saya sudah bertemu dengan Viella Bu, dia anak yang baik. Sekarang dia ada di mobil bersama saya." Arkana tampak menyerahkan ponselnya ke arah Viella. Senyum di bibirnya tampak berkata seolah semuanya akan baik-baik saja.
"Ma, kenapa Mama bilang gitu? Mama mau jual aku ya?" Bibir Viella tampak bergetar, jelas dia berusaha menahan isak tangis.
"Ini semua demi kebaikan kamu. Asal kamu tahu, Nak Arka ini adalah sosok suami yang sudah dipilihkan oleh almarhum ayah kamu sebelum beliau meninggal."
"Tapi aku," Viella ingin mengatakan protes atas apa yang terjadi, tapi dia menghentikannya dan menyerahkan ponsel itu kembali ke Arkana.
"Bu, kalau begitu saya izin mengantarkan Viella pulang ke rumah boleh?"
"Boleh Nak, bawa ke rumah saja biar Ibu bisa menjelaskan semuanya ke anak itu."
"Baik Bu kalau begitu saya matikan dulu teleponnya, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Saya antar kamu ke rumah ibu kamu ya?" Arka berkata pada Viella dengan suara pelan, namun gadis itu hanya diam dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil. Kedua matanya memerah, bahkan ada setitik air mata yang menetes di antara pelupuk matanya.