Viella menatap rumah yang sudah menaunginya selama 21 tahun hidupnya. Ada banyak kenangan yang terukir di rumah ini, tapi sekarang rasanya terlalu berat untuk dia melangkah masuk ke dalam rumah ini. Lebih tepatnya Viella takut mendengar fakta yang tidak ingin dia dengar secara langsung dari ibunya.
Arkana keluar dari mobil, dia berputar dan membukakan pintu mobil untuk gadis itu. Sayangnya Viella tampak melamun selama beberapa saat, hingga tepukan hangat pada pundaknya mengagetkan gadis itu. Menatap pada sosok Arkana yang tersenyum manis ke arahnya.
"Biar saya bantu lepaskan sabuk pengamannya."
Aroma musk bercampur kayu-kayuan tercium dengan lembut di hidung Viella. Terasa lembut dan menenangkan, membuatnya ingin menghirup lebih dalam lagi tanpa dia sadari.
"Ayo kita keluar, ibu kamu pasti sudah menunggu di dalam."
Lamunan gadis itu sekali lagi terpecah, dia dengan kaku keluar dari mobil. Mengabaikan uluran tangan Arka yang berniat menuntunnya. Namun pria itu tidak merasa tersinggung. Dia paham benar bagaimana suasana hati Viella saat ini, pasti bukan hal yang mudah untuk mencerna semua informasi yang dia dapatkan secara tiba-tiba. Memiliki sosok calon suami yang tidak dikenalinya, pasti gadis itu masih takut padanya.
Arkana mengikuti langkah Viella dari belakang, melihat punggung ringkih gadis itu. Ada rasa ingin merengkuh dan menguatkannya, bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja. Dia ingin meyakinkan gadis itu kalau dia bisa berjanji untuk menjaga dan melakukan semua hal terbaik yang bisa dilakukannya. Sebagaimana perlakuan seorang pria untuk gadis itu mulai dari sekarang, hingga ke depannya nanti.
"Assalamualaikum," Arkana terlebih dahulu mengetuk pintu dan tidak lama kemudian mendapat balasan dari dalam rumah.
Viella sejak tadi hanya diam, pikirannya sedang kalut. Tidak tahu harus bagaimana dan dia merasa ingin kabur dari rumah saat ini juga. Wajar saja dia merasa panik, karena selama ini dia bahkan tidak pernah berpacaran secara langsung. Tiba-tiba saja dia harus menikah dengan pria yang tidak dikenalinya. Tentu saja dia merasa tidak terima dan ingin menangis saat ini juga.
"Viella, sini Mama mau bicara sama kamu."
Viella yang sejak tadi berdiri diam di belakang Arkana akhirnya didekati oleh ibunya. Wanita paruh baya dengan beberapa kerutan tipis di antara kedua matanya itu menarik lengan gadis itu perlahan. Membawa Viella untuk masuk ke dalam, diikuti oleh Arkana.
"Nak Arkana tunggu di sini sebentar ya, biar ibu jelaskan dulu sama Viella tentang perjodohan ini."
Arkana dengan penuh kompromi hanya menganggukkan kepalanya. Melihat kedua wanita berbeda generasi itu pergi dari pandangan matanya. Dia duduk di ruang tamu, dalam hati merasa harap-harap cemas. Ada sesuatu hal yang seolah mengganjal dalam dirinya. Namun dia segera menggelengkan kepalanya, tidak ingin terlalu banyak berpikir. Memilih untuk diam dan mengatakannya nanti, namun tidak dalam jangka waktu dekat ini. Karena dia takut kalau gadis itu akan semakin menjauhinya.
Sementara di dalam kamar, ibu Viella duduk dan menuntun putri satu-satunya untuk ikut duduk di atas ranjang. Wanita paruh baya itu menatap dengan pandangan rumit ke arah putrinya, lalu sebuah helaan napas panjang keluar dari bibirnya.
"Mama tidak akan berbohong, Nak Arka memang calon suami kamu. Sosok calon suami yang memang sudah dipilihkan oleh almarhum ayah kamu sebelum ayahmu meninggal."
Kedua mata Viella saat ini telah berkaca-kaca, ibunya secara tiba-tiba menyelipkan sebuah surat yang masih terlipat rapi ke tangannya. Dari sini perasaan gadis itu semakin tak menentu, dia masih belum bisa menerima semua ini. Namun perlahan tapi pasti, Viella membuka sepucuk surat di tangannya. Tulisan tangan dalam surat tersebut tampak tidak asing. Dia mengenalinya dengan pasti, bahwa itu adalah tulisan tangan ayahnya.
Dengan bibir bergetar Viella sebisa mungkin mencoba untuk menahan diri agar tidak menangis terisak saat membaca surat peninggalan ayahnya. Dia berusaha untuk tetap tenang, meskipun rasa sulit untuk tetap bersikap baik-baik saja. Kini perasaannya menjadi lebih berat setelah membaca surat peninggalan ayahnya. Karena dia seolah tidak memiliki pilihan lain selain menuruti keinginan almarhum ayahnya untuk menikah dengan Arkana.
"Kenapa harus begini Ma? Aku, kenapa aku nggak pernah tahu masalah ini sebelumnya? Kenapa harus terlalu mendadak seperti ini?"
"Jangan menyalahkan ayahmu apapun yang terjadi, ini semua demi kebaikan kamu. Mama juga percaya kalau Arkana adalah pria yang baik untuk kamu, lelaki yang bisa membimbing dan menjaga kamu sampai kalian menua bersama nanti. Ayahmu hanya ingin melakukan yang terbaik untuk kamu, jangan mengecewakan ayah kamu." Mama Wenda memegang kedua tangan putrinya, meremasnya pelan dan menatapnya dengan sorot mata penuh kasih sayang. "Percayalah, kami sebagai orang tua tidak akan pernah berniat untuk menjerumuskan anak perempuan satu-satunya kepada orang yang salah. Mama bisa melihat, kalau Nak Arkana benar-benar sangat menyayangi kamu."
"Tapi, kita bahkan baru bertemu Ma."
"Tidak masalah, karena dia sudah mengetahui hal ini sejak lama. Jadi dia tentu saja sudah menyukaimu sejak lama."
Bibir Viella terbuka selama beberapa saat. Seolah tidak mempercayai hal itu. Bukankah mereka baru saja bertemu untuk pertama kalinya? Sejak kapan? Apakah dia selama ini telah diperhatikan oleh pria itu? Juga, dia mengaku sebagai dosen di fakultas ekonomi yang bersebelahan dengan fakultasnya. Tapi kenapa dia sama sekali tidak menyadarinya?
Ada terlalu banyak pertanyaan dalam benak Viella, namun dia sama sekali tidak menemukan jawaban dari apa yang dia pikirkan saat ini. Terkecuali dia harus menanyakannya secara langsung pada Arkana selaku orang yang bersangkutan dalam hal ini. Sayangnya, dia masih belu memiliki keberanian untuk menanyakannya sekarang.
Saat ini Viella sudah kembali ke ruang tamu. Dia disuruh oleh mamanya untuk duduk di samping Arkana. Namun gadis itu sama sekali tidak menoleh ke arah Arkana, tentu saja tidak mudah baginya untuk bisa menerima semua ini dengan mudah.
"Nak Arkana, saya sudah menjelaskan pada Viella mengenai perjodohan kalian. Lalu untuk acara pernikahan, bisa dilakukan minggu depan."
"Apa? Ma, kenapa harus Minggu depan? Apa itu nggak terlalu cepat? Kita bahkan baru saja saling mengenal?" Viella yang semula sibuk dengan pikirannya sendiri langsung menatap ibunya dengan tatapan tidak percaya. Fakta bahwa dia tengah dijodohkan dengan seseorang yang tidak dia kenal sama sekali sudah membuatnya shock bukan main. Apa lagi baru saja ibunya mengatakan kalau Minggu depan dia harus menikah.
"Viella, tidak baik menunda hal baik terlalu lama. Lagi pula mama akan merasa lebih lega jika kamu bersama dengan Nak Arkana nantinya. Mama tidak bisa tenang saat kamu tetap memilih untuk berada di tempat kost yang kamu tempati saat ini."
Viella yang masih ingin membantah seketika terdiam. Memang benar dia sekarang tinggal di kost campuran. Bahkan ada beberapa temannya yang membawa pacarnya untuk menginap di kosan terkadang. Hal itu tentu saja membuat Viella merasa agak kurang nyaman. Namun untuk pindah kos, dia juga masih harus mempertimbangkan. Karena terlanjur sudah membayar DP selama tiga bulan setelah pindah kos yang lebih murah setelah ayahnya meninggal. Tidak heran kalau mamanya merasa khawatir.
"Tapi Ma, aku masih bisa menjaga diri. Aku sekarang ikut organisasi taekwondo kok, aku yakin bisa jaga diri dengan baik. Nggak perlu terburu-buru untuk masalah serius seperti pernikahan. Aku belum siap sama sekali Ma."
"Tidak, untuk hal ini keputusaan mama sudah bulat. Minggu depan kalian akan menikah, tidak perlu acara yang mewah. Sederhana saja asalkan tetap sakral dan cukup dihadiri oleh keluarga dekat."
Viella ingin sekali menangis, berteriak dengan kencang kalau dia sama sekali tidak siap. Membayangkan hidup tenangnya akan menghilang dalam waktu singkat, seluruh kehidupannya akan berubah saat dia menikah nantinya.
"Mama egois!" Air mata di kedua pelupuk mata gadis itu tidak bisa dibendung lagi. Viella berdiri, dengan suasana hati yang rumit dan berkecamuk.
Gadis itu berlari memasuki kamarnya, membanting pintu kamarnya dengan cukup kencang dari dalam dan menguncinya.
Mama Wenda yang melihat kelakuan putri satu-satunya hanya bisa mengelus d**a. Menghela napas panjang dan menatap Arkana dengan tatapan penuh permintaan maaf.
"Maaf kalau Viella terkesan masih terlalu kekanak-kanakan dan tidak bisa mengontrol emosinya. Saya harap kamu tidak merasa keberatan dengan sikapnya yang seperti ini."
"Saya paham apa yang dia rasakan saat ini. Saya berjanji untuk ke depannya akan menjaga Viella dengan sebaik mungkin. Memperlakukannya dengan baik sebagai wanita yang akan menjadi prioritas utama dalam hidup saya." Arkana mengatakannya dengan tegas. Sorot matanya jelas menyatakan kesiapan dan keseriusan dalam setiap kata-katanya.
"Saya harap kamu bisa menepati apa yang kamu katakan saat ini di kemudian hari."