Melihat tampilan dirinya di depan cermin, wajahnya yang biasanya tanpa make-up kini telah terias dengan cantik. Kedua matanya agak memerah, bahkan ada sedikit kantung mata yang telah tersamarkan dan malah membuatnya semakin cantik.
Viella tidak pernah menyangka kalau momen seperti ini akan menimpa dirinya dalam jangka waktu secepat ini. Tidak ada sedikit pun terpikirkan dalam benaknya kalau dia akan menikah saat ini dengan seseorang yang tidak dikenalnya. Kedua matanya tanpa sadar kembali berkaca-kaca, namun dengan cepat disekanya menggunakan tisu.
"Apa kamu sudah siap Nak?"
Suara yang tampak familiar terdengar ketika pintu kamarnya dibuka dari luar. Viella tidak perlu menoleh untuk melihat ibunya yang datang mendekat. Menepuk pundaknya dengan senyum lembut, jelas sekali ada harapan dan kebahagiaan dari tatapan mata ibunya. Berbanding terbalik dengan rasa takut dan gugup yang dirasakan oleh Viella saat ini.
"Mama yakin kalau Nak Arka bisa membahagiakan kamu. Percaya sama perkataan Mama, kamu harus bisa beradaptasi nantinya ya. Jangan terlalu mengedepankan ego kamu, bagaimana pun dia adalah suami kamu nantinya."
Viella hanya mengangguk pelan, namun tidak terucap sepatah kata pun dari bibirnya. Karena dia takut akan menangis jika sampai berbicara walau hanya sepatah kata. Karena ada terlalu banyak hal yang ingin dia katakan.
"Ayo kita keluar, semua orang sudah menunggu di luar."
Viella menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan gemuruh perasaannya yang tidak menentu. Momen sakral sudah ada di depan matanya, sayangnya tidak ada rasa antusias sama sekali dalam diri gadis itu. Dia hanya bisa berdoa dan berharap semoga keputusannya kali ini adalah suatu jalan yang benar. Dia tidak ingin terlalu banyak berharap, hanya mencoba untuk pasrah dan menerima semua keadaan.
Kebaya berwarna putih yang dikenakan oleh Viella tampak sangat cantik membalut tubuhnya. Sejak dia keluar dari kamarnya dan berjalan ke arah tempat ijab kabul akan dilaksanakan, pandangan Arka tidak sedikit pun lepas dari gadis itu. Pria itu seolah telah terpaku pada gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.
Tidak membutuhkan waktu lama, kalimat yang sejak tadi ditunggu oleh orang-orang yang menghadiri prosesi ijab kabul akhirnya terdengar dengan lantang ketika kata 'sah' diucapkan dengan lantang. Setitik air mata tanpa sadar menetes dari pelupuk mata Viella.
Ada rasa takut dalam dirinya. Dia merasa kalau semuanya tidak berjalan sesuai dengan keinginannya. Kini dia telah resmi menyandang gelar sebagai istri orang. Dengan tangan agak bergetar Viella menggunakan tangannya untuk menjabat tangan Arka dan mencium punggung tangan pria itu. Baru setelahnya Arka berbalik mencium kening Viella dengan perlahan dan penuh kasih sayang.
"Terima kasih."
Kalimat itu terdengar dengan ringan dan seolah menyatakan ketulusan dalam diri Arka setelah mereka resmi menjadi suami istri. Sementara Viella hanya diam, tidak tahu harus merespon bagaimana. Bahkan sentuhan hangat di keningnya membuat sekujur tubuh gadis itu seolah meremang.
Acara pernikahan mereka diadakan secara sederhana. Tidak ada terlalu banyak tamu undangan, hanya kerabat dan keluarga besar dari kedua belah pihak yang datang. Bahkan Viella sama sekali tidak mengundang temannya. Karena memang dia tidak ingin pernikahannya yang mendadak ini diketahui oleh teman-temannya. Terutama karena status Arka yang merupakan seorang dosen di kampusnya. Hal itu pasti akan menimbulkan pro dan kontra jika hubungan mereka terkuak nantinya.
Tidak terasa akhirnya keseluruhan acara pernikahan telah selesai. Saat ini Viella sedang berada di mobil milik Arka, kedua tangannya terjalin. Bergerak tak tenang, sesuai dengan suasana hatinya yang tidak bisa tenang. Dari tadi dia hanya diam saja, hingga Arka akhirnya masuk juga ke dalam mobil.
"Apa kamu baik-baik saja?" Pria itu bertanya dengan pelan kepada Viella. Karena sejak acara pernikahan mereka dimulai, gadis itu terus saja berdiam diri dan tidak banyak berbicara.
"Saya baik-baik aja kok Mas."
"Viella, ada sesuatu hal yang ingin saya bicarakan ke kamu. Mungkin bagi kamu pernikahan kita saat ini terlalu cepat, saya akui itu memang terlalu mendadak untuk kamu, tapi saya secara pribadi tidak pernah menyesalinya. Saya tahu kamu pasti masih membutuhkan waktu untuk bisa menerima saya seutuhnya. Saya juga tidak ingin memaksakan keinginan saya kalau kamu memang masih belum siap. Tapi saya ingin meminta satu hal ke kamu, tolong kamu buka hati kamu untuk saya secara perlahan." Arka mengambil tangan Viella, menggenggamnya dengan jari-jarinya yang besar dan hangat.
Viella menatap kedua mata Arka yang tampak lurus menatapnya. Tatapan pria yang penuh dengan kesungguhan dan ketulusan. Untuk sesaat gadis itu seolah terperangkap dalam tatapan penuh perasaan mendalam dari Arka. Hingga dia tanpa sadar menganggukkan kepalanya. Sebelum dia akhirnya sadar dan memalingkan wajah. Merasakan rasa hangat menjalar ke wajahnya yang mulai memanas karena tatapan intens mereka selama beberapa saat tadi.
Viella menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan pandangannya ke arah lain. Namun dia justru merasakan perasaan berdebar dalam dirinya. Dia yakin itu bukan karena dia jatuh hati pada pria di sampingnya, namun lebih kepada karena dia merasa gugup. Ya, pasti itu alasannya. Tidak mungkin dia secepat itu bisa menyukai seseorang yang meskipun pria itu adalah suaminya sendiri. Dia yakin kalau cinta masih perlu waktu untuk tumbuh, tidak bisa secepat itu.
Perjalanan menuju ke rumah yang ditinggali oleh Arka memakan waktu sekitar 45 menit dari rumah mamanya. Hal itu membuat Viella yang mungkin merasa kelelahan sepanjang acara pernikahan sampai tertidur di mobil. Gadis itu tertidur dengan nyenyak, bahkan tidak menyadari ketika mobil telah terhenti di depan rumah lantai dua dengan design minimalis yang nyaman dan asri.
Arka menoleh ke arah sosok gadis di sampingnya. Senyum perlahan muncul dari sudut bibirnya. Dia sedikit membungkuk dan memperhatikan wajah gadis yang telah resmi menjadi istrinya. Sangat cantik, membuatnya merasa gemas dan ingin sekali mencubit pipinya yang tampak lembut menggoda.
Tangan pria itu terulur untuk menyelipkan rambut yang menghalangi wajah Viella. Senyum di bibirnya tidak pernah luntur, dia sedikit membungkuk dan membantu melepaskan seat belt di tubuh Viella. Sama sekali tidak berniat membangunkannya.
Arka kemudian turun dari mobilnya, berjalan memutar untuk membukakan pintu samping kemudi dengan perlahan. Dengan gerakan pelan menggendong tubuh ringan istrinya untuk dia bawa masuk ke dalam rumah.
Membaringkan tubuh Viella di atas ranjang yang biasanya dia tempati seorang diri. Senyum di bibirnya tidak luntur sejak tadi, Arka membungkuk dan mengecup kening Viella dengan lembut, lalu beralih ke bibir gadis itu yang merah alami. Hanya sebatas kecupan ringan, karena dia takut tidak akan bisa mengendalikan diri.
"Cantik, terima kasih karena sudah bersedia menjadi istriku."