BAB 4

1095 Kata
    “Aku lagi di luar, Alena minta bubur ayam. Kamu lagi apa?”      “Aku lagi buka laptop ditemani secangkir kopi.”      “Kopi lagi. Jangan terlalu banyak minum kopi, Sab.     Aku denger kamu lagi sakit tenggorokan tapi minumnya kopi mulu.” Protes Leon.      “Ya, nanti juga sembuh.”      “Jangan begitu. Aku tidak bisa 24 jam ada di sisi kamu, kalau kamu sakit nanti gimana? Aku tidak mau kamu sakit. Aku sayang kamu, Sab.”      Leon selalu bisa membuat Sabrina merasa tersentuh meskipun Sabrina merasa itu hanya omong kosong. Karena kalau Leon benar-benar mencintainya dan tidak ingin kehilangan dirinya tentu pria itu akan memilih  dirinya dan melepaskan istrinya. Atau mungkin karena Sabrina menerima keadaan tersebut Leon tidak ingin melepaskan Alena.      “Aku bisa mengatasi diriku sendiri, Leon. Kamu lupa kalau aku terbiasa menyembuhkan lukaku sendiri.”      “Sab,” suaranya seakan memohon. “Aku mencintaimu, kalau kamu sakit aku pun merasakan hal yang sama. Aku akan merasa khawatir karena aku tidak bisa menjagamu dan selalu ada untukmu.”      “Aku malas berdebat.” Sabrina mematikan ponselnya dan dia merasa pusing. Lama kelamaan dia merasa lelah dengan hubungan ini. Dia ingin segera mengakhirinya dan berhenti melukai wanita  lain. Dia ingin segera lepas dari Leon tapi apakah dia bisa mengingat cintanya yang besar dan tulus pada Leon?  ***       Sabrina menemukan foto masa kecilnya di lemari. Dia terlihat lucu dengan topi ala pantai padahal backround poto  adalah jendela rumahnya. Dia tersenyum lucu. Sabrina ingat, ibunya bilang itu adalah foto ketika dia berusia empat tahun. Rambutnya tipis dan pesek, namun seiring berjalannya waktu, rambut Sabrina menebal dan hidungnya  mancung. Dia sempat diejek oleh tetangga karena terlalu pesek. Sabrina tersenyum.      Kenangan masa kecilnya berloncatan seakan berebut untuk diingat Sabrina. Dia ingat ketika hujan turun, dia  berusaha untuk bermain hujan meski ibunya melarang dan membentak. Dia tertawa dengan teman-teman masa kecilnya. Mereka tidak takut meski petir selalu membuat d**a mereka bergemuruh.     Sabrina merasa dilempar oleh mesin waktu untuk kembali ke masa itu meski hanya dalam sebuah memori  kenangan. Di mana dia tidak merasa terbebani dengan segala beban pikiran dan cintanya.      Dia selalu ingat semua perkataan kakek dan neneknya.       “Kalau kamu tidak bisa menjadi matahari, cukuplah untuk menjadi lilin, Sab. Jangan menyakiti hati siapa pun. Kamu harus tumbuh menjadi sebuah penghapus luka bukan pencipta luka.”      Sabrina memejamkan matanya, mengingat dia sudah menyakiti seorang perempuan lain. Air mata jatuh begitu saja. Bel apartemen berbunyi, secepat kilat Sabrina menghapus air matanya. Dia tidak ingin ada yang tahu kalau dia menangis. Dia tidak ingin tahu kalau dia berada di titik yang membingungkan antara tetap menjalani hubungannya dengan  Leon atau melepas Leon.      Sabrina terbelalak tak percaya setelah membuka pintu apartemennya, dia mengira yang jatang adalah Nadia dan Erik, tapi sosok jangkung berkulit putih dengan mata elang berdiri di depannya dengan kedua tangan dibenamkan di  saku celananya.      Dia masuk dan menyenggol lengan Sabrina. Sabrina melongo tak mengerti. Varell datang ke apartemennya?      “Kamu mau apa?” tanya Sabrina mengekor Varell dengan wajah dan nada suara khawatir.        Varell duduk di sofa dengan santai. Dia menatap Sabrina dengan tatapan yang tidak seperti biasanya. Tatapan yang  yang berbeda. Tatapan yang sedikit melunak.      “Kamu cantik.” Pujian itu meluncur begitu saja dari bibir tipis Varell. Ini aneh. Sabrina merasa janggal, dia takut Varell  mabuk. Wajahnya sedikit merah.      “Kamu lebih baik pulang, Varell. Ini sudah malam. Kamu sedang mabuk.” Sabrina masih berdiri tegang.      “Aku bosmu. Aku berhak atas dirimu.” Katanya arogan.       “Tapi saat ini kita tidak punya ikatan soal tugas kantor. Pulanglah.” Sabrina memohon.      “Kalau aku tidak mau?”       “Aku akan mengusirmu.”      “Kalau kamu tidak berhasil mengusirku?”      “Varell,” protes Sabrina. Dia hanya ingin Varell pulang. Dia takut Varell melakukan hal yang tidak seharusnya  karena di apartemen rumahnya hanya ada dirinya dan Varell.      “Leon itu selalu berhasil mendapatkan wanita yang diinginkannya. Alena dan kamu. Wanita sekelas kamu mau jadi simpanan Leon?” Varell tersenyum merendahkan. “Ayah bilang kamu itu pintar, bahkan IPK-mu saat kuliah berada dikisaran 3,5 kan? Ayah juga bilang kalau kamu wanita yang cerdas, dia juga yakin kalau kamu akan mendapatkan pria yang... ah, sialnya ayahku tidak tahu kalau kamu memilih menjadi wanita simpanan putranya."      Sabrina membuang wajah. “Kalau kamu ke sini hanya untuk merendahkanku lebih baik kamu pulang. Aku tahu siapa diriku, Varell. Kamu tidak berhak menghakimi aku hanya karena aku menjalin hubungan dengan kakakmu."      “Kamu bilang aku tidak berhak menghakimi wanita sepertimu. Kamu berhak karena kamu—“ Varell menelan ludah. Dia seakan tidak sanggup mengatakan kata yang akan lebih menyakitkan Sabrina.      Dia bangkit dan menghampiri Sabrina yang dadanya makin berdebar dan tegang. Varell menatap wajah Sabrina dengan   amat dekat hingga Sabrina bisa mencium aroma alkohol dari napas Varell.      “Kamu sudah tidur berapa kali dengan Leon?” pertanyaan kurang ajar itu membuat kepala Sabrina memanas. Tapi, dia berusaha menahan emosinya dan menahan tangannya untuk menampar adik dari kekasih gelapnya itu.      “Kalau malam ini kamu tidur denganku bagaimana?”      Dan Sabrina tidak bisa untuk tidak menampar pipi Varell.       Tamparan itu cukup keras. Tapi Varell bersikap santai. Dia kembali menampakkan senyum sinisnya. “Kenapa?”      “Aku bukan wanita yang bisa tidur dengan setiap pria.” Tegasnya.      “Kamu tidur dengan Leon sedangkan kamu tahu kalau dia punya istri.Kamu menolak tidur denganku yang bukan suami orang. Kamu gila, Sabrina." Perkataan itu terdengar kejam di telinga Sabrina.      “Karena aku mencintai Leon.” Mata Sabrina mulai berkaca-kaca.      “Pakai logikamu.”      “Cinta tidak mengenal logika.”      “Cih! Kamu lemah.”   Sabrina menghapus air matanya yang jatuh.      Mereka saling bertatap selama beberapa saat hingga Varell menempelkan bibirnya pada bibir Sabrina. Tidak ada perlawanan dari Sabrina. Seakan balas dendam terhadap apa yang dikatakan Varell dan dia dendam dengan Leon yang mungkin—tidak benar-benar mencintainya.      Ciuman itu cukup lama. Varell tidak menyangka kalau Sabrina tidak menolak ciumannya dan Sabrina tidak pernah menduga pria dingin ini datang ke apartemennya dengan kondisi mabuk, mengatakan perkataan-perkataan yang membuatnya emosi lalu menikmati bibirnya tanp ada penolakan darinya.      Aroma alkohol yang manis menguasai indra penciuman Sabrina.       Lalu kesadaran mengambil alih Sabrina dan dia mendorong Varell. “Aku tidak bisa.” Ujarnya dengan d**a yang masih berdesir.      “Leon mengambil Alena dan aku juga berhak mengambilmu darinya.”       “Kenapa hanya karena seorang wanita kamu membenci Leon?”      “Kenapa hanya karena seorang pria kamu tega menyakiti wanita lain?” balas Varell sengit.      Sabrina terdiam. Dia tidak bisa berkata apa-apa.       “Pulanglah,” ujarnya seraya membuang wajah.      Tanpa berkata apa pun, Varell melangkah menuju pintu. Dia pergi. Sabrina menangis.      Cinta selalu berhasil menjatuhkannya.  *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN