Ucapan selamat pagi datang dari Leon lewat chat. Sabrina hanya membaca chat itu tanpa mau membalasnya. Dia masih memikirkan kejadian tadi malam. Ciuman yang masih terasa manis. Ciuman pertama dari Varell yang tak pernah diduganya. Sabrina tidak tahu kenapa dia pasrah dan malah membalas ciuman Varell. Dia menyesali yang dilakukannya.
Varell datang dengan wajah muram. Dia berlalu tanpa menatap Sabrina yang berdiri terpaku di depan ruangannya dengan tangan menggenggam sebuah kertas yang perlu di tanda tangani Varell. Barangkali tadi malam hanya karena Varell mabuk. dan dia melampiaskan amarah yang selama ini dipendamnya karena sakit hati kekasihnya menikah dengan kakaknya.
“Surat kerjasama dari acara musik stasiun televisi X.” Sabrina meletakkan surat di atas meja dan mencoba bersikap biasa saja seakan semalam tidak terjadi apa pun.
“Oh ya,” tanpa basabasi Varell menandatangani surat yang disodorkan Sabrina. Dia tidak menatap Sabrina sama sekali.
“Terima kasih,” ucap Sabrina lalu segera melesat pergi. Dia tidak bisa berlama-lama dengan peria aneh yang mengerikan ini.
Ketika Sabrina keluar, dia berpapasan dengan Alena. Wanita jangkung dengan leher panjang dan mata belok. Rambut ombrenya terlihat sempurna. Wanita itu mengenakan dress warna camel. Dia tersenyum pada Sabrina.
“Ada Varell?”
“Ada.” Sahut Sabrina.
Alena tersenyum dan mengangguk. Sabrina terdiam sesaat, dia tidak tahu apa yang akan mereka lakukan di dalam ruangan. Alena mantan kekasih Varell yang menjadi istri Leon menemui Varell tanpa Leon di ruangan kerja. Sabrina tidak ingin tahu apa pun, dia memilih menyingkir.
“Mau apa ke sini?” tanya Varell.
Alena duduk dengan wajah memelas. Dia menatap Varell seakan pria itu adalah pria yang sangat dicintainya. Tatapan memohon. “Bertemu denganmu.”
“Untuk apa?”
“Leon bercerita kalau kamu masih membencinya.Kamu selalu berusaha menghindari pertemuan keluarga dan memilih menyendiri di apartemen. Varell—“
“Aku tidak butuh ocehanmu, Alena. Untuk apa kamu masih memedulikanku. Kamu ini istri kakakku.”
“Kamu tidak tahu alasan kenapa aku menikahi kakakmu.”
“Kamu tidak pernah memberitahuku!” nada tinggi itu memekakakn telinga Alena.
“Belum saatnya Varell. Aku belum bisa memberitahumu.”
“Pergilah, Leon pasti akan marah kalau dia tahu pagi-pagi kamu sudah di sini.”
Alena menggeleng.
“Leon tidak mencurigaiku dan aku rasa Leon percaya padaku. Dia tahu dalam hal ini kamilah yang salah. Dia pun menyesal.”
Mata Alena berkaca-kaca. Dulu Alena selalu melihat mata Varell yang ceria seakan dipenuhi oleh warna-warni pelangi. Namun, sekarang mata itu suram dan penuh kesinisan seakan semua warna pelangi sinar dari mata elangnya yang indah.
“Aku mencintaimu, Varell.”
Varell menatap Alena cukup lama. Sebelah sudut bibirnya tertarik ke atas. “It’s a big bullshit.” Katanya dengan tajam.
“Terserah kamu mau menilaiku seperti apa. Aku hanya merasa pernikahan dengan Leon adalah keputusan terbaik yang bisa kuambil.” Alena bangkit, dia menyapu air matanya yang jatuh di pipi dan pergi meninggalkan Varell yang wajahnya memerah.
Varell berdiri, mengepal tangannya dan memukul-mukul meja untuk menghilangkan rasa sakit hatinya.
Alena keluar dan memilih masuk ke toilet untuk menumpahkan air matanya. Dia menangis tersedu-sedu. Mengingat betapa dia masih mencintai Varell. Betapa dia sudah melukai Varell begitu dalamnya hingga pria yang dikenal ramah itu menjadi dingin dan mengerikan. Sabrina masuk dan mendapati Alena menangis. Alena berusaha mennyembunyikan tangisnya dan mencuci mukanya di wastafel.
Sabrina berpura-pura tidak tahu karena hanya berpura-puralah dia merasa jauh lebih baik daripada sok peduli tapi dia tahu apa yang terjadi sebenarnya. Dan satu lagi, dia adalah kekasih gelap Leon. Suami wanita yang menangis itu.
***
Sayang.
Sebuah pesan dari Leon membuat ponsel Sabrina bergetar. Sabrina tidak tahu harus bagaimana karena dia ingin lepasdari Leon. Dia sulit untuk mengabaikan Leon. Sudah cukup semua yang dilakukannya dengan Leon. Dia tidak ingin menjadi perusak rumah tangga orang meskipun dirinya sudah menjadi seorang perusak. Sabrina merasa hidup dalam jalan yang tak tentu arah. Nadia pernah berkata bahwa satu-satunya jalan untuk lepas dari Leon adalah menikah. Tapi, Sabrina tidak memiliki teman dekat pria selain Leon. Semua hanya teman, hanya sebatas pertemanan dan tidak lebih.
Sabrina sudah menyerahkan semuanya kepada Leon termasuk kesuciannya. Dia merasa t***l dan bodoh. Kesucian yang dengan susah payah dijaganya diberikan kepada pria bersitri. Dia tidak mengharapkan apa pun selain cinta dari Leon. Selain cinta.
“Sab, istirahat yuk!” ajak Oliv dengan gaya slengeannya dia berjalan menghampiri Sabrina.
“Mau makan di luar?”
“Kantin saja. Eh, tadi Alena ke sini ya. Dia pasti nemuin Varell.”
“Kok kamu tahu, Liv.” Tanya Sabrina heran.
“Apa sih yang luput dari penglihatanku, Sab. Semut berjalan di lantai 2 saja aku tahu.” Jawabnya seraya terbahak.
Sabrina ikut tertawa. Ya, untuk sejenak Oliv berhasil membuatnya sedikit mengurangi stres.
“Aku tadi lihat Alena menangis di toilet setelah keluar dari ruangan Varell.”
“Apa?” mata Oliv membelalak.
“Kenapa-kenapa?” tanyanya penasaran seraya mencondongkan wajahnya pada Sabrina.
“Aku tidak tahu.” Sabrina mengangkat bahu.
“Sudah kuduga,” Oliv mengangguk-ngangguk—lebih kepada dirinya sendiri.
“Sudah diduga apa?” kali ini Sabrina yang penasaran.
“Ya, Alena mau mendekati Varell dan Varell menolak.”
“Sok tahu.” Cibir Sabrina.
“Kita lihat saja nanti.”
“Liv, kamu tahu tidak kenapa Alena malah menikah dengan Leon?”
“Hamil duluan mungkin, Leon kan begitu flamboyan. Barangkali mereka mabuk dan tidak sengaja melakukan itu.” Kata Oliv asal.
“Eh, tapi aku tidak serius bilang begitu ya. Itu hanya imajinasiku.”
Sabrina mencerna perkataan Oliv. Kalau memang semudah itu Leon meniduri wanita berarti mungkin bukan hanya Sabrina yang menjadi kekasih Leon. Mungkin ada wanita ketiga, keempat dan wanita lainnya. Sabrina merasa hatinya ditusuk-tusuk.
***
Leon melangkah dengan tatapan nakalnya dia menghampiri Sabrina yang terbaing di atas ranjang. Dia menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya. Sabrina seakan mendamba sentuhan Leon. Dia hanya mengenakan selimut untuk menutupi tubuhnya. Leon mengecup kening Sabrina dan kecupan itu terus turun hingga ke bibir Sabrina. Lalu Leon melahap bibir Sabrina dengan rakus. Dia menatap Sabrina sekilas ketika melepas bibir Sabrina. Dia memeluk Sabrina dan sesuatu yang disembunyikan di punggungnya dikeluarkan. Sebuah pisau berkilau. Sabrina membelalak dan pisau itu dengan cepat ditancapkan ke punggung Sabrina sebelum Sabrina berhasil menghindar.
Sabrina terbangun dengan napas tersengal-sengal seakan kejadian barusan adalah kenyataan. Wajah mengerikan Leon masih jelas menghantuinya. Leon berniat membunuhnya. Ya, pria itu berniat membunuhnya dalam mimpi. Namun, sebelum berhasil membunuh Sabrina dia sempat menikmati bibir Sabrina.
***