[Bonus Cerpen] - Kali Kedua
Gue putus sama Alvaro.” Echa berkata di depan ketiga temannya, yaitu Cindy, Fira, dan Jenny.
“Whatttt? Kenapa bisa putus?” tanya Cindy terkejut.
“Alesan UN?” tebak Jenny.
“Hah? Masih kaya anak SD aja putus karena UN,” sahut Fira.
“Alvaro bosen sama gue katanya,” ujar Echa.
“WHATTT? BOSEN? ALASAN APAAN ITU? NGGAK BERBOBOT BANGET!” ujar Cindy dengan nada sedikit teriak, hingga teman-teman yang ada di kelasnya pun menatap aneh ke arah keempat perempuan itu.
“Lo serius, Cha? Alvaro mutusin lo gara-gara bosen? Itu doang?” tanya Fira.
Echa mengangkat kedua bahunya, “Dia bilangnya gitu.”
“Pasti ada cewek lain tuh!” tebak Jenny lagi.
“Apaan sih, Jen? Selalu aja gitu lo. Nyimpulin sendiri tanpa ada bukti!” omel Fira.
“Apa lagi coba alesan cowok yang tiba-tiba mutusin ceweknya? Pasti ya karena ada cewek lain! Dia juga bilang kalo bosen kan? Ya udah berarti dia udah sama cewek lain makanya dia bilang bosen!” ujar Jenny menjelaskan.
“Alvaro b******k emang!” ujar Cindy berapi-api.
“Udah lah, Cin. Biarin aja sesuka dia. Bodoamat gue!” ujar Echa.
“Cha, lo beneran nggak papa?” tanya Cindy.
“Ya nggak lah b**o! Nggak ada orang yang baik-baik aja saat putus cinta!”
*****
Alvaro mengaduk-aduk bakso yang ada di depannya tanpa ada minat memasukkan ke mulutnya sedikitpun. Sedari tadi, Alvaro hanya mengaduk dan menambahkan saus atau sambal ke dalam mangkok baksonya.
“Al, lo kenapa sih? Lo aduk mulu, terus lo tambah lagi sambelnya, lihat tuh kuahnya jadi kayak darah!” ujar Edo mengomeli Alvaro.
“Tau nih! Lo kenapa sih?! Kayak gak ada semangat hidup daritadi,” sahut Raka.
“Gue putus.” Alvaro mulai mengeluarkan suaranya. Pandangannya masih kosong ke arah depan. Benar-benar seperti orang yang tak memiliki semangat hidup.
“Hah?” kejut Edo dan Raka bebarengan.
“Putus sama Echa?” tanya Raka.
“Ya iyalah b**o! Emang pacar Alvaro siapa kalo bukan Echa!” sahut Edo ketus.
“Kenapa bisa putus?” tanya Raka.
“Gue ada masalah,” balas Alvaro singkat.
“Masalah sama Echa? Nggak bisa diomongin baik-baik apa, kok udah ngambil jalan putus aja sih. Emangnya ada apa? Echa selingkuh? Kalo udah selingkuh sih emang udah nggak ditoleran lagi, Al,” ujar Edo.
“Echa nggak selingkuh. Gue ada masalah sendiri!” sahut Alvaro sinis.
“Wetsss santai bro! Gue nggak nuduh Echa selingkuh kok,” ujar Edo yang menyadari perubahan nada saat Alvaro berbicara. “Jadi, ada apa sama lo?” tanya Edo lagi.
“Terlalu banyak masalah yang ada di hidup gue. Gue nggak tau cara ngadepinnya kayak gimana,” ujar Alvaro.
“Ada apa sih, Al? Lo bisa cerita sama kita kita. Siapa tau bisa bantu cari jalan keluar buat masalah lo,” ujar Raka.
“Bener tuh kata Raka. Mendingan lo cerita. Biar beban yang ada di tubuhnya sedikit keangkat,” sahut Edo.
“Terlalu banyak masalah sampe gue nggak tau harus cerita mulai darimana,” ujar Alvaro.
“Eh, Echa tuh Al!” seru Raka saat melihat Echa bersama ketiga temannya berjalan mendekat ke arah kantin.
“Biarin aja, dia pasti udah benci sama gue karena putusin dia tiba-tiba,”
“Lo juga sih Al yang b**o. Kenapa nggak pikir panjang dulu sih, emang lo nggak cinta apa sama Echa? Lo nggak sayang sama dia? Bisa-bisa jiwa gue buat milikin Echa kembali berkobar lagi kalo kayak gini!” ujar Raka.
Raka memang sempat suka dengan Echa saat kelas 11. Tetapi, saat akan kenaikan kelas 12, Raka tau bahwa Alvaro dan Echa menjalin hubungan. Karena itulah Raka mundur karena sadar diri. Raka dan Alvaro adalah dua kepribadian yang berbeda. Alvaro tampan, primadona sekolah, anak basket, siswa teladan, sementara Raka hanya memiliki wajah standart, dan kemampuan otak yang standart pula. Raka tau diri bahwa sampai kapanpun ia tak akan bisa memilik Echa yang nyaris sempurna—sama seperti Alvaro.
Alvaro menoyor kepala Raka kasar, “Lo sentuh dia, mati lo sama gue!” ancamnya.
Nyali Raka menciut mendengar seruan Alvaro. “Inget udah mantan!”
*****
2 minggu kemudian…
“Yeay, akhirnya UN selesai juga. Jadi kita bisa bebas deh main-main!” seru Cindy.
“Main aja yang ada di pikiran lo. Inget SBMPTN udah di depan mata!” sahut Jenny.
“Main dulu nggak papa lah. Istirahat sejenak sebelum kita hadepin ujian hidup yang lebih besar lagi,” ujar Echa.
“Nah bener tuh kata Echa. Setuju gue,” ujar Cindy.
“Ya udah mau kemana nih kita? Jalan yuk, buat ngerayain selesai UN,” usul Fira.
“Setuju 1000%!” sahut Cindy cepat.
“Semangat banget sih lo kalo udah diajak jalan,” ujar Jenny sinis.
“Ke mall aja, sekalian cuci mata,” usul Echa yang kemudian diangguki oleh ketiga temannya.
Sesampainya di mall, mereka melihat barang mulai dari baju, tas, skincare, make up, dan segala kebutuhan wanita lainnya. Mereka tidak beli, hanya melihat-lihat saja karena itu sudah menjadi kesenangan tersendiri bagi para wanita. Seperti surga bagi mereka.
“Makan yuk. Laper gue, udah agak pegel juga nih kaki,” ujar Fira.
“Ya udah yuk,” ujar Cindy.
Kemudian mereka berjalan menuju ke sebuah restaurant jepang di mall tersebut. Setelah mereka menyebutkan pesanan kepada waitress, mereka sibuk dengan ponsel mereka masing-masing karena terlalu lelah tenaganya untuk berbicara. Mereka harus mengisinya terlebih dahulu.
Tiba-tiba ponsel Echa berdering yang membuat ketiga temannya menoleh ke arahnya.
Edo is calling...
Echa terkejut membaca notifikasi yang ada di layar ponselnya itu. Sebelumnya, Echa tak pernah berhubunahn dengan Edo selain jika ingin menanyakan dimana keberadaan Alvaro. Dan sekarang Echa dan Alvaro sudah putus, tetapi mengapa Edo masih menelfon Echa.
“Gue angkat telfon dulu ya,” pamit Echa kepada ketiga temannya dan dibalas anggukan singkat oleh ketiganya. Echa menjauh sebentar dari teman-temannya dan mengangkat telfon itu.
“Hallo...” ujar Echa saat telfon telah ia sambungkan.
“Hallo, Cha, lagi dimana?” tanya Edo di seberang.
“Di mall, kenapa?”
“Kesini, Cha. Alvaro ngamuk-ngamuk di rumah gue.”
“Hah? Ngamuk kenapa?”
“Katanya dia berantem sama Papanya, terus dia diusir dari rumah. Makanya dia kesini. Tolong lo kesini Cha! Gue gak bisa jadi tamengnya nih bocah,”
“Ta..tapi—“
“Cha, please tolongin gue,”
“Oke gue kesana sekarang.”
Echa menutup telfonnya dengan perasaan tak karuan. Sebelumnya, Alvaro tak pernah begini. Alvaro bukan tipe lelaki yang pemarah, apalagi ini sampai marah-marah ke rumah temannya. Alvaro bukan orang yang suka mengumbar emosinya di depan orang lain, tetapi mengapa saat ini berbeda. Pertanyaan terus kemutar di otak Echa, hingga akhirnya Echa memutuskan untuk menemui Alvaro di rumah Edo.
Echa telah berada di dalam mobilnya setelah ia tadi berpamitan kepada ketiga temannya. Echa segera melajukan mobilnya dan membelah Kota Jakarta. Echa mengendarai dengan kecepatan sedang, ia tak mau terburu-buru daripada nanti ada apa-apa dengannya.
Sesampainya di rumah Edo, Echa mendengar suara keributan di dalam. Echa segera masuk, pandangan yang pertama kali ia lihat adalah Alvaro yang membanting segala buku dan majalah yang ada di rumah Edo, juga Edo yang hanya diam—duduk di sofa sambil memainkan ponselnya tanpa memperdulikan Alvaro.
“ALVARO STOP!!” teriak Echa yang membuat Alvaro dan Edo menoleh ke arahnya.
“Echa? Lo ngapain disini?!” tanya Alvaro dengan suara tinggi.
“Lo yang ngapain berantakin rumah orang sembarangan?” tanya Echa berbalik tanya dengan nada yang tak kalah tingginya dengan Alvaro.
Edo menatap ke arah Echa dan Alvaro secara bergantian, “Cha, urusin mantan lo. Gue mau ke rumah Raka dulu ambil buku gue yang ketinggalan,” ujarnya pada Echa.
“Tapi, Do... Ini kan rumah lo—“
“Nggak papa, Cha. Gue percaya sama lo dan Alvaro. Tenangin dia. Gue yakin Cuma lo yang bisa. Gue pergi dulu,” ujar Edo, lalu ia segera beranjak keluar rumah meninggalkan Alvaro dan Echa di dalam rumahnya.
Echa kembali menatap Alvaro yang masih diam, napasnya naik turun, tangannya mengepal. “Lo kenapa sebenernya, Al?” tanya Echa. Echa berjalan mendekati Alvaro yang masih menunduk, tangannya juga masih mengepal.
Echa mengambil tangan Alvaro, membuka kepalan tangannya.
“Lo bisa cerita sama gue kalo lo mau,” ujar Echa lagi. “Ayo duduk dulu, biar lo lebih tenang,” ajaknya.
Alvaro menatap Echa, “Kenapa lo masih peduli sama gue? Lo nggak benci sama gue karen—“
“Gue nggak pernah benci sama lo. Kalo emang putus udah takdir kita mau gimana lagi kan?” ujar Echa.
“Cha...” lirih Alvaro.
“Hmm...” Echa hanya membalas dengan deheman singkat.
“Gue sayang sama lo,” ujar Alvaro yang membuat Echa menoleh dan mengerutkan keningnya. “Maaf kalo gue tiba-tiba putusin lo. Masalah gue banyak. Gue nggak bisa cerita sama siapapun, termasuk lo. Gue nggak mau bebanin lo karena saat itu kita mau UN, gue ambil jalan putus,” ujar Alvaro, lalu ia kembali menundukkan kepalanya.
“Ada apa sebenernya sama lo, Al? Gue nggak pernah ngerasa dibebanin sama lo, kalo lo butuh teman cerita, gue selalu siap.”
“Papa sama Mama cerai..” ujar Alvaro.
Echa terkejut, tetapi dengan cepat ia menepis rasa terkejutnya dan digantikan dengan raut biasa saja. Echa tak mau jika Alvaro menyangka bahwa ia membuat Echa menjadi khawatir. Echa hanya diam dan menunggu ucapan Alvaro selanjutnya.
“Rumah yang gue tempatin mau dijual. Gue nggak mau, gue ngebantah mereka. Mereka malah ngusir gue dan bilang kalo nggak akan mau nganggep gue sebagai anak mereka lagi,” ujar Alvaro.
Lagi-lagi seperti tersengat listrik, Echa terkejut, tubuhnya benar-benar menegang. Masalah yang dilalui Alvaro sangat berat, tetapi cowok itu tak pernah mau berbagi cerita dengan alasan tak mau membebani orang lain—termasuk Echa, orang yang Alvaro sayang.
“Gue nggak rela mereka pisah, Cha. Gue selalu menghalangi niat mereka, sampai akhirnya mereka urus surat perceraian tanpa sepengetahuan gue. Gue udah gak bisa berbuat apa-apa lagi. Gue bener-bener pusing,” ujar Alvaro.
Echa menahan air matanya agar tak jatuh di depan Alvaro. Echa bisa merasakan apa yang dirasakan cowok itu. Perpisahan kedua orang tua memang berefek dahsyat kepada anaknya. Tetapi Echa kagum dengan Alvaro karena cowok itu kuat, ia tak menunjukkan kesedihannya. Alvaro tak menangis sama sekali di depan Echa.
Echa menarik tubuh Alvaro mendekat ke arahnya. Echa memeluknya, memberikan sebuah kekuatan melalui pelukan hangat itu. Pelukan yang sangat Alvaro rindukan. Echa menumpahkan tangisnya, ia mengelus puncak kepala Alvaro yang kini bersandar di bahunya. Alvaro melingkarkan tangannya di pinggang ramping Echa, merasakan setiap sentuhan gadis itu yang selalu membuatnya tenang, gadis itu yang selalu memberinya pelukan hangat setiap ia ada masalah, gadis itu yang selalu bisa membuatnya bahagia dan melupakan segala masalahnya hanya dalam sekejap.
“Maaf Al, maaf...” ujar Echa lirih.
“Kenapa minta maaf? Lo nggak salah, Cha,” ujar Alvaro.
“Gue salah nilai lo. Gue nggak tau kalo kejadiannya kayak gini. Gue minta maaf, Al..” ujar Echa yang kini semakin mengeratkan pelukannya.
“Gue selalu sayang sama lo, Cha,” gumam Alvaro yang masih terdengar jelas di telinga Echa. Diam-diam, Echa mengembangkan senyumannya.
Echa melepaskan pelukannya, ia menatap Alvaro yang matanya memerah, menahan tangis yang tidak ingin ia jatuhkan.
Alvaro mengambil kedua tangan Echa, digenggamnya erat kedua tangan itu. “Maafin gue udah ninggalin lo tiba-tiba. Lo pasti mikir aneh-aneh tentang gue,”
Echa menggelengkan kepalanya pelan, “Enggak Al. Gue nggak mikir aneh-aneh. Apalagi kalo gue tau kejadian sebenernya kayak gini. Gue lebih ngerasa bersalah karena gue nggak ada saat lo butuh,”
“Makasih, Cha, karena lo masih mau nemuin gue. Lo masih mau ngasih gue pelukan, gue emang butuh lo banget. Ternyata ngelepas lo bukan mengurangi beban buat gue, malah nambah beban karena gue selalu butuhin lo. Gue butuh support dari lo,” ujar Alvaro. Raut wajahnya sangat menyesal. Alvaro kembali menundukkan wajahnya.
Echa menyentuh dagu Alvaro, dan mendongakkannya agar Alvaro tak lagi menunduk dan melihat ke arahnya.
“Meskipun lo udah bukan pacar gue, gue bakal bantu lo, sebisa gue Al. Gue akan selalu ada buat lo. Lo jangan ngerasa sendiri, lo jangan ngerasa kehilangan gue. Lo hanya kehilangan status sama gue, bukan perhatian gue,” ujar Echa.
“Cha, lo serius sama ucapan lo? Lo masih mau perhatian sama gue?” tanya Alvaro.
Echa menganggukkan kepalanya pelan.
“Kenapa, Cha? Kenapa lo masih mau perhatian sama gue? Gue makin ngerasa bersalah sama lo,”
“Gue sayang lo, Alvaro. Sampai kapanpun itu. Jangan merasa bersalah, jangan nyalahin diri lo sendiri,”
“Kalo gue ngajak lo balikan, apa lo mau?” tanya Alvaro yang membuat Echa mengerutkan keningnya.
“Harus ya ada status lagi?” tanya Echa.
Alvaro mengangkat kedua bahunya, “Biar nggak ada yang deketin lo aja. Kalo lo berstatus pacar gue, mereka semua nggak akan ada yang deketin lo. Kalo lo berstatus mantan gue, bisa aja ada yang deketin lo nanti, dan gue nggak mau itu terjadi.”
Echa mengembangkan senyumnya, “Gue nggak mau balikan sama lo. Karena gue mau deket sama cowok lain,” ujar Echa bercanda.
Alvaro menatap tajam ke arah Echa, “Nggak bakal gue izinin! Lo Cuma milik gue. Sekarang, besok, dan selamanya!”
Echa meledakkan tawanya, “Iya udah deh. Terserah lo aja,”
“Jadi, mau kan?” tanya Alvaro. Echa menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.