Alexander Harper Point of View
Aku menoleh menatap Benedict dengan kening berkerut. Aku tidak mengerti mengapa sejak lima belas menit yang lalu, sejak aku memasuki mobil. Ia memberikan tatapan aneh kepadaku. Bahkan seperti sedang menatap alien yang datang ke bumi untuk menginvasi hidup manusia. "Berhentilah membuatku takut. Mengapa kau melihatku seperti itu?"
Benedict memicingkan mata. "Aku rasa ada sesuatu yang aneh denganmu."
"Aneh bagaimana? Aku tidak merasakan sesuatu yang aneh dalam diriku." balasku masih sambil menatap Benedict bingung.
Benedict menyentuhkan jari telunjuknya di pipiku. "Lesung pipimu."
"Lesung pipiku? Aku sudah memilikinya sejak lahir." kataku. Aku menepis tangannya dari hadapan wajahku. "Jangan bilang kau baru menyadarinya selama ini?" tambahku bertanya.
Benedict menelengkan kepala. "Aku tahu kau punya lesung pipi sejak lahir. Hanya saja..." ia sengaja menggantungkan kalimat dan merubah posisi duduknya menyamping agar dapat langsung menghadap padaku. Ia menarikkan sandaran lengan sebelum menaikkan sebelah kaki ke atas kursi. "Aku tidak pernah melihatnya muncul ke permukaan dalam waktu yang cukup lama."
Aku rasa ada sesuatu yang menghantam kepala Benedict pagi ini. Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba pria itu membahas masalah lesung pipiku? "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."
"Apakah kau tidak menyadari kalau kau sejak tadi pagi selalu tersenyum?"
Benar apa kata Benedict. Aku tidak menyadari bahwa aku sejak tadi sedang tersenyum. Bahkan sampai detik ini aku masih tersenyum membuatku degan cepat merubah ekspresiku saat menyadarinya. "Mengapa aku tersenyum?"
"Mengapa kau balik bertanya padaku? Aku tidak tahu mengapa kau tersenyum. Untuk itu aku ingin bertanya." Benedict sedikit mencondongkan tubuh ke arahku. "Apakah karena semalam kau bersama Seline Hanzler? Model pakaian dalam ternama itu?" tambahnya berusaha menebak dengan berbisik.
Aku terdiam selama beberapa detik untuk memikirkan alasan sekaligus jawaban atas pertanyaan yang sejak tadi saling dilemparkan olehku sendiri dan Benedict. Mengapa aku tersenyum? Aku berusaha mengingat kejadian apa saja yang terjadi padaku belakangan ini. Kemudian aku mendengus geli sebelum terkekeh pelan. "Wanita itu."
"Wanita itu? Seline?"
Aku menggeleng cepat. "Bukan Seline. Wanita yang kemarin kuceritakan padamu. Wanita yang berada di toko buku."
Benedict tahu siapa orang yang sedang kubicarakan. Namun ia masih tidak mengerti apa kaitannya. "Lalu?"
Aku kembali tersenyum membuat Benedict mengibaskan sebelah tangan di depan wajah. "Oh berhentilah tersenyum! Itu sangat menggangguku."
"Aku tidak bisa berhenti tersenyum masalahnya."
Benedict memutar mata dan menggelengkan kepala samar. "Sepertinya kita harus ke rumah sakit sekarang juga. Sepertinya ada sesuatu yang bermasalah dengan sarafmu itu."
Aku terkekeh geli mendengar perkataan Benedict sebelum membuang pandangan ke laur jendela, memperhatikan orang berlalu lalang sepanjang trotoar. "Aku terlalu senang memikirkan wanita itu. Lebih tepatnya memikirkan kejadian tadi pagi saat kami bertemu kembali."
"Kau bertemu wanita itu lagi? Bagaimana bisa?" Benedict mengerjap beberapa kali. "Apakah kali ini kau bertanya siapa nama wanita itu?" tambahnya dengan antusias.
Aku menyandarkan diri senyaman mungkin pada sandaran kursi dan kembali mengalihkan pandangan pada Benedict. "Tentu saja. Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama sebanyak dua kali." jawabku bangga.
"Jadi, siapa nama wanita itu?"
"Untuk masalah itu..." aku menggantung kalimatku dan terdiam beberapa detik. Aku meringis sebelum mendesis pelan. "Aku hanya tahu nama belakangnya."
...
"Alex anak emasku! Aku menyukai aransemen musik versimu. Kerja yang bagus." Suara itu terdengar memenuhi seluruh ruang rekaman melalui intercom yang tersambung dengan speaker berukuran besar di ujung plafon. Aku mendongak menatap produser musikku yang duduk di belakang kaca pembatas antara ruangan ini dengan ruangan kontrol tengah mengacungkan jempol kearahku. "Kau boleh istirahat selama tiga puluh menit."
Sementara Benedict, pria itu berdiri di belakang produserku sambil mengangkat sebuah amplop berwarna cokelat sebatas d**a. Saat ia melangkah memasuki ruang rekaman. Dengan cepat kuletakan lembaran kertas parittur dalam genggaman tanganku diatas kursi kecil berkaki roda dihadapanku sebelum melepaskan headphone dan mengaitkannya di leher. "Ada apa?"
"Aku berhasil menemukan informasi mengenai wanita itu." jawab Benedict.
Aku menerima amplop pemberian Benedict. "Kau memang benar-benar pria yang bisa diandalkan. Dalam waktu tiga jam kau mampu menemukan informasi yang kuinginkan mengenai wanita itu." pujiku tulus. "Bagaimana? Apakah ada sesuatu yang menarik?" tambahku.
"Banyak. Banyak hal yang sangat menarik."
Aku menahan senyumku ketika mendengar kalimat itu. Dengan cepat aku membuka amplop dan mengeluarkan sekitar empat atau lima lembar kertas berisi biodata wanita itu. "Jadi siapa nama lengkapmu nona Graves?" gumamku.
"Namanya Jace Beverly Reid. Dia putri kandung mendiang Jasper Reid dengan Alicia Lengowaski. Kemudian saat ibunya menikah dengan Lucas Graves. Namanya kemudian bertambah menjadi Jace Beverly Reid-Graves." jelas Benedict sambil menunjuk ke sebuah berkas pembaharuan nama.
"Jace? Aku pikir penyebutan namanya lebih seperti dua huruf terpisah J dan C."
Ben menggeleng samar. "Banyak orang yang salah menyebut namanya."
"Jace". kataku menyebutkan nama wanita itu dengan benar. "Sepertinya aku akan memanggil wanita itu dengan Beverly atau mungkin Bev agar terdengar lebih seksi."
Benedict sontak terbahak mendengar perkataanku. Aku mengalihkan pandangan kepadanya dan mengangkat sebelah alis. "Mengapa kau tertawa?"
"Apakah kau yakin kalian akan bertemu kembali?" Benedict balik bertanya setelah berhasil mengontrol diri.
"Dua hari berturut-turut aku bertemu dengan wanita itu. Tidak mungkin itu semua hanya kebetulan. Itu namanya takdir. Kau berani bertaruh?"
Benedict merasa tertantang. Ia melipat tangannya di depan d**a sambil berkata. "Apa yang ingin kau pertaruhkan?"
Aku menyeringai. "Pinjamkan Arash AF10 Hybrid-mu padaku selama satu minggu."
"Bagaimana denganmu? Kalau tidak sebanding dengan mobil kesayanganku. Aku tidak mau."
Aku terdiam selama beberapa detik mencoba memikirkan sesuatu yang sebanding dengan harga mobil itu meskipun hanya meminjam. "Bagaimana dengan Grande S10-ku? Kau bahkan boleh mengambilnya."
"Yacht?"
Aku mengulurkan tangan kepada Benedict. Namun pria itu tidak langsung membalas dan menatapku dengan mata memicing. "Dua minggu. Dua minggu batas maksimal kau bertemu dengan wanita itu lagi.
Aku tidak membalas perkataan Benedict. Aku hanya memberi pria itu kode dengan dagu agar segera menjabat tanganku yang sejak tadi masih menggantung di udara. Tanpa banyak berpikir panjang, menerima uluranku dan mengatakan, "Taruhan dimulai."
...
Jace Graves Point of View
Sekitar lima belas menit aku masih berada di dalam mobil yang sudah terparkir di drive way mansion. Berdiam diri dengan pandangan dan pikiran kosong sementara sebelah tanganku menggenggam sebuah amplop putih yang sudah robek pada bagian atas. Sekarang aku mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan diriku belakangan ini. Namun aku tidak mengerti apa yang harus ku lakukan ke depannya. Otak dan hatiku memiliki pendapat yang benar-benar berbeda.
"Jace!"
Suara itu terdengar bersamaan dengan sebuah ketukan beruntun. Aku mengerjap sebelum menoleh menatap keluar jendela dimana Jean sedikit membungkuk agar pandangannya sejajar. Dengan cepat aku memasukkan amplop ke dalam laci dasbor, mengambil tas tenteng, dan turun dari dalam mobil setelah Jean melangkah mundur untuk memberi ruang agar pintu dapat terbuka.
"Apa yang kau lakukan di dalam? " tanya Jean sambil mengangkat sebelah alis. Ia sedikit memiringkan kepala agar dapat melihat ke dalam mobil di belakangku.
Aku langsung menutup pintu mobil dan menguncinya. Aku menggeleng samar. "Hanya membaca laporan. Dan untuk masalah terusanku..."
Jean melipat tangan di depan d**a. "Aku sejak tadi menunggumu datang. Lama sekali." gerutunya. Kemudian pandangannya beralih pada terusanku yang terlihat basah. "Dan kenapa terusanmu terlihat kotor? Apa itu cokelat?"
Aku menundukkan kepala untuk melihat noda yang menempel. "Sudah ku katakan di telepon tadi bukan? Ada sedikit kekacauan." jawabku sebelum berlalu menuju mansion. "Jadi kenapa kau sangat tidak sabaran?"
Jean berusaha menyeimbangi langkahku yang biasa di katakan orang cukup cepat. Bahkan sekretarisku sendiri terkadang kesulitan mengibangi meskipun aku menggunakan sepatu hak tinggi. "Aku butuh bantuanmu."
Aku menghentikan langkah saat baru saja menginjakkan kaki di aula utama. Kuletakkan kunci mobil di dalam sebuah cangkang kerang berwarna merah muda yang indah di atas meja foyer sebelum membalikkan tubuh menghadap Jean. "Apa Sean menemuimu lagi?" tanyaku langsung dengan nada khawatir.
Jean menggeleng cepat. Ia terkekeh geli mendengar pertanyaaku. "Kau tenang saja, Sean tidak mungkin berani mendekatiku lagi. Kalau sampai ia benar-benar muncul. Aku yakin dia tahu konsekuensinya bukan lagi kau menutup usaha dari hasil menipuku. Mungkin penjara."
Aku menghela napas lega mendengar jawaban Jean. "Baiklah. Kalau begitu apa yang kau butuhkan?" tanyaku sambil menyibakkan rambut adikku ke belakang bahu.
"Sebentar lagi, perusahaan ayahmu berulang tahun yang ke lima puluh tahun bukan?"
Aku menganggukkan kepala. "Ya. Kau benar. Itulah mengapa aku hampir dua bulan ini sibuk. Aku harus menyiapkan banyak hal untuk acara itu." balasku jujur. Aku sendiri sebenarnya tidak tahu jawaban itu adalah jawaban jujur atau tidak, mengingat perayaan tersebut bukanlah alasan utama mengapa aku memilih untuk tinggal di sebuah Penthouse di dekat kantor ketimbang pulang ke mansion seperti sebelumnya.
"Kebetulan sekali, semester ini aku mempelajari MICE dan dosen memerintahkan kami untuk membuat suatu acara. Daripada membuat acara baru, apakah aku boleh berpartisipasi?" tanyanya dengan nada memohon di akhir.
Aku mengulum senyum di bibirku. Sepertinya memasukkan Jean ke jurusan perhotelan dan pariwisata adalah keputusan tepat yang diambil orang tua kami. Jean jauh menjadi gadis yang lebih bertanggung jawab dan mulai menghabiskan waktu untuk hal lebih penting meskipun terkadang sifat malasnya tidak tertolong mengingat dalam industri tersebut, perilaku adalah nomor satu. "Tentu saja boleh."
Jean melompat ke dalam pelukanku. Beruntung di belakang kami berdua ada meja yang menahan sehingga aku tidak jatuh kebelakang karena limbung. "Terima kasih!" serunya memenuhi mansion.
Aku meringis, berusaha menjauhkan Jean sebelum meneggakkan tubuh. "Jean, suaramu membuat telingaku sakit." komentarku.
"Maafkan aku. Aku terlalu senang." Jean mengatupkan bibir rapat sambil menahan senyum. Ia membuat gerakan mengunci di depan bibir sebelum melangkah mundur. "Aku akan membuatkan makanan kesukaanmu. berlari kecil menaiki anak tangga melingkar membuatku menggeleng tidak mengerti. "Bahkan anak kecil di toko buku tadi lebih cocok menjadi adikku ketimbang Jean." gumamku.
...
Aku baru melangkahkan kaki keluar dari dalam kamar mandi setelah membersihkan diri saat ponselku berdering. Sambil mengeratkan tali pengikat jubah mandi yang kukenakan, aku mengambil ponsel milikku di atas meja rias. Aku segera mengangkat panggilan itu setelah melihat nama sekretarisku tertera. "Ada apa?"
"Selamat malam, maaf mengganggu waktu anda." suara sekretarisku terdengar sungkan. Meskipun sudah bertahun-tahun bekerjasama. Wanita itu masih saja merasa tidak enak denganku.
Aku menarik kursi kayu berukir dengan warna senada dengan seluruh perabotan di dalam kamar. Kemudian aku duduk setelah melepaskan handuk yang membungkus rambut basahku dan meletakkannya di atas pangkuan. "Tidak masalah. Jadi, ada apa?" tanyaku.
"Saya sudah mengirimkan semua dokumen yang anda minta siang tadi. Sekaligus saya ingin mengingatkan jika besok akan ada pertemuan dengan Event Organizer pukul sepuluh pagi."
"Oh tentang pertemuan besok. Tolong tambahkan lagi satu kursi untuk Jean. Besok dia ikut denganku."
"Sudah saya catat. Apakah ada yang lainnya bu?"
"Tidak ada. Itu saja. Bagaimana denganmu? Apa ada yang ingin kau sampaikan lagi?"
"Tidak ada miss. Terima kasih atas waktunya."
"Baiklah, kalau begitu. Aku duluan." aku segera menutup panggilan secara sepihak dan meletakkan ponsel.
Lebih baik sekarang aku cepat bersiap, turun ke ruang makan sebelum Jean yang tidak sabaran itu berteriak ke penjuru mansion untuk memanggilku.
...