Jace Graves Point of View
Aku tidak pernah mengira Jean memasak untukku dengan tangannya sendiri. Aku sempat berpikir bahwa ia akan meminta bantuan pelayan atau hanya memanaskan hidangan yang masih tersisa dari makan malam sebelumnya. Meskipun hanya sebatas pasta carbonara namun aku menikmati dan makan dengan lahap sampai habis tidak bersisa.
"Apa kau mau lagi?" tawar Jean sambil menunjuk pasta miliknya yang masih tersisa dengan sebatas lirikan.
Aku menoleh menatapnya sebelum menggeleng kecil. "Tidak. Kau habiskan saja." jawabku singkat sebelum menambahkan sesuatu saat Jean hendak kembali menyantap pasta miliknya. "Bagaimana kuliahmu?"
Jean meletakkan garpu di sisi piring keramik, meneggakkan tubuh karena posisinya yang berdiri mencondongkan tubuh setengah bertumpu dan menyandar pada Kitchen Island. "Seperti biasa. Tidak ada yang menarik."
Aku terkekeh pelan mendengar jawaban itu. Aku turun dari kursi tinggi dan berjalan mengintari Jean sambil membawa piring kotor milikku. "Itu artinya kau masih belum menemukan sesuatu yang dapat dijadikan motivasi untuk belajar."
"Memangnya apa motivasimu saat kau masih berkuliah?" tanya Jean penasaran.
"Cukup banyak." jawabku singkat sambil mulai menyalakan pancuran air di bak pencucian pada bagian ujung sisi seberang Jean berdiri.
Jean menahan senyum dibibirnya sambil menatapku penuh arti. "Apa dia juga termasuk?"
Aku melirik Jean sekilas sebelum mulai beralih mencuci piring dan peralatan masak yang tadi digunakan Jean untuk membuat makan malam kami. "Kau boleh menyebut namanya, Jean." komentarku. "Aku tidak masalah."
"Siapa? Aku tidak ingat." balas Jean sambil pura-pura berpikir.
Aku yakin sekali dia masih ingat siapa nama pria yang sedang kami bahas. Namun aku tetap menjawab pertanyaan itu. "Jason."
"Oh ya Jason Sherwood." timpal Jean cepat dan terkekeh geli.
Aku menggelengkan kepala samar. "Bagaimana denganmu? Apa kau sedang dekat dengan seseorang?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku terlalu malas untuk membahas masalah mantan kekasihku. Lagipula hubunganku dengan Jason sudah berakhir empat tahun lalu. Entah mengapa Jean masih saja mengingat pria itu.
"Bagaimana caranya aku dekat dengan seorang kalau mereka takut mendekatiku?" Jean balik bertanya sambil mencebikkan bibir.
Aku mendongak menatap Jean dengahn kening berkerut. "Mereka takut padamu?" tanyaku. Aku tidak mengerti bagaimana bisa ada orang yang takut pada Jean sementara gadis itu terlihat jauh berbanding terbalik dari kata itu. Bahkan menurutku adikku itu jauh lebih mempesona dibandingkan diriku pada saat se-usianya.
Jean menggeleng kecil. "Bukan aku. Tapi kau." koreksinya sebelum menyuapkan sesendok pasta terakhirnya. "Kau yang membuat mereka takut padaku." tambahnya menggerutu.
Aku mengerutkan kening. "Aku?" tanyaku sambil menunjuk diri sendiri. "Apa hubungannya denganku?"
"Apakah kau ingat Sean?" tanya Jean. Ia melangkah mendekat dan meletakkan piring kotor miliknya ke dalam bak pencucian.
Aku mendengus pelan mendengar Jean menyebut nama itu. "Tentu aku ingat. Namanya sudah kumasukkan kedalam daftar hitamku karena sudah berselingkuh dan menyakitimu." jawabku serius sambil mematikan pancuran air. Kemudian aku mengambil tisu untuk mengeringkan tanganku dan memberi Jean ruang untuk bergantian mencuci.
"Masalahnya ada disini..." Jean menggantung kalimat untuk menariik napas panjang. "Mereka hanya tahu kalau kau tidak menyukai Sean sejak awal aku berhubungan dengannya. Jangan lupakan juga kau membuat bengkel otomotifnya di Brooklyn tutup."
Aku melipat tangan di depan d**a. "Mari kita luruskan..." gumamku singkat masih di dengar oleh Jean. "Bengkel itu dibuka oleh Sean dengan uangku. Secarah harafiah dia hanyalah salah satu karyawanku dan aku pemilik sebenarnya. Jadi untuk masalah aku mau menutup bengkel itu atau tidak semua bergantung diriku."
"Aku tahu. Tapi orang lain tidak tahu hal itu." jelas Jean. Ia mencebikkan bibirnya, lagi. "Aku jadi tidak tahu harus berterima kasih padamu atau tidak."
Aku memutar mata mendengar gumaman di akhir itu. "Kau tidak butuh memikirkan jawabannya. Tentu kau harus berterima kasih padaku. Aku berusaha melindungimu dari lelaki buaya darat seperti Sean." kataku. "Lagipula kalau lelaki di luar sana tidak berani mendekatimu hanya karena masalahku dengan Sean. Itu artinya mereka pengecut dan tidak pantas untukmu." tambahku dengan kesal.
"Kau bahkan lebih protektif kepadaku daripada siapapun di muka bumi ini." Jean melirikku sekilas sebelum melanjutkan aktifitas mencuci piringnya. "Pantas saja kau dijuluki ratu es."
"Ratu es?" tanyaku berusaha membenarkan apa yang kudengar baru saja.
"Kau begitu dingin dan tidak tersentuh bagi orang lain selain kami keluargamu. Terutama dalam berbisnis. Oh aku sampai mengira kau memiliki gangguan kepribadian."
Aku terdaiam selama beberapa detik memikirkan perkataan Jean. Kemudian aku mendengus geli. "Aku bersikap seperti itu untuk melindungi diri sendiri."
Jean menelengkan kepala. Ia mengerutkan kening samar. "Melindungi diri dari apa? Aku yakin ini tidak ada hubungannya dengan Jason mengingat kalian berdua memutuskan hubungan karena kesepakatan bersama agar dapat fokus dalam pendidikan dan karir."
Aku menjentikkan jari. "Seperti kata terakhirmu. Karir."
"Aku masih tidak mengerti..." Jean menggantung kalimat dan memandangku bingung.
"Kau pasti pernah dengar jika dunia bisnis adalah dunia yang kejam bukan?" tanyaku mencoba menjelaskan dan Jean hanya berdehem sebagai jawaban ia mengerti.
"Terkadang orang rela melakukan apapun bahkan dengan cara yang kotor bahkan sampai yang tidak pernah kau pikirkan. Sebelum orang-orang seperti itu mendekatiku. Aku memasang perisai pada diriku agar mereka semua mundur."
Jean menganggukkan kepala kecil. "Masuk akal." gumamnya. "Aku paham apa maksudmu."
Aku memberikan ulasan senyum simpul. "Kalau kau paham. Kalau begitu kau harus mempersiapkan diri untuk besok."
...
Aku memainkan pensil mekanik dalam genggamanku sambil mendengarkan penjelasan Jean mengenai konsep yang diinginkannya. Sepertinya gadis itu terlalu banyak menonton serial drama sampai-sampai ia memilih tema 'pesta topeng' dengan pertunjukan sirkus. Namun aku tidak berkomentar apapun karena menurutku idenya sangat bagus. Selama ini, acara pesta ulang tahun perusahaan ayah kandungku bisa dikatakan cukup membosankan meskipun selalu dihadiri banyak tamu dan kerap menarik perhatian publik. Hanya sebatas jamuan makan malam dengan beberapa hiburan seperti mengundandang penyanyi jazz ternama.
"Oh ya..." Jean memberi jeda membuat kami semua yang ada di dalam ruang rapat pagi ini mendongak menatapnya. "Sebelum masuk kedalam pembahasan lebih lanjut. Aku tahu aku memiliki batasan saat diijinkan untuk mengatur acara ini. Tapi apakah aku boleh berpendapat?"
Aku tahu pertanyaan itu diarahkan untukku. Aku mencondongkan tubuh dan meletakkan kedua tanganku diatas meja sebelum melipat telapak tangan seperti sedang berdoa. Kemudian mengangguk kecil sebagai tanda bahwa Jean boleh menyampaikan pendapatnya. "Tentu saja.Kau boleh berpendapat." kataku sebagai jawaban.
"Perusahaan ini memiliki tradisi ulang tahun dengan cara menggalang dana dan mendonasikannya pada lembaga sosial untuk disalurkan pada orang-orang yang membutuhkan. Aku akui tradisi itu sangat bagus dan aku sama sekali tidak berniat menghapus acara itu. Namun aku ingin membuat sedikit perubahan agar ulang tahun perusahaan yang ke lima puluh ini dapat berkesan dalam benak semua orang."
"Baiklah, apa yang sedang kau pikirkan?" tanyaku sambil berusaha membaca pikiran Jean dengan menatap gadis itu dengan pandangan menyipit.
Jean tersenyum simpul kepadaku sebelum mengedarkan pandangan. "Biasanya, perusahaan akan menggalang dana dengan mengambil sepuluh persen keuntungan. Lalu, membuat acara sebagai perayaan ulang tahun sekaligus sebagai perayaan simbolis jika kita sudah berdonasi. Namun, bagaimana jika kita juga mendorong agar para tamu yang hadir juga ikut berdonasi? Secara, hampir sembilan puluh persen tamu yang datang memiliki banyak sekali uang bukan?"
"Bagaimana caranya?" tanya Elleanor mewakili apa yang ada di dalam benakku.
"Kita bisa membuat pameran karya seni dari seniman d*********s lalu melelangnya sebelum acara perjamuan atau mungkin sebelum berdansa. Jadi donasi yang diberikan tahun ini bisa menjangkau lebih banyak lagi orang-orang yang membutuhkan."
Sementara lainnya mengangguk menyetujui pendapat Jean. Aku masih terdiam mencoba berpikir. "Tunggu dulu..."
Senyuman mengembang di bibir Jean kian memudar saat mendengar sergahanku. "Ada apa?" tanyanya dengan nada panik. "Apakah kau tidak menyukai ide itu?"
Aku menyandarkan diri dan melipat tangannku didepan d**a. "Aku sangat setuju dengan idemu itu. Namun aku masih belum menemukan maksud dari perkataanmu mengenai 'acara berkesan dan berbeda dari tahun sebelumnya'. Bagiku masih terasa sama. Hanya kali ini uang yang terkumpul akan sangat banyak." komentarku.
Jean menghela napasnya. Ia mengelus d**a dan menggeleng samar. "Astaga aku pikir kau tidak setuju." gumamnya masih dapat kudengar meskipun ia berdiri di sebrang meja rapat yang cukup panjang.
Aku menelengkan kepalaku dan mengangkat sudut bibir mendengar itu. "Jadi apa yang akan kau lakukan agar acara ini berbeda, berkesan bahkan sampai selalu dikenang banyak orang?"
"Baiklah..." Jean menggantung kalimat. Ia menatapku sambil tersenyum penuh arti. "Aku ingin kau langsung turun ke lapangan saat donasi itu disalurkan." jawabnya dengan nada mantap. "Tidak hanya kau. Tapi aku, mama, papa, bahkan kalau perlu seluruh keluarga kita."
Aku mengerjap beberapa kali. "Maksudmu, kita sekeluarga langsung mendatangi panti asuhan?" tanyaku.
"Ya. Kau tidak salah degar. Panti asuhan. Untuk yayasan lainnya seperti panti jompo kita bisa menyuruh perwakilan dari setiap kantor cabang untuk juga ikut turun tangan langsung." Jean mulai kembali tersenyum. Kali ini aku bisa melihat dengan jelas jejak licik di senyuman itu. "Anggap saja aku sedang berusaha melelehkan ratu es. Atau kalau tidak, anggap saja aku sedang melatihmu untuk bersosialisasi."
Aku kembali terdiam membuat semua orang menoleh menatapku sebelum serempak menundukkan kepala saat aku balas balik menatap mereka. Sementara Jean dan Elleanor menahan senyum seolah mengerti alasan mengapa aku terdiam. Mereka berdua tahu jika aku tidak menyukai anak kecil dan tidak menyukai keramaian. Bahkan saat ada acara perayaan seperti ulang tahun perusahaan, ulang tahun salah satu anggota keluarga, atau beberapa acara yang wajib ku hadiri, aku hanya datang untuk sekedar absen lalu pulang.
Meskipun begitu, aku masih punya hati untuk melakukan kebaikan dengan berbagi. Namun selama ini aku hanya menyuruh Elleanor untuk mendonasikan uang baik itu dengan transfer atau menuliskan cek sebelum diantar ke panti. Jelas aku tidak mengira Jean menyuruhku untuk langsung turun tangan.
"Akan kupikirkan." jawabku singkat. Namun sejujurnya ada alasan lain mengapa aku ragu untuk menerima permintaan Jean. "Apa ada lagi yang ingin kau sampaikan?" tanyaku mencoba mengalihkan topik sambil membalikkan lembaran laporan di hadapanku.
Jean menggeleng kecil. "Tidak ada" jawabnya singkat.
"Kalau begitu masuk kedalam pembahasan selanjutnya."
"Kalau begitu, aku ingin membahas terlebih dahulu mengenai bintang tamu. Menurutku mereka juga cukup penting dan berkaitan erat dengan konsep dan ide kita, terutama pada penggalangan dana. Mereka mungkin juga bisa diajak untuk ikut berdonasi. Apakah ada saran?" tanya Jean sambil mengedarkan pandangan ke semua orang.
Aku tidak begitu mendengarkan mereka mulai menyebut nama-nama orang yang sekiranya berpotensi menjadi bintang tamu acara perayaan itu dan mulai mencoret-coret kertas. Sejujurnya aku tidak tahu menahu siapa yang sedang mereka sebut. Boleh dikatakan seleraku dalam kaitannya dengan industri hiburan untuk wanita seusiaku cukup aneh. Disaat semua menyukai lagu pop, aku lebih menyukai musik klasik. Disaat semua orang menganggumi penyanyi dan aktor tampan, aku lebih menganggumi Elon Musk, Bill Gates, dan pendiri merek ternama di dunia ini.
"Bagaimana dengan Alexander Harper?"
Tanganku langsung terhenti ketika mendengar nama itu. "Harper?" gumamku tanpa sadar menginterupsi pembahasan mereka. Aku yakin aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Namun aku tidak begitu mengingat jelas dimana aku pernah mendengar nama itu.
"Ada apa Jace?" tanya Jean penasaran.
Aku meletakkan pensil mekanik yang sejak tadi masih kugenggam, mendongak mengedarkan pandangan. "Siapa yang baru saja menyebut nama Harper?"
Jean menoleh menatap pria yang duduk berjarak tiga kursi dariku. Sementara pria itu menatap Jean dan menatapku bergantian sambil mengangkat tangan takut-takut. "Saya.".
"Bisakah kau mengulangi nama yang kau sebut tadi?" tanyaku was-was. Entah mengapa perasaanku mendadak menjadi tidak enak.
"Alexander Harper?" pria itu menjawab dengan pertanyaan ketimbang pernyataan. Namun aku tidak peduli. Jawaban itu cukup membuatku dengan cepat mengambil ponsel diatas meja untuk menelusuri safari dan mengetikkan nama itu.
Detik berikutnya, aku mendengus saat melihat layar ponselku menampilkan data pria bernama Alexander Harper itu di Wikipedia. Sekarang aku tahu mengapa pria menyebalkan dari toko buku itu sangat percaya diri dan selalu mengajukan pertanyaan mengganggu. "Dia seorang pop-superstar."
...