Hanya Nomor Telepon

1576 Kata
Jace Graves Point of View Aku meminta Jean untuk datang ke kantor setelah jam makan siang untuk memberi laporan dari hasil pertemuan dengan Event Organizer kemarin. Meskipun aku dapat meminta Elleanor untuk menyampaikan semuanya, namun aku lebih tertarik mendengar dari adikku sendiri dan melihat langsung bagaimana perkembangan dirinya.  "Jadi sudah sampai mana?" tanyaku saat baru saja duduk di sofa sementara Jean masih mengeluarkan dokumen-dokumen dari dalam sebuah map plastik di seberang. "Untuk konsep tidak ada perubahan. Masih sama seperti terakhir kali kita bahas bersama dengan event organizer termasuk bintang tamu..." Jean sengaja menggantung kalimatnya sambil melirik kearahku. Aku paham apa maksud Jean. Aku menelengkan kepala. "Jangan mulai." peringatku.  Jean menurunkan sedikit kertas yang saat ini digenggamnya. Ia menatapku heran. "Sebenarnya kenapa kau tidak menyukai Alex?"  "Percuma saja aku memperingati gadis ini." gumamku pelan sebelum merubah ekspresi dengan ulasan senyum terpaksa. "Aku terlalu malas membahas masalah ini." "Aku tidak akan membahas ini kalau kau tidak kekeuh menolakku untuk mengundangnya. Setidaknya beri aku satu alasan yang jelas." balasnya masih berusaha untuk membuatku membuka suara.  "Tapi pada akhirnya aku tidak menolak bukan?" Jean memutar mata mendengar pertanyaanku. "Ya. Setelah aku memaksamu." jawabnya cepat. Ia berpindah duduk ke sisiku, sedikit mencondongkan tubuh dan menatapku dengan mata memicing.  "Aku serius, Jace. Aku ingin tahu kenapa kau tidak menyukainya? Sementara aku tahu kau jarang sekali tidak menyukai orang. Bahkan meskipun kau tidak menyukai orang, kau pasti akan menyembunyikan emosimu dan berusaha bersikap tenang. Tapi kali ini?  Kau bahkan langsung mengutarakannya didepan semua orang pada saat rapat pertama." Aku menoleh menatap Jean yang memberikan tatapan memohon. Aku menghela napas sambil sedikit mendorong kening gadis itu dengan telunjuk. "Aku hanya tidak menyukainya." Jean mengerjap beberapa kali. "Kau hanya tidak menyukainya? Kenapa kau hanya tidak menyukainya? Apakah kau mengenalnya dekat?" tanyanya beruntun dengan histeris. "Dan tidak memberitahuku?" tambahnya berseru. Aku mengangkat sebelah bahuku. "Tidak bisa dikatakan mengenal karena aku hanya bertemu dengannya dua kali secara kebetulan." jawabku. "Sejujurnya tidak ada alasan jelas mengapa aku tidak menyukai pria itu. Mungkin hanya sebatas karena sifat pria itu sedikit menggangguku." "Dimana kalian berdua bertemu?" "Di Wyatt dan Skyline." jawabku acuh sambil mengambil beberapa lembar kertas di atas meja dan mulai membaca tulisan secara acak meskipun aku sendiri sedang tidak fokus karena berusaha menghindari percakapan ini. Jean menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Dunia sangat sempit." "Selain dunia sangat sempit. Kita juga punya waktu yang sangat sempit." tambahku mengingatkan pada Jean agar kembali ke pembahasan mengenai acara. Jean meringis pelan dan berpindah duduk ke tempat semula. Ia mulai mengambil iPad diatas meja. "Pertemuan kemarin, kami membicarakan venue dan dekorasi. Pertama mengenai venue..." ia memberi jeda saat sedang mencari-cari sesuatu di dalam iPad sambi melanjutkan kalimatnya. "Karena perusahaan didirikan tepat bersamaan dengan hari ulang tahun ayahmu. Jadi aku memilih acara akan diadakan di halaman mansion kediaman kakek dan nenek." Kemudian Jean menyodorkan iPad yang digenggamnya kepadaku.  "Apa kau sudah bertanya apakah mereka tidak keberatan?" tanyaku memastikan mengingat acara tahun ini sangat besar sehingga aku takut membuat mereka terganggu. Jean mengangguk kecil. "Aku sudah bertanya dan mereka setuju." "Baiklah kalau begitu... Ini sudah memasuki bulan kedua sebaiknya kau perhatikan persiapan detil lainnya seperti katering, sound dan lightning, terutama jadwal." kataku sambil mengembalikan iPad kepada Jean. Jean berdehem pelan sebelum menerima pemberianku. Ia dengan mantap menjawab, "Semuanya masih dalam proses." "Jangan lupa juga untuk selalu bertanya pada Elleanor kalau kau tidak mengerti." "Kau tenang saja. Aku selalu bertanya pada sekretarismu itu sebelum aku bertindak atau membuat keputusan." Aku mengangguk samar. "Baguslah." kataku. Aku bangkit berdiri dan merapikan sedikit penampilanku. Terutama pada bagian ujung kemeja yang sedikit terlipat karena posisi duduk. "Kalau begitu sudah tidak ada lagi yang dibahas bukan? Aku akan mengantarmu pulang." Jean yang sedang membereskan berkas diatas meja dan memasukannya kembali ke dalam map kini mendongak menatapku. Ia menggeleng dengan cepat. "Tidak perlu!" Aku setengah menoleh kebelakang saat mendengar tolakan itu. Kemudian membalikkan tubuh menghadap kembali pada Jean dan menelengkan kepala. "Aku juga ingin pulang. Jadi sekalian saja agar supir tidak perlu kembali menjemputmu lagi." Jean terdiam beberapa saat sambil mengatupkan bibirnya rapat seolah ingin menyampaikan sesuatu namun ia tidak berani. "Ada apa?" tebakku. "Sebenarnya..." Jean menggantung kalimat. Ia meringis pelan. "Aku masih perlu mengurus beberapa hal mengenai acara. Jadi kau pulang saja terlebih dahulu." Aku terdiam tanpa mengalihkan pandangan dari Jean. "Kalau begitu, aku akan menghubungi supir untuk mengantarmu." kataku. Aku hendak menekan tombol interkom dan Jean yang bergerak lebih cepat langsung menangkupkan kedua telapaknya di atas telepon kabel itu. "Aku dijemput seseorang. Jadi, kau tidak perlu menghubungi supir." jawabnya dalam satu tarikan napas.  "Siapa?" tanyaku dengan mode protektif. Jean berdehem pelan. Ia melepaskan kedua tangannya perlahan saat aku mulai menjauhkan diri dari meja. "Seseorang pria." Kali ini mataku memicing dan tanganku terlipat dengan d**a. "Dan siapa nama pria itu?" Jean menggigit bibir bawahnya sebelum mengusap tengkuk. "Aku tidak bisa memberitahumu." katanya pelan. "Kau tenang saja, ini hanya sebatas pekerjaan. Aku juga tidak menyukainya." "Apa maksudmu dengan 'aku juga tidak menyukainya'?" kedengarannya seolah aku mengetahui siapa pria itu dan aku tidak menyukainya sehingga Jean berkata seperti itu. "Apakah kau diam-diam bertemu dengan Sean?" Jean menggeleng cepat dan membuat tanda silang di depan d**a. "Aku sudah tidak ada hubungan apapun dengan Sean." Aku tidak mengatakan apapun. Hanya sebatas mengangkat sebelah alis sebagai tanda bahwa aku masih menunggu jawaban dari Jean yang lebih jelas. Jean baru saja membuka suara hendak mengeluarkan sepatah kata saat perbincangan kami berdua terpotong oleh seorang pria melangkah masuk ke dalam ruangan. "Hei ladies!" Saat itu aku memejamkan mataku beberapa detik. Aku menghela napas cukup panjang sebelum menolehkan kepala kepada pria itu. "Kenapa kau bisa ada disini?" tanyaku dengan nada penuh penekanan.  Pria itu melangkah mendekat sambil menyeringai kearahku. "Bertemu denganmu." jawabnya saat sudah berdiri di hadapanku di sisi Jean. Aku melipat tanganku di depan d**a. "Sepertinya kau kehabisan pekerjaan sampai-sampai kemari hanya untuk bertemu dengan orang yang tidak kau kenal?" "Pertama. Aku datang untuk bertemu denganmu karena aku mendapatkan pekerjaan darimu." jawabnya cepat dengan nada santai. "Dan kedua, aku mengenalmu. Jace Beverly Reid-Graves." tambahnya mengkoreksi perkataanku tadi. Aku mendengus pelan dan menggeleng cepat. "Pertama. Asal kau tahu. Aku tidak mempekerjakanmu dan sejujurnya aku tidak akan pernah mempekerjakanmu jika bukan adikku yang meminta. Kedua. Meskipun kau tahu siapa namaku bukan berarti kau mengenalku. Dan ketiga, aku tidak tahu mengapa kau bisa kemari. Namun yang pasti, saat ini kau masih belum dibutuhkan. Jadi kesimpulannya, kau boleh pergi sekarang." jelasku panjang lebar sambil memberikan senyuman palsu.  Pria itu terdiam selama beberapa detik tanpa melepaskan tatapannya dariku. Ia tersenyum penuh arti membuatku ingin sekali melemparkan sesuatu tanpa memperdulikkan apakah wajah tampan itu akan terluka atau tidak. Kemudian ia menoleh menatap Jean sambil setengah berbisik. "Jean. Turunlah terlebih dahulu, temui Ben dan tunggulah di mobil." katanya.  Saat itu aku baru memahami apa yang sebenarnya terjadi disini. Aku memberikan Jean tatapan meminta penjelasan. "Jadi pria yang kau maksud itu dia?" Jean menoleh menatapku sambil meringis pelan. Ia seperti bimbang antara merasa bersalah padaku dan juga merasa bahwa ia harus bertanggung jawab atas pekerjaannya. "Itulah mengapa aku tidak memberitahumu." katanya pelan. "Aku janji akan pulang secepatnya setelah pertemuan itu selesai dan kau boleh mengirim supir untuk menjemputku." Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Aku hanya bisa mengepalkan tanganku yang ada disisi tubuhku untuk menahan diri. Sementara Jean melirikku sekilas sebelum melambaikkan tangan dan melangkah keluar dari dalam ruanganku dengan sungkan. "Kau tenang saja, akan kupastikan ia baik-baik saja."  Dengan cepat aku menoleh menatap pria itu dengan tatapan tajam. "Aku tidak percaya padamu." kataku. Aku mulai membereskan barang-barangku dan memasukannya kedalam tas sebelum menentengnya dan berlalu keluar dari ruangan. "Kau mau pergi kemana?" Aku langsung mengambil satu langkah untuk mundur saat pria itu menghalangi pintu dengan menyandarkan sebelah tangan pada kusen. Aku memberikan tatapan malas. "Mengapa kau selalu melakukan ini padaku?" "Melakukan apa?" pria itu balik bertanya dengan nada pura-pura tidak mengerti sambil menahan senyum di ujung bibirnya. Sudah tidak terhitung berapa kali aku menghela napas sampai detik ini. Aku yakin ada sesuatu yang diinginkan pria itu. Kalau tidak ada yang diinginkan. Bisa kupastikan pria itu sudah mengikuti Jean keluar saat ini. "Apa maumu?" tanyaku langsung. Mendengar pertanyaanku, senyuman pria itu semakin mengembang lebar. Ia mengambil ponselnya dari dalam saku belakang celana jin hitam yang dikenakannya. Kemudian ia menyodorkan benda itu kearahku. "Nomor ponselmu." jawabnya. Aku melirik kearah ponselnya sekilas dan memaksakan seulas senyuman sebelum mengalihkan pandanganku kembali kepada pria itu. "Aku tidak bisa memberikan nomorku padamu. Jadi apa ada yang lain?" Pria itu menggeleng cepat. "Sayangnya masih belum ada hal lain yang kuinginkan darimu selain nomor ponsel." jawabnya. Kemudian dengan cepat ia menarik ponselnya sambil berkata. "Dan apa kau yakin tidak ingin memberiku nomor ponselmu? Jarang-jarang aku memberikan penawaran menarik seperti ini pada wanita." "Tidak, terima kasih. Jadi sekarang pergilah karena Jean menunggumu dibawah." kataku sambil membuat gerakan mengusir. "Baiklah kalau kau tidak mau memberiku nomor ponselmu secara langsung. Aku bisa memintanya dari sekretarismu atau mungkin Je-" "Berhenti!" sergahku. Lebih baik pria itu mendapatkan apa yang diinginkannya dariku sendiri ketimbang dari Jean. Aku tidak ingin kekesalanku terlampiaskan pada adikku nantinya. Dengan terpaksa aku mengetikan nomor ponselku di dalam ponselnya. "Kau boleh menuliskan namamu dengan 'Love', 'Sweety', atau mungkin 'Honey'. Apapaun yang kau in-" "Ini!" kataku memotong sambil menyodorkan ponsel dengan sedikit kasar dan setengah mendorong pria itu. "Sekarang pergilah. Kau sudah mendapatkan nomor ponselku."  Pria itu menimang ponselnya sesaat sebelum memasukan kedalam saku celananya sambil tersenyum penuh kemenangan. Ia mendorong pintu yang sejak tadi ditahannya sambil dengan sengaja mencondongkan tubuh ke arahku. Kemudian ia berbisik tepat di dekat telingaku. "Aku akan menghubungimu." ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN