Prolog
Di sebuah lorong yang sepi dan dingin, Keysa menarik koper besarnya seorang diri. Bunyi roda dan pijakan sepatunya menimbulkan gema halus yang menelusup masuk ke telinganya. Gadis itu berhenti di sebuah pintu nomor lima, lantai tiga. Kembali melihat kartu di tangannya. Mencocokkan kembali dengan nomor dan lantai kamar. Sudah benar, ia berada tepat di pintu sewanya. Keysa lantas membuka pintu abu-abu itu dengan menggunakan keycard. Setelah pintu berhasil terbuka, aroma lemon segar langsung menyambut kedatangannya.
Keysa kembali menggeret kopernya, tak lupa dengan menutup kembali pintu itu. Sepasang matanya yang bulat menyapu ruangan pertama, cukup luas. Di mana ada satu set sofa bewarna abu-abu, dengan tiga bantal sofa bewarna putih tulang. Dilengkapi dengan meja persegi panjang bewarna putih, senada dengan cat dindingnya. Televisi hitam tipis berukuran 40 inci terletak pada meja beralas cokelat kayu di seberang sofa.
Keysa meletakkan sepatu kets hitamnya pada rak di belakang pintu. Tak lupa dengan menghidupkan saklar lampu agar ruangan terlihat lebih terang. Keningnya sedikit berlipat kala menangkap sekelebat bayangan hitam yang bergerak cepat di tengah ruangan. Sepasang mata bulat Keysa mengerjap, mengejar bayangan itu yang pergi entah ke mana. Keysa mengembuskan napas pendek. Memejamkan mata sejenak. Padahal, ia tadi sudah cukup lega karena tidak melihat apapun di sini. Namun, kepalanya menggeleng kecil. Mencoba berpikir positif, mungkin saja itu adalah kiasan lampu yang baru saja ia hidupkan.
Keysa menarik kembali kopernya. Ia tak langsung menuju kamar. Melainkan lebih memilih untuk keliling sebentar, menelisik setiap sudut kamar apartemennya. Di sebelah pintu masuk yang terbatasi dinding putih, tersedia dapur yang bersih dan tidak begitu luas. Keysa berdiri tepat di sebelah kulkas satu pintu yang tingginya hampir menyamai tubuhnya. Di sisi dapur ada satu pintu lagi. Keysa membukanya, dan ternyata lorong cukup panjang dengan atap yang terlapisi fiber. Kepala Keysa mengangguk mengerti, dan dapat menyimpulkan ruangan itu adalah tempat untuk meletakkan jemurannya.
Keysa berdiam sejenak kala merasakan remang yang menyergap tengkuknya. Membuat bulu kuduknya seketika berdiri. Menutup kembali pintu itu dengan pelan, lantas berbalik. Netra hitamnya bergerak ke segala arah. Napas lelah keluar dari bibirnya yang tak terpoles lipstik. Oke, sepertinya ia harus segera membersihkan diri lalu istirahat.
Keysa menarik kopernya melewati meja makan dan pintu yang ia yakini adalah kamar mandi. Terus menggeret kopernya menuju kamar yang letaknya tak jauh dari kamar mandi. Begitu membuka pintu dan menghidupkan lampu, hawa pengap nan suram menyambut kedatangannya. Bola mata Keysa langsung bergerak cepat melihat seluruh penjuru kamarnya. Jantungnya sedikit berdebar-debar. Keysa menghampiri lemari dua pintu bewarna cokelat muda untuk mulai menata semua pakiannya. Selepas itu, ia menyikap gorden putih yang menutupi sebuah kaca besar, menyuguhkan pemandangan ratusan atap bangunan di bawahnya. Beralih menyalakan pendingin ruangan. Entah mengapa, suhu kamarnya tiba-tiba terasa panas. Kemudian ia beranjak keluar, mengambil handuk dan beberapa peralatan mandi. Gadis itu memang membutuhkan sentuhan air panas untuk menghilangkan penat di tubuhnya.
Tiga puluh menit kemudian, Keysa keluar dari kamar mandi dengan kaus oblong merah muda dipadu dengan kulot panjang. Handuk kuning masih tersampir di punggungnya, menghalau rambutnya yang masih basah agar tidak mengenai bajunya. Sepasang kakinya yang mengenakan sandal tipis itu kembali melangkah masuk ke dalam kamar. Menghantam punggungnya di atas kasur yang empuk dengan seprai putih sebagai alasnya. Napasnya bekerja ringan sembari menatap langit-langit kamarnya.
Keysa menghela napas. Dirinya sangat beruntung bisa tinggal di apartemen selama kuliah di Bandung. Namun, yang membuat ia lebih beruntung ialah, apartemen delapan lantai ini milik pamannya sendiri. Dirinya mendapat biaya sewa yang harganya setara dengan kos kelas menengah. Sungguh potongan harga yang sangat fantatis! Dan yang terpenting pula, letak apartemen ini tak jauh dari kampusnya. Cukup dengan berjalan kaki, atau jika malas, ia bisa menyewa sepeda kayuh di lantai bawah.
Mulut Keysa mulai menguap. Kedua tangannya terangkat untuk merengganggkan otot-ototnya yang terasa pegal. Sepasang matanya mulai terkatup dan siap untuk tidur. Namun, tiba-tiba saja, telinganya bergerak pelan saat menangkap suara yang mirip seperti gumaman. Keysa kali ini kembali memilih tidak peduli, dan berniat melanjutkan niat untuk tidur. Akan tetapi, kedua matanya langsung terbuka sempurna saat gumaman itu berbubah menjadi suara orang yang tengah tertawa.
Keysa mengangkat tubuhnya, mengubah posisi untuk duduk besila. Entah mengapa rasa kantuknya lenyap begitu saja. Tergantikan dengan hawa dingin yang menyergap tengkuk dan kepalanya. Keysa mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Jantungnya tiba-tiba bekerja lebih cepat. Sekelebat bayangan melintas di ujung matanya dan berhenti di sisi lemari. Detik itu juga, punggung Keysa tersentak ke belakang. Napasnya tercekat. Keringat dingin langsung menghantam kepala dan telapak tangannya yang mulai bergetar. Bibir Keysa tertutup rapat-rapat. Kedua matanya membulat sempurna saat seorang wanita dengan rambut pirang yang tergelung ke atas, menyisakan sedikit poni di masing-masing sisi, tiba-tiba saja berdiri di ujung sana. Tatapan wanita itu menyorot tajam. Namun yang membuat jantung Keysa berpacu lebih cepat ialah, seringai yang mengerikan dari bibir wanita itu.
"Kau bisa melihatku?"
Keysa pura-pura tidak mendengar. Ia masih mencerna apa yang dia lihat. Masih berpikir positif. Mungkin saja wanita itu salah satu petugas apartemennya untuk membatu bersih-bersih. Tetapi, sejak kapan wanita itu dapat masuk ke kamarnya? Dan juga ... seingatnya aturan di apartemen ini, kebersihan seluruh kamar dan ruangan ditanggung penyewa kamar. Tidak akan ada pegawai yang datang jika ia tidak memintanya.
Tapi, tunggu dulu. Jika ditelisik lebih lanjut, wanita di hadapannya itu mengenakan pakakaian yang jarang sekali ia jumpai di era ini. Gaun putih panjang, berlengan pendek, dengan renda apik di area d**a hingga bahu. Wanita itu menggunakan gaun putih yang menjuntai anggun dan sedikit ber-volume di bagian, pinggang hingga kaki. Bahkan, ujung kakinya tak nampak akibat panjangnya gaun itu. Tapi tunggu dulu, Keysa sedikit menyipitkan matanya melihat ujung gaun sosok itu. Netra matanya langsung melebar saat tahu jika wanita itu melayang enam senti meter dari lantai. Jantung keysa kian berdegup kencang. Dapat dipastikan, jika wanita di hadapannya itu bukan manusia.
Keysa dengan cepat menolehkan kepalanya menuju tempat lain. Pura-pura tidak peduli dan tidak melihat sosok itu.
"Aku yakin kamu tidak buta dan tuli."
Suara itu muncul lagi. Keysa mencoba mengalihkn perhatian dengan menata bantal-bantal di atas kasur, lantas merebahkan diri di sana. Menarik selimut untuk kembali tidur. Namun, tubuhnya seketika terpelonjak kaget kala wanita itu tiba-tiba telah berada tepat di hadapannya. Jantung Keysa bahkan seperti berhenti berdetak sesaat. Napasnya tertahan di kerongkongan. Keysa langsung melotot marah, sementara sosok itu menyeringai puas
"Siapa kamu? Jangan ganggu aku! Aku mau tidur!" Keysa membentak. Membuat sosok itu memandangnya marah. Mengubah raut wajahnya menjadi datar dan penuh ancaman. Keysa sedikit bergidik takut melihat tatapan itu. Terlebih mulut wanita itu kini menyeringai lebar, yang panjang bibirnya seakan sampai ke bawah telinga. Keysa cepat-cepat menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Ia berusaha keras menutup matanya untuk tidur. Namun sialnya, kedua matanya kembali terbuka sempurna saat suara dingin nan halus merayap masuk ke dalam telinganya.
"Aku Elena. Dan aku, mati di sini."