KABAR pernikahan Max dan Radha menghebohkan kalangan sosialita kelas menengah keatas. Bagaimana tidak, kebanyakan dari mereka tahu bagaimana si bungsu dari keluarga Brathawidjaya yang jarang berkumpul dengan lingkar sosialita dan bisnis itu akan kecil kemungkinannya mengenal Max, tetapi mengapa mereka bisa menikah?
Berbagai spekulasi mengalir, ada yang bilang Radha dan Max terlibat one night stand sehingga gadis itu telah hamil yang menyebabkan Max harus segera menikahinya, ada yang bilang bahwa Radha mengguna-gunai Max, ada yang bilang bahwa Radha menjebak Max untuk menghamilinya dan sebagainya.
Radha memijat pelipisnya yang terasa sakit mendengar laporan dari Viona, gadis itu menjelaskan segalanya dengan detail dalam percakapan skype mereka.
["Are you okay, Radha?"]
Radha melengos pelan. "You can read it through my face, Viona."
Viona memberikan senyuman kakunya. ["It's okay. Nanti juga gossip itu bakal pergi dengan sendirinya, mungkin karena Max itu pria terakhir dari top 3 CEO tampan, muda, dan kaya yang selalu diagung-agungkan para kaum hawa makanya mereka jadi shock banget pas denger doi mau nikah."] Viona memberi jeda sejenak. ["Apalagi sama lo yang jarang bergaul sama kaum begituan."]
Radha meringis mendengar penambahan dari perkataan Viona. "Gue anggap itu compliment buat gue."
Viona menggelengkan kepalanya. ["Keep strong sis. Lo masih punya gue, Layla, Reagan, dan back up keluarga lo ini. Sejujurnya gue kaget sih sama perbuatan abang lo itu, such a big shame. Ngorbanin adik sendiri atas perbuatan yang dia lakuin."] Viona mendesah pelan. ["Tapi Tuhan itu adil, abang lo boleh ganteng banget dan dikejar banyak cewek juga diluar sana tapi sayang, otaknya kurang encer."]
"Hmm, gitu deh."
Melihat respons Radha yang seadanya, Viona diam-diam menyimpan rasa simpati yang mendalam terhadap sahabatnya. Mau seganteng, sekaya, sesempurna apapun seorang pria, kalau ia tidak menyimpan perasaan untuk pria itu, ia tidak mau menghabiskan sisa hidupnya dengan pria itu. Tetapi Radha melakukan ini semua demi menyelamatkan keluarganya.
["Yaudah kalau gitu udahan dulu ya, gue masih mau ngehunting tempat makan baru sama teman-teman food blogger gue yang lain."]
"Hmm. Have fun Na." Radha memaksakan seulas senyuman tipis supaya sahabatnya itu tidak terlalu mengkhawatirkannya lagi.
Setelah sambungan skype terputus, Radha menghempaskan tubuhnya keatas kasur. Ia menatap langit-langit kamarnya dan merasa rasa iri menyelinap ke dalam hatinya, sebentar lagi ia akan menikah dan tidak bisa hidup bebas seperti ketiga sahabatnya yang lain. Viona yang memiliki usaha kafe dan food blogger sukses, Layla yang menjadi DJ dan bebas kelayapan kemana saja, dan Reagan yang bebas memilih orang yang ia cintai.
Tapi ini adalah jalan yang Radha pilih. Ia tidak boleh menyesal. Hal yang mampu menutup segala kekecewaan di dalam dirinya hanyalah dengan kebahagiaan orang tuanya. Dan bagi Radha harga itu sepadan dengan pengorbanan yang ia lakukan.
***
Sementara itu di pihak lain, Max tertawa dingin mendengar laporan yang dibacakan Sylvia mengenai respons dari kalangan borjuis mengenai pernikahannya, terutama orang-orang yang menyebarkan gossip buruk mengenai pernikahannya.
"Mulut para wanita itu benar-benar murahan," komentar Max dingin.
Sylvia tidak mengucapkan sepatah kata apapun, ia hanya menyimak Max yang melanjutkan perkataannya. "Para pria menggunakan kekuatan fisik mereka sementara wanitanya menggunakan kekuatan verbal, pasangan-pasangan yang serasi."
"Untuk para nyonya, nona muda, dan p*****r kelas atas yang menyebarkan gossip seperti itu... Apa tindakan yang perlu kami lakukan, pak?" Tanya Sylvia hati-hati.
"Biarkan saja," Max menyandarkan tubuhnya ke bantalan empuk yang berada di belakang punggungnya, "jangan merendahkan martabat kita dengan melumuri tangan ktia sendiri untuk berurusan dengan mereka."
"Saya mengerti pak." Sylvia menunduk patuh.
Max mengetukkan bolpoin yang tengah ia genggam. "Selanjutnya?"
Mengerti apa yang dimaksud Max, Sylvia mengangkat wajahnya kembali. "Nyonya Selina marah besar karena mengetahui ini dari orang lain, bukan dari mulut bapak sendiri. Beliau memanggil bapak untuk segera pulang ke rumah utama dan berdiskusi dengan Nyonya Letta, Nyonya Ann, dan Tuan Rudolf."
"Wanita tua itu masih memiliki energy untuk meributkan hal sekecil ini," komentar Max tenang. "Reaksi ketiganya?"
"Nyonya Letta tampak tenang. Nyonya Ann berusaha meyakinkan Nyonya Selina dengan berada di pihak anda. Dan Tuan Rudolf berusaha menenangkan Nyonya Selina dengan memberikan hadiah sebagai hiburan."
"Beritahu mereka kalau aku akan datang setelah jam makan malam jadi mereka tidak perlu menungguku untuk makan malam bersama."
"Baik pak." Sylvia menganggukkan kepalanya kemudian pergi dari ruangan Max.
Max menyunggingkan senyum dinginnya, ia sudah memperkirakan semuanya.
***
Max datang tepat setelah para pelayan membawa tumpukan piring kotor menuju dapur. Langkahnya tampak santai dan teratur, wajah tampan pria itu tidak menunjukkan ekspresi apapun—hanya ekspresi datar seperti biasa yang ia tunjukkan kepada semua orang. Ia melihat anggota keluarganya berkumpul disana dan menyapa mereka satu persatu, "Selamat malam oma, mom, Tante Ann dan Om Rudolf."
Seorang wanita yang kurang lebih berusia 80 tahun melirik Max dengan setengah hati, ia memperbaiki posisi kacamatanya lalu mengelap sudut bibirnya dengan sapu tangan. "Duduklah cucuku. Kamu tentu sudah tahu apa yang akan oma bicarakan, bukan?"
Max duduk di kursi yang disediakan tepat di sisi kanan Selina, ia duduk disamping Ann dan diseberang Letta serta Rudolf. Ann tersenyum lembut kearah Max seraya memberikan sepotong kue kepada pria itu, "Makanlah. Tadi tante baru membuatnya dari rumah untuk oma kamu, karena kamu tidak ikut makan malam jadi tante sisakan untukmu."
Max tersenyum sopan tetapi tidak meraih kue tersebut. "Terima kasih tante." Ia mengarahkan pandangannya kearah Selina, menunggu wanita tua itu berbicara.
"Mengapa kamu tiba-tiba menikah?" Akhirnya Selina membuka suara setelah melihat cucunya tidak berniat menyentuh kue dan minuman yang disediakan di hadapannya. "Dahulu, oma sudah memberikan beberapa rekomendasi para nona muda yang bermartabat dan memiliki bibit, bobot, serta bebet yang baik kepadamu tapi kamu menolaknya. Kamu beralasan ingin focus mengembangkan perusahaan dan tidak ingin serius menikah, tapi kenapa kamu berubah pikiran?"
Selina kembali bersuara. "Apa kamu menghamili anak gadis itu? Oma sudah mengecek background keluarganya, meskipun ia berasal dari kalangan atas, ia tetap tidak sebanding denganmu Max. Kamu adalah pewaris takhta Dexter, kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dari gadis itu. Selain itu, kondisi perusahaan keluarga gadis itu sedang tidak baik, kalau kamu memberikan uang untuk menutup mulutnya maka semua akan terselesaikan. Kamu bisa memilih untuk merawat anak itu setelah anak itu lahir atau menggugurkannya, kalau memang kamu tidak tega tapi tidak ingin merawat anak itu..."
"Oma," Max memotong perkataan Selina dengan nada yang cukup dingin, "aku tidak melakukan kesalahan yang telah dilakukan oleh leluhurku. Aku tidak menghamilinya dan aku bersedia menikahinya karena aku telah memilihnya."