Cinta pada Gigitan Pertama

3901 Kata
September 2013 "Apa salahku," kata Alika seraya memasukkan jari telunjuk ke lubang hidungnya, "apa salah ibuku." Rupanya gadis itu sedang mendendangkan lagu dari Wali Band. Nadanya terlampau sumbang, jadi nyanyian Alika lebih mirip dengungan lebah. "Hidupku dirundung pilu," lanjut Alika sambil memilin temu-an dari dalam hidungnya; sampai "Tak ada yang mau, dan meng-iginkan aku, tuk jadi ...." "Tuk jadi anggota tim mereka, tuk masuk kelompok mereka ... aaa ... aahhh!" Lengkingan gadis sembilan belas tahun itu menukik tajam ke telinga. Hanya mendukung pepohonan dan tiang listrik di dukungan. Andai pun tiang listrik dan pohon bisa bicara, mungkin mereka akan mendemo kelakuan Alika yang menggila di malam buta. Abang tukang bakso di ujung jalan sampai tampak aneh ke arahnya. Namun Alika tidak peduli, gadis penganut paham 'Masa Bodo' ini memang tidak pernah menghiraukan pandangan orang tentang dirinya. Itu sebabnya penampilan Alika sangat kacau. Rambut Bob ala Dora dengan poni sejajar alis, terlihat semakin antah-berantah tatkala kaca mata Boboho ikut menghias melihat. Kecenderungan Alika mengenakan kaus oblong yang semena-mena dia padupadankan dengan celana  jam-suit  alias celana monyet, membuat gadis ini menjadi barometer gaya tabrak lari mode. Terkadang gadis pecandu micin ini juga mengenakan rok panjang dengan banyak lipatan yang memberi kesan kedodoran. Memang, fashion itu mitos di mata Alika, karena memenangkan yang terpenting dalam memilih fashion adalah kenyama-nan. Sementara jika stresnya tiba, gadis berdarah biru — Aremanita — ini hanya menggunakan sarung tangan untuk dililitkan sebagai rok bebas saat beraktifitas di sekitar indekosnya. Yakin, deh. Desainer pasti akan mencemooh gaya mahasiswi Fakultas Ekonomi itu sebagai kemenangan terhadap mode. Langkah lunglai Alika terus membelah gerimis Kota Malang. September adalah awal musim penghujan untuk kota apel ini. Gadis berkulit gelap itu tersamar oleh pekat malam. Baru jam tujuh memang, tapi karena awan hitam pancaran cahaya bulan dan bintang, langit menjadi lebih gelap. Segelap hati Alika. Dia sudah sangat lelah bepergian ke tempat teman-teman untuk memohon agar mereka mau menerima Alika menjadi anggota timnya. Namun, hasilnya nihil. Kemahsyuran Alika sebagai wadah dengan otak ngesot sudah didistribusikan ke seluruh antero fakultasnya. Walhasil, saat ini dosen Administrasi Negara membe-rikan tugas berkelompok, tiada satu pun kelompok yang sudi memungut Alika Dissa Fahlevi. "Lepasin !!!" Teriakan itu disambut telinga Alika, samar tapi begitu dekat. Alika memutar kepala mencoba mencari sumber suara tadi. Di seberang jalan, seorang gadis menjerit dan meronta. Tangan gadis itu dicengkeram dan ditarik kasar oleh seorang pemuda yang Alika taksir lebih tua dari sang gadis. "Sudah tau ceweknya  ndak  mau,  sek  Dipaksa  ae ," komentar Alika Sambil geleng-geleng kepala. Pertengkaran sengit terus berlanjut di antara dua sejoli tadi. Kini sang cowok menyeret si Cewek ke Arah motornya yang terparkir di depan tempat karaoke. " Oalah, arek edan. Sak enak'e ae seret  cewek, dikira kita kambing apa? Serat-seret utama." Alika menggerutu sambil mempercepat jalannya. Baju lengan melipat. Siap tempur! Langkahnya tak panjang, tapi dengan sedikit berlari, kecepatan Alika menjadi gas pol. Rasa-rasanya, tekad puteri dari pasangan Ramdhan Fahlevi dan Ningsih Prameswari ini sudah bulat, dia ingin menjadi pahlawan kemalaman. Hitung-hitung mencari pelampiasan atas kekesalannya hari ini. Tanpa ba-bi-bu, Alika menerjang pemuda yang tadi membantah gadis untuk ikut bersamanya. Setelah si pemuda syok oleh serudukan kepala Alika ke perutnya, Alika berteriak, "KA ... AKU ... HA ...." Mulut Alika menganga selebar cakrawala. "MEEE ...." Goku karbitan itu sukses menyambar tangan pemuda yang masih kukuh mencengkeram tangan si gadis. Diakhiri dengan teria-kan fenomenal, "HAAAAAAAAAAAAAAA!" Alika menggigit tangan anak orang tanpa ampun. "Arrrkkkkhhhhhh!!!" Pemuda yang rupanya bernama Ardi itu mengerang lantang. Gigitan pada tangannya terpaksa membuat pemuda berkulit terang itu harus melepaskan cengkeramannya pada Ayu, sang adik. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Ardi bingung setengah berteriak. Didorongnya kepala Alika, agar gadis rabies itu melepas gigitannya. "Akaduajhf abfhagvnuios hiyfdkj dgadiklkbnD." Alika menjawab, tapi masih dengan mulut mengigit tangan Ard, otomatis artikulasi kalimatnya tidak bisa dicerna manusia biasa. "Apa pun alasanmu, saya tidak peduli. Satu hal yang pasti, kamu akan membayar semua ini," jelas Ardi penuh penekanan. Singa edan betina itu mendongak setelah merasa familiar dengan suara Ardi. Mata Alika memperhatikan lamat-lamat wajah korbannya. Dan benar saja, makhluk ganteng yang baru saja dia gigit adalah pusat tata surya Fakultas Ekonomi UB. Mahakarya paling indah yang pernah ia jumpa selama hidupnya. Alika berjingkit takut, gigitannya mengendur. Ardi cepat-cepat menarik tangannya begitu menyadari gadis di hadapannya sudah melemah. Alika meringis getir tatkala menangkap tatapan tajam dari Ardi, Ia baru saja menyadari bahwa nyawanya sudah di ujung tanduk. "Ma ... maaf, Kak," lirih Alika sambil mengatupkan kedua tangan di depan d**a. "Modar aku," sesalnya dalam hati. "Kamu kenal saya, kan?" tanya Ardi dijawab anggukan yakin oleh Alika. Siapa juga yang tidak mengenal Ardi, bahkan tikus di Fakultas mereka pasti hapal dengan ketampanan wajah Ardi. "Lalu, kenapa kamu menyerang saya?" "Nganu, emmmm, anu...." Seolah tahu isi kepala Alika, Ardi menjelaskan, "Gadis tadi itu,, diadik saya. Saya harus menangkap dia karena dia kabur dari sekolah dan pergi ke club bersama teman laki-lakinya." Alika mendelik, tanganya segera menutup mulut yang refleks terbuka selebar gawang bola. Hati Alika lalu berte-riak, "Modar tenan, modar!" "Ma ... ma—" "Maaf tidak akan menyembuhkan luka saya, taring kamu terlalu tajam," potong Ardi dengan nada terkontrol. Pemuda satu itu memang paling ahli mengendalikan emosi dan ekspresi, walau-pun darahnya sudah mendidih. Alika tercengang, bisa gitu ya, cowok ganteng tingkat nasional ngomong sadis seperti itu? Taring dia bilang? Yawlah, dikira Alika ini titisan Om Drakula. "Hah?" reaksi Alika untuk meyakinkan apa yang dia dengar barusan adalah benar. "Jangan hah-huh-hah-huh, kamu harus bertanggung jawab. Perlu kamu tahu, ini adalah pertama kalinya saya digigit lawan jenis. Itu artinya kamu adalah orang pertama yang m*****i kesu-cian saya." "UOPOOOHHH?!" teriak Alika menggelegar. "Kesyuci-annnn? Kakak anak perawan, Kak?" Ardi enggan menanggapi reaksi berlebihan Alika, meski-pun sebenarnya itu sangat mengocok perutnya. "Sampai luka saya sembuh, kamu harus melakukan apa saja untuk saya. Itu hukuman buat kamu. Karena luka ini mungkin menghambat aktifitas saya, jadi kamu harus bertanggung jawab dengan melakukan apa yang tidak bisa saya lakukan untuk saya." "Contohnya?" "Membersihkan kamar saya." Contoh yang baru saja Ardi katakan mendorong bola mata Alika keluar dari kelopaknya. "Mencuci baju saya," tambah Ardi dengan wajah tetap flat. Asem pol-polan iki!  Gadis itu sebenarnya ingin mengeluarkan segala sumpah serapah. Mentang-mentang ganteng, seenaknya saja cowok itu memanfaatkannya. Kepala gadis itu mulai membandingkan Ardi yang sama dengan teman-temannya. Mentang-mentang mereka pintar, tidak ada satu pun yang mau menerimanya menjadi ang-gota kelompok mereka. Nasib orang jelek, ke mana-mana kalau nggak di-bully, ya dikibulin. "Satu lagi, jangan kamu pikir saya sedang memanfaatkan kamu, karena kerugian saya bukan cuma luka ini. Kerugian terbesar saya adalah kehilangan adik. Kamu tahu, dia kabur lebih dari dua hari, dan saya baru bisa menemukannya hari ini. Tapi saat saya berhasil menangkapnya, kamu malah datang dan mengacaukan semuanya." Ardi menjelaskan lebih panjang untuk menangkal dugaan Alika bahwa dirinya sedang memanfaatkan tragedi ini untuk menggunakan jasa Alika secara cuma-cuma. "Sekarang saya harus mencari dia lagi. Dari awal lagi." Ekspresi kesal mulai menyeruat di permukaan wajah mulus Ardi. Sementara itu, Alika mulai merasa bersalah dan menyesali perbuatan bodohnya. "Baiklah, jadi aturan kita ubah, kamu men-jadi asisten saya sampai luka ini kering dan sampai adik saya ketemu. Mengerti." "Oalah, Kak. Bilang aja jadi babu, ndak usah pake istilah asisten," sewot Alika kalem sambil membuang muka. Ardi mengusap kepala karena frustrasi dengan tang-gapan Alika. Tindakan itu membuat rambut pendek di tengah dahinya jatuh, dan itu adalah fenomena alam yang indah mencekam. Alika nyaris kejet-kejet terpapar kharisma rambut jatuh Ardi.  "Beda. Asisten membantu untuk beberapa hal saja. Sementara pembantu itu mengerjakan semuanya, temasuk masak, cuci piring, setrika, dan lain-lain. Mengerti?" "Iya, deh. Aku nurut aja," jawab Alika. Sama calon imam, ahahhaahaha! Lanjutnya dalam hati. Lanjutan anak kalimat yang ia ucapkan dalam hati itu, menciptakan cengiran-cengiran halus di wajahnya. Ardi jadi takut, gadis di hadapannya itu memiliki emosi dan ekspresi yang tidak stabil. Dari awal, Alika datang dengan penuh amarah lalu sekonyong-konyong menggigitnya, setelah itu dengan wajah takut gadis itu meminta maaf. Dan setelah Ardi mengutarakan hukumannya, Alika tampak tidak terima, tapi be-berapa saat kemudian cewek aneh itu cengar-cengir sendirian. Firasat Ardi buruk. Pemuda itu seketika takut. Berharap semoga hukuman yang dia berikan kepada Alika tidak akan menghukum dirinya sendiri. Semoga. *** Kruyuk ... kruyuk.... Bunyi keroncongan dari perut Ardi menjadi alarm yang memaksanya bangun. Suara gaduh terdengar sayup-sayup me-ngorek telinganya. "Aku emang bukan anak kos sini, Mbak. Tapi aku kan masak untuk temenku yang kos di sini. Jadi, salahnya di mana?" Suara cempreng itu sepertinya Ardi kenal. "Siape temen lo, Pe'ak?" "Ituh, Kak Ardi, yang tinggal di kamar nomer empat." "Lo ngarang bebas, ye? Riset dulu, Dek. Riset sebelum ngarang itu penting!" "Lha, kok ngarang sih? Aku seriusan ini, Kak." Ardi keluar kamar, menuju dapur yang berada persis di samping kamarnya. Dapur yang menjadi tempat perdebatan paripurna antara Alika dan teman indekosnya. Dapur yang kini menguarkan aroma nikmat khas bakwan Malang masih panas. Tentu saja itu membuat perut lapar Ardi semakin gaduh meminta tumbal. Lalu, dengan seperdelapan kesadaran yang mulai terkumpul, Ardi bertanya, "Ada apa ini?" "Ah kebetulan banget lo datang, Ar. Cewek dekil ini masak di dapur kos kita. Udah gitu dia ngaku masakin buat lo. Hadeh ... yang bener aja! Dia ngibul kan, Ar?" Teman kos Ardi yang akrab dipanggil Silva itu bertanya dengan sejuta keraguan. Pandangan Ardi menangkap seorang gadis dengan ram-but pendek sebahu yang semalam menggigit tangannya, sedang nyengir di samping Silva. Mengusap muka letihnya sebelum menghampiri Alika. "Kamu masak buat saya?" tanya Ardi mengonfirmasi. Gadis itu mengangguk mantap sambil mengulum senyum yang memperlihatkan lesung di pipinya. "Iya, Kak. Kan ini bagian dari tugas aku sebagai asisten Kakak, hehehe." "Asisten, Ar?" ulang Silva bingung dengan apa yang saat ini terjadi di hadapannya. "Iya, saya meminta dia datang untuk mengerjakan beberapa tugas di sini, Sil." Penjelasan Ardi menutup mulut Silva, gadis itu akhirnya pergi dengan tenang. "Kak Ardi mau mandi dulu atau sarapan sekarang?" sambar Alika begitu punggung Silva menghilang di balik pintu kamar kos nomer enam. "Saya meminta kamu datang untuk mencuci pakaian dan membersihkan kamar saya, kenapa kamu harus repot-repot masak untuk saya?" Alika menjelaskan takut-takut, "Tadi aku sampai sini jam setengah tujuh." "Lalu," tanggap Ardi sambil melipat tangan ke depan dadanya. "Pas aku ketuk kamar Kakak, nggak ada respon. Pas aku intip, Kak Ardinya lagi tidur. Ya udah aku jalan-jalan sekitar sini, eh nemu dapur." "Terus?" "Terus aku masak lah, dari pada nganggur?" "Lalu, dapat dari mana kamu bahan-bahan ini?" "Oalah, yo belanja ta, Kak," jawab Alika sedikit terke-keh. Masak iya, semua ini turun dari langit? lanjutnya dalam hati. “Nih, Kak.” Alika menyodorkan selambar kertas. “Apa ini?” tanya Ardi seraya menerima kertas dari Alika. Ternyata isinya adalah rincian belanja. “Total dua puluh tujuh ribu lima ratus rupiah.” Ardi mengangguk. Dihelanya sedikit oksigen sebelum ber-kata, "Ikut saya." "Lalu gimana dengan masakanku ini?" tanya Alika, melas. Tidak mendapat apresiasi atas masakannya, tentu membuat Alika kecewa, tapi apa boleh buat. Orang ganteng mah bebas, ya. Mau ngeselin, mau nyenengin, tetep saja jatuhnya dibuang sayang. Alika tidak bisa marah. Ardi mengambil tutup panci dan beberapa piring untuk kenutupi kerajinan tangan Alika yang aromanya menggugah selera itu. "Tutup dulu, nanti saya makan setelah menjelaskan sesuatu kepada kamu." Alika mengangguk paham, senyum menjuntai lebar di bibirnya. Langkah Alikakemudian mengekori Ardi menuju kamarnya. Begitu Ardi membuka pintu, mata Alika menyapu sekeliling sudut dengan penuh kekaguman. "Wahhh, mewah sekali kamarnya Kakak. Berapa harga kos per bulannya?" Agak ragu untuk menjawab, tapi pada akhirnya Ardi menanggapi pertanyaan Alika dengan santai. "Satu juta dua ratus, tapi bagi dua. Karena di sini saya berbagi kamar dengan teman saya. Namanya Sena, sekarang anaknya sedang kemping." Ardi menjelaskan sambil melipat seli-mutnya. Alika membantu memungut beberapa baju kotor dan mengumpulkannya menjadi satu. "Teman Kakak anak pecinta alam, ya? Sama dong ama temen aku, dia juga lagi kamping. Mereka ke Bromo ‘kan?" "Siapa?" "Listia, namany—" "Yang nanya?!" Asu! maki gadis Jawa itu dalam hati. Alika beristigfar kemudian. Dia tarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Diulang beberapa kali, hingga batinnya tenang. Ardi sebenarnya menahan tawa mati-matian melihat perilaku Alika. Jujur, gadis di hadapannya ini memiliki reaksi yang cukup unik untuk ukuran Ardi. Jika gadis lain yang dijahili seperti itu, mereka pasti tidak segan melancarkan aksi anarkisme tingkat nasional. Seperti tindakan mencubit perut, atau memukul manja bahu Ardi. Tetapi Alika tidak melakukan hal seperti itu, gadis ini hanya menahan dan menahan dengan sabar. Kamar kos Ardi termasuk golongan indekos elit. Tidak hanya ukurannya yang cukup luas, kamar tersebut juga dilengkapi dengan kamar mandi dalam, serta beberapa fasilitas menarik seperti free wifi, dan lain sebagainya. "Wow, ada kulkasnya juga?" kagum Alika sambil merabai sisi-sisi lemari es mini di sudut kamar Ardi. Berdasarkan ukuran kekayaan, Alika memang bukan gadis yang berasal dari keluarga miskin, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa Alika ndeso. Kamar kos dengan keramik dan kamar mandi mewah adalah hal langka yang jarang dijumpai Alika di desanya. "Iya, papanya Sena membeli kulkas itu untuk kami." "Sempurna, dengan begitu kita bisa belanja di pasar, dan menyimpan beberapa cadangan bahan untuk dimasak sehari-hari." "Memangnya kenapa kalau belanja di tukang sayur?" "Mahal, Kak, lebih murah di pasar. Bisa tawar-menawar pula." Jawaban yang merupakan bukti nyata bahwa makhluk di hadapannya ini juga memiliki sisi matrealistis, pantaslah Alika tanpa sungkan memberikan bon belanjaan kepada Ardi. Tidak memiliki kalimat yang tepat untuk menanggapi perkataan Alika, Ardi akhirnya memilih pamit. "Saya mandi dulu, nanti kita lanjutkan. Kamu nggak apa ‘kan saya tinggal sebentar?" Alika hanya mengangguk sebagai jawaban tanpa keraguan. Sekitar dua puluh lima menit berlalu, Ardi keluar kamar dengan celana pendek hitam.Kaus tanpa lengan yang dihias handuk mengalung di lehernya. Bukan tanpa fungsi, handuk itu nangkring disana karena Ardi menggunakannya untuk menge-ringkan rambut basahnya sehabis keramas. Beberapa kali bersin, membuat Alika menyadari kehadiran Ardi. Alika tercekat. Menghentikan aktifitasnya menata makan-an yang tadi dia masak. Seolah tersihir oleh penampilan Ardi yang semakin ganteng sehabis mandi dengan rambut basahnya. Seperti halnya Alika, Ardi juga tercekat melihat kamarnya sudah disulap menjadi angkringan lesehan oleh adik tingkat yang baru ditemu-kan semalam.Alika telah menggelar tikar matic di lantai kamar kosan Ardi, lalu menata sederet hidangan di atasnya. Ardi duduk di depan Alika. Mengambil sepotong bakwan jagung dan mengigitnya sambil bertanya, "Semua ini kamu yang masak?" Alika mengangguk bangga, mempertontonkan sederet gigi putih yang semakin terlihat kinclong karena kontras dengan warna kulit gelapnya. Menu yang Alika masak memang sederhana.Nasi putih, bakwan jagung, sayur bayam, serta ayam penyet dengan sambal orek terasi. Tetapi tak bisa dipungkiri, bagi anak kos yang terbiasa bertemu Indomie, menu rumahan ini adalah surga dunia. "Enak." Ardi berkomentar sambil menelan kunyahan terak-hirnya. Harus diakui, Ardi jatuh cinta pada gigitan pertama. Masakan Alika memang sedap. Bisa dibilang ini adalah masakan paling lezat kedua setelah masakan ibunya. Eh, salah. Bisa jadi masakan Alika lebih lezat dibandingkan masakan ibu Ardi. Entahlah, Ardi lupa-lupa ingat cita rasa masakan sang ibu. Maklum, cukup lama dia tidak merasakan masakan ibunya. Terakhir Ibunya masak rawon keasinan, yang membuat adik Ardi jejeritan saat memakannya. Setidaknya memori itu cukup untuk membuktikan bahwa masakan Alika lebih baik. Senyum Alika semakin lebar, tapi beberapa detik kemu-dian wajah semringah itu berubah menjadi cemas setelah men-yadari sesuatu. "Kak Ardi sakit?" tanya Alika khawatir. "Sakit?" Ardi balik bertanya. "Maaf." Alika permisi dahulu sebelum menempelkan pung-gung tangannya ke dahi Ardi. "Tuh .... Benar dugaanku, Kakak demam. Tadi pas keluar dari kamar mandi juga bersin-bersin ‘kan?" "Pantas tubuh saya berasa sakit semua. Hari ini sampai ke-siangan bangun." "Pupil mata Kakak melebar, terus kelihatan pucat banget lho.” Alika merogoh tasnya dan mengeluarkan sekaplet obat. "Makan dulu, tapi jangan makan sambalnya. Habis itu minum ini," lanjut Alika penuh perhatian, sambil menyodorkan Paracetamol 500mg ke pemuda di depannya. "Wah, kamu siaga obat ke mana-mana?" tanggap Ardi yang sebenarnya takjub dengan kesigapan Alika. Gadis bermata bulat itu menghela napas. "Aku emang bawa paracetamol ke mana-mana, Kak," kata Alika lemas. "Maklum, aku ini penyakitan. Alias gampang bengek." Bola mata Alika turun, menatap lantai. "Mainan kincir kertas, masuk angin. Buka lemari es, hipotermia. Kena uap rice cooker, demam—" "Separah itu?" potong Ardi menghentikan bualan Alika. Alika nyengir sambil menjawab, "Hahaha, tapi boong." Masih dengan cengiran halus, Alika menyendokkan nasi ke piring Ardi.Tak lupa, dia menyisihkan sambal dari ayam penyet sebelum ditaruh ke piring Ardi. "Tapi aku beneran penyakitan, Kak. Waktu kecil sering banget step. Makanya sekarang otakku lemot banget. Terus dulu pas SD, dalam tiga puluh hari, paling cuma dua puluh hari aku masuk sekolah, sisanya bolos karena sakit," jelas Alika dengan penuh kesungguhan. "Beneran, kalau nggak kebantu pengaruh orang tuaku, pasti aku udah tinggal kelas." "Hahaha. Maaf ya, tapi kok saya jadi penasaran." "Penasaran tentang aku?" "Bukan, saya penasaran berapa banyak uang sogokan yang orang tuamu keluarkan sehingga kamu bisa berkuliah di sini," ledek Ardi yang bernada canda itu berhasil menanak hati Alika hingga gosong. Kok asem sè kamu Kak, kok asyemmm. Tak sumpahin jatuh cinta sama aku, kapok kamu.Alika mengumpat sejadi-jadinya, dalam batin. Diremasnya sendok tak berdosa, untuk meredam emosi. "Astaga, kamu marah?"Ardi yang mulai menyuap sendok demi sendok nasinya itu bertanya, sambil menoel pipi Alika yang baru saja menggembung secara otomatis karena kesal. Alika menghela napas. "Sama orang ganteng mah mana bisa aku marah, Kak." Recehan Alika telah membuat Ardi nyaris menyemburkan nasi di mulutnya. Sering Ardi digombali cewek, tapi baru kali ini dia mendapat rayuan dari makhluk sebangsa Alika. Rayuan bernada melas dengan ekspresi wajah yang minta digadaikan. Sangat mengocok perut dan bikin Ardi tambah lapar. "Hahaha, pintar gombal juga ya, kamu." "Aku gombal ta? Tadi itu aku serius, Kak. Aku ini ndak iso gombal-gombalan." Ardi tersenyum. Pemuda itu meyeruput kuah sayur bayam sebelum berkata, "Baiklah, terima kasih untuk keseriusannya.” Sebuah tarikan napas menjadi jeda.“Kalau begitu, boleh saya juga bicara serius?" "Boleh, dong, Kak. Orang ganteng kan bebas, hehehe." Alika menaik turunkan alisnya untuk menggoda Ardi. "Jadi begini. Sebelumnya ada tetangga sini, namanya Mbak Sri, yang kami bayar untuk membersihkan kamar dan mencuci baju.” Ardi menjelaskan sambil lahap menyantap makanannya.Berhenti sejenak untuk menelan nasi dan ayam yang telah sempurna dia kunyah. “Kami di sini maksudnya adalah saya dan Sena. Tapi, karena beberapa kali Mbak Sri menghilangkan celana dalam serta baju kami tanpa bertanggung jawab, kami pun kecewa. Lebih kecewa lagi setelah beberapa waktu lalu kami memergoki Mbak Sri mencuri uang Sena." Ardi berdiri, menuju sudut kamar. Menghampiri karus cokelat yang berisi belasan botol air mineral ukuran 600ml.Pemuda dua puluh tahun ini mengambil sebotol air lalu mene-guk isinya hingga tersisa seperdelapan. "Wah, parah. Terus, terus, kalian apain si Mbak Sri itu?" komentar Alika, menggeleng-geleng kepala. Kembali duduk, Ardi melanjutkan acara makan dan pen-jelasanya. "Akhirnya saya memutuskan untuk tidak menggunakan jasa Mbak Sri lagi. Beberapa hari ini, tepatnya setelah kami memecat Mbak Sri. Saya mengirim baju kotor kami ke Laundry kiloan, tapi mereka terlalu ramai pelanggan. Jadi baju yang ditaruh hari ini baru bisa diambil lusa. Itu yang saya tidak suka. Apalagi kalau ada baju yang harus saya pakai tiap hari, makin repot urusannya. Jadi selain mahal, menggunakan jasa laundry sangat tidak efisien." "Kakak kenapa ndak nyuci sendiri?" komentar Alika, penasaran. "Eh, ndak usah dijawab. Aku tahu, pasti Kak Ardi terlalu sibuk dan ndak punya waktu 'kan?" Alika menebak sebelum Ardi sempat menjawab, itu membuat Ardi tersenyum geli. "Kamu benar, kalau mencuci saja saya masih sanggup. Masalahnya adalah menjemur dan mengangkat jemuran, saya sering lalai kalau punya cucian. Sebenarnya kalau saya tinggal sendiri, saya tidak perlu orang lain untuk membersihkan kamar.Sebab dasarnya saya ini orang yang rapi dan sangat menjaga kebersihan. Cuma karena ada Sena, si biang rusuh. Saya sangat butuh bantuan orang lain untuk membersihkan dan menjaga kamar ini tetap rapi." "Iya, kelihatan kok, Kak," sahut Alika dengan senyum berapi-api. "Semalam, saya hanya sepontan mengatakan kepada ka-mu, tentang hukuman itu. Karena saat kamu menggigit tangan saya, kebetulan pikiran saya sedang penuh dengan kebingungan men-cari orang untuk membersihkan kamar kami," tutur Ardi kalem. “Oh begitu, aku kira Kak Ardi beneran mau memanfaatkan kekhilafanku yang telah m*****i kesyucian Kakak. Hehehe.” Makanan Ardi  hampir naik ke hidung karena geli mende-ngar tanggapan Alika. Entah jin ivrit jenis apa yang semalam merasuki Ardi, sehingga dia khilaf mengatakan bahwa Alika telah m*****i kesuciannya. Kalau diingat-ingat lagi saat sadar begini, Ardi sungguh ingin muntah karena diperkosa memori nista semalam. Setelah berhasil menenangkan diri, Ardi melanjutkan per-kataannya. "Jika kamu mau, kami ingin membayar kamu untuk membantu kami bersih-bersih dan cuci baju. Itu hanya jika kamu mau. Saya tidak akan memaksa." Ardi meletakan piringnya yang telah kosong, dan menatap Alika lamat-lamat. Sesungguhnya, Ardi tidak bisa mencari pembantu dari tetangga sekitar indekosnya lagi.Semenjak dipecat, Mbak Sri telah menyebarkan rumor buruk tentangnya dan Sena. Akibatnya tidak ada satu pun tetangga yang mau dibayar untuk bekerja dengan mereka. Namun sebenarnya, bagi mahasiswa setampan dan sepopuler Ardi, mencari sukarelawan untuk membersihkan kamar mereka adalah hal yang sangat mudah. Puluhan gadis cantik antre melakukan itu demi bisa dekat dengan Ardi dan Sena. Sayangnya, otak m***m Sena Sianipar amat sangat tidak tertolong. Ardi tidak mau mengambil risiko. Bisa Ardi bayangkan, apa jadinya jika gadis cantik yang datang untuk membersihkan kamar mereka. Indekos Ardi akan dibakar massa karena Sena menyulapnya menjadi motel portable. Kebetulan tragedi gigit-gigitan semalam mempertemukan-nya dengan gadis udik berkulit gelap yang tidak mungkin masuk standar Sena. Merasa aman, itulah yang menjadi pertimbangan Ardi secara taktis merekrut Alika. Sebab Sena tidak mungkin tertarik dan tidak akanmenggoda makhluk sebuluk Alika. "Aku mau, Kak. Jangankan cuci baju dan bersih-bersih. Masak, setrika, sampai ganti lampu kamar Kakak pun aku mau. Cuma ...," Alika mengunting kalimatnya, gadis itu tampak menggigit bibir bawah. Ardi dengan was-was bertanya, "Cuma apa?" "Cuma ... anu...." "Anu?" "Eunggggggg, boleh ndak, kalo bayarannya bukan  pakai uang?" Ardi mengangkat satu alis tebalnya saat bertanya, "Lalu, apa?" "Bantu aku mengerjakan tugas dan mengejar ketertinggal-an, Kak. Aku tau Kak Ardi ini terkenal pintar dan mahasiswa kesayangan dosen," pinta Alika sambil memilin ujung kaosnya. Tidak berani menatap Ardi, Alika hanya menunduk saat melanjutkan perkataannya, "Masa ya, kemarin ada tugas kelom-pok.Ndakadaè satu pun kelompok yang mau rekrut aku ke dalam kelompok mereka. Padahal yo, aku tuh tugasnya disuruh ngapain pun, aku ndak tau. Gimana aku bisa ngerjain sendiri?" Ardi merasa iba, terlebih saat air di mata Alika mulai merembes tanpa segan. Sambil menepuk bahu gadis itu, Ardi berkata, "Baiklah, saya setuju.” Hampir saja Alika loncat untuk memeluk Ardi, saking bahagianya. Untung ayam goreng yang mengganjal perutnya masih memberi kontrol penuh atas otak dan kewarasannya. "Kyaaaaakkk, makasih banyak lho, Kak." Akhirnya hanya histeria itu yang mampu Alika jeritkan. “Tapi jangan sia-siakan waktu saya, ya. Maksud saya, kamu harus serius saat saya meluangkan waktu untuk mengajari kamu." Sejak hari itu, setiap hari Alika datang. Terlebih saat dia tidak ada kegiatan di kampus, waktu Alika lebih banyak ia habiskan di kosan Ardi daripada di indekosnya sendiri. Dan seperti prediksi Ardi, Sena benar-benar tidak tertarik terhadap Alika. Kondisi pun aman terkendali. Tidak ada m***m-mesuman. Tidak ada huru-hara. Kamar bersih kinclong. Pakaian harum mewangi. Alika memang jago dalam urusan rumah tangga. Memasak, merapikan rumah, mencuci baju, dan lain sebagainya. Terbiasa mendekam di rumah,Alika menghabiskan seba-gian besar hidupnya untuk membantu sang ibu. Alika tidak memiliki teman dekat untuk bermain. Itu pula alasan mengapa dia tidak mengenal fashion dan perawatan kecantikan seperti gadis kota seusianya. Kulit kusamnya tercipta karena terlalu rajin bermain di pantai.Rumah neneknya di Malang selatan sangat dekat dengan Pantai Ngliep. Alika selalu tinggal di tempat sang nenek setiap libur sekolah atau saat dia jatuh sakit. Itu sebabnya, sahabat Alika adalah ombak dan angin. Dia tak akan pernah bosan berenang bersama ombak dan menari dengan angin.Kini, Alika memiliki dua sahabat baru yang benar-benar nyata, yakni Ardi dan Sena. Sahabat yang lahir dari hikmah menggigit anak orang tengah malam. Mungkinkah setelah ini akan datang hikmah-hikmah lain yang lebih indah, seperti CINTA misalnya? Entahlah, hanya takdir yang tahu.              
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN