Menabrak Masa Lalu
September 2019
Bruottt....
Terdengar bunyi sebuah nada sambung pribadi dari pa-nggilan alam. p****t seseorang baru saja menghempaskannya. Namun, hampir semua penumpang di dalam angkot justru menatap aneh ke arah Ardi.Ya, dialah satu-satunya pria di dalam angkot, selain supir angkotnya.
Nama lengkapnya Ardiansyah Paradirga.Mahasiswa Fakultas Ekonomi di salah satu universitas ternama Kota Malang. Selain tampan dan pintar, suara emas serta tutur kata yang bersahaja membuat Ardi semakin tenar. Menjadi pusat perhatian. Ardi juga memiliki banyak teman serta merupakan mahasiswa kesayangan.
Sayang. Semua itu hanyalah kenangan beberapa tahun silam.
Karena kini, hidupnya kelam!
Perutnya jadi gendut. Cambang turut semerawut. Rambut terlihat kusut. Wajah pun kian buluk.
Untungnya, Ardi masih hidup!
Tidak heran mereka menjadikan Ardi sebagai tersangka utama pencetus kentut maut. Memang penampilannya yang paling kancrut.
Mau bagaimana lagi, takdir mungkin sedang keki pada Ardi. Bentuk sang jejakatelah diubah total oleh keadaan. Bukan menjadi Ultramen atau Satria Baja Hitam. Pemuda 28 tahun,putra sulung dari dua bersaudara ini dikutuk oleh kenyataan.Semulabak Arjuna menawan jetlek menjadi Anoman hamil tujuh bulan.
Dulu, kulitnya sekinclong porselen. Sekarang, lebih parah dari kondisi jalan makadam yang rusak dan tak kunjung mendapat perhatian pemerintah daerah.
Nista sudah, nista! Kenyataan paling horor adalah fakta bahwa Ardi harus melambai tangguh pada perut sixpack yang telah almarhum, terkubur timbunan lemak.
Preketegggghhh ... crrrrrtttt....
Astaga, dan terjadi lagi? Ini benar-benar parah. Bukan cuma suara magis, tetapi juga tercium aroma mistis. Baunya, Ya Tuhan. Makan apaorang itu? Jika aroma yang keluar perpaduan Bulgari Aqua dan Serimpi, mungkin rasa mual tidak akan datang sehebat ini.
Terlihat dari kaca spion, Pak Supir sedang menggelengkan kepalanya. Lagi-lagi Ardi hanya sanggup beristigfar, sebagai usaha terakhir untuk menahan kesal. Dibombardir pandangan jijik oleh orang-orang di sini, cukup membuatnya frustrasi. Untung saja, akal sehat Ardi masih kokoh menahan. Kalau pagi ini dia sampai membuat masalah yang mengakibatkannya terlambat, maka berakhirlah sudah hidup si bujang bantet.
Hiperbola memang. Namun sungguh, hari ini merupakan hari keramat bagi Ardi. Setelah menyerah untuk mengantongi gelar Sarjana Ekonomi dua tahun lalu. Baru hari ini, akhirnya Ardi mendapat kesempatan untuk mengamalkan Ilmu akutansi yang dia pelajari selama kuliah. Pokoknya pekerjaan ini tidak boleh meleset.
Ardi ingin melepas status pengangguran zaman now. Duit tak ada, jodoh masih dijagain tetangga, setiap hari diruqiah ibunya. Hal itu pula alasan Ardi takut b******a. Melamar kerja saja susah, apalagi mau melamar wanita. Tidak bisa dibayangkan akan sesusah dan semenderita apa nantinya?
Jangan dikira Ardi berpangku tangan dan mendengkur laksana kerbau tidur. Tidak seenak itu, Fergono. Demi membiayai hidup ibu dan Adiknya. Membayar sekolah Ayu, juga melunasi hutang yang ditinggal almarhum sang ayah. Putera sulung Diana rela menginjak gengsinya. Ardi menghempaskan mimpi tinggi bahkan membaur bersama kuli. Begitulah, selama dua tahun terakhir, pekerjaan yang Ardi lakoni adalah menjadi kuli panggul di salah satu pasar induk Surabaya.
Bukan tidak mampu mendapat pekerjaan lebih baik dari kuli. Sebelum hijrah ke Surabaya, Ardi sempat bekerja di kafe milik temannya di Banyuwangi. Pekerjaannya memang ringan, mencatat pesanan dan mengantar makanan dari dapur ke meja pelanggan. Namun, Ardi tidak bisa mengandalkan gaji bulanan di sana untuk menutup seluruh kebutuhan keluarganya. Upah bulanan yang kurang dari satu juta rupiah, membuat Ardi memutuskan mencari pekerjaan lain.
Anto yang membawa Ardi ke Surabaya berhasil memasukkan pemuda itu ke sebuah pabrik tekstil. Gaji UMK jadi alasan kuat Ardi untuk tetap bertahan, meskipun dia sangatbencikerja dengan shift malam. Sampai suatu hari, Suroso tetangga kos Ardi meminta tolong untuk menggantikan pekerjaannya satu hari karena dia sakit. Pekerjaan menjadi kuli panggul harian lepas dengan upah seratus sampai dua ratus ribu perhari, bahkan lebih, rupanya membuat Ardi tergiur. Berat memang pekerjaannya, tapi setimpal dengan hasilnya. Sejak saat itulah, Ardi memutuskan berhenti dari pabrik, dan meminta tolong Suroso untuk memberinya pekerjaan sebagai kuli panggul harian lepas.
Kerja keras tak kenal lelah, tidak tahu waktu. Makan tak beraturan dengan porsi tidak kira-kira. Terjemur terik matahari hingga legam manis. Kurang tidur, juga kurang piknik. Minim kasih sayang dan perhatian. Stress berlebihan membuat Ardi melarikan diri ke makanan. Belum lagi peningkatan kadar hormon kristosol yang signifikan. Keberadaan hormon ini ternyata membuat kelebihan lemak tubuh akan dibawa dan disimpan pada perut. Karena alasan itulah tidak heran perut Ardi cepat sekali membuncit. Semua itu menyulap bentuk Ardi menjadi semakin mengenaskan.
Roda becak benar-benar berputar, seperti itulah kehidu-pan.
"Kiri, Pak!"
Angkutan kota yang Ardi naiki berhenti tepat di depan kantor barunya. Tulisan PT. GoldChemical Indonesia terukir megah di dinding emas yang berdiri tegak di samping gerbang. Gedung perkantoran ini terlihat sangat mewah, meski tak sekelas istana presiden. Bangunannnya cukup kokoh. Leher Ardi lumayan sakit karena terlalu lama mendongak. Rasa kagumnya tidak akan cukup digambarkan dengan kata-kata.
Menjadi bagian dari gedung perkantoran bergaya neo-classic ini memang mimpi besar Ardiansyah Paradirga. Langkahnya mantap menghentak, menuju meja resepsionis. Namun, belum sempat memasuki lobbi kantor, terompet sangkakala dalam perutnya menghentikan kaki Ardi.
Ya Tuhan, Ardi baru ingat. Sejak semalam dia belum makan. Ardi menelangkup sedikit lengan kemeja, untuk mengintip jarum jam pada lengan kanannya. Masih ada waktu. Daripada pingsan kelaparan di hari pertama kerja, Ardi memutuskan mencari warung terdekat untuk membeli sesuatu yang dapat menyumpal perut murkanya sementara. Sebuah kios di pinggir jalan menjual aneka makanan ringan hingga bensin, menjadi pilihan Ardi.
Sempat termenung sejenak, menimbang dengan saksama makanan apa yang bisa mengganjal kekosongan gentong di ba-wah d**a Ardi saat ini.
Namun, belum sempat Ardi mengutarakan pesanan. Seo-rang pria tampan dengan penampilan elegan memotong niatnya."Rokok Marolboro merah satu, Buk," suara baritonterdengar ramah dan renyah.
Ibu penjaga toko tersenyum semringah sambil mengam-bilkan satu bungkus rokok yang diminta pria itu. "Tiga puluh lima ribu, Mas."
Si ibu mengulur tangan, mengasongkan bungkusan rokok itu ke arah pria yang Ardi taksir usianya sepantaran dia. Lembar lima puluh ribu diberikan. "Kembaliannya ambil aja, Buk," tambah pria—yang Ardi yakini terlanjur kaya sejak lahir—itu sambil membujurkan senyum tulusnya.
Setelah pria mempesona beranjak pergi, Ardi hanya bisa melongo menyaksikan salah satu keajaiban dunia di depannya. Tidak, ini bukan tentang ketampanan atau tingginya kadar kedermawanan pria tadi. Melainkan tentang dompet kulit mewah yang pria itu tinggalkan di atas kaleng kerupuk. Sampai pria tadi pergi, Ardi masih bergulat dengan batinnya.
Ambil tidak, ya? Kalau diambil dosa, kalau nggak diambil sayang.
"Masnya mau beli apa?" tegur ibu penjaga kios membuat jantung Ardi nyaris salto karena terkejut.
"A ... anu, Buk." Ardi gelagapansambil sesekali melirik dompet itu. Penjaga kios menatap aneh, alisnya sedikit berjingkat, seolah mengendus sesuatu yang tak beres.
"Di sini nggak jual anu, Mas!" sambit si ibu sinis.
"Te-terasi maksud saya, Buk. Ibu jual terasi?"
Ampun, Ya Rabbana. Di antara sekian banyak hal di dunia ini. Kenapa lontong jumbo Ardi harus membeli terasi?
Baiklah, jawaban Ardi memang keluar secara spontan. Tetapi memakai baju kantor bagini rapi, lalu ke warung membeli terasi, buat apahhhhhh? Memalukan bumi pertiwi kamu, Ardi!
Mungkinkah Ardiansyah Paradirga membutuhkan susukehamilan? Jangan-jangan Bayi bernamakan lemak yang sudah tumbuh sebesar itu dalam perutnya, sedang kekurangan nutrisi. Sehingga mereka menghisap habis isi kepala Ardi. Lihatlah, Ardi berubah menjadi manusia d***u. Sepagi ini!
"Terasi nggak ada, Mas. Kalau sambel terasi sachet ada, Masnya mau?"
"Eung ... boleh, deh. Satu saja, Buk." Akhirnya, saat pen-jaga toko sedang fokus menggunting sambal, Ardi dengan kekuatan kilat menggasak dompet itu. Kemudian menyembunyi-kannya ke dalam tas. Tindakan sepele. Namun, sangat memicu adrenalin.
Katakan Ardi sudah gila. Hari ini dia telah memper-taruhkan nama baik yang ditulis Bu bidan pada akta kelahirannya. Tapi sudahlah, bubur sudah masak, tidak bisa kembali jadi nasi. Sungguh, Ardi tidak sabar ingin membuka isinya. Bayangan segepok uang sudah melanglang buana di benak pemuda berambut ikal itu. Sesegera mungkin Ardi membayar sambal dan meninggalkan toko tersebut.
Rupanya takdir tidak cuma mengubah penampilan fisik ya, mental dan karakter Ardi juga sedikit banyak digeser oleh kea-daan.
Setibanya di lobi kantor, Ardi membuka dompet temuan-nya dengan wajahgemah ripah loh jinawialias bahagia luar biasa. Namun sayang, ternyata isinya bukan segepok uang seperti yang dikhayalkan. Melainkan sebuah kaca mata hitam seperti yang sering digunakan vokalis Band Radjo, Ian Keselek.
Kecewa!
Ya pastilah, Ardi kecewa setengah mati. Kini, dia hanya bisa menelan air liur sampai kembung, sambil menghayati alunan musik keroncong cadas dari dalam perutnya. Setelah meraba kembali saku celana kiri, cuma ada satu sachet sambal.
Haruskan saya sarapan kaca mata dicocol sambal terasi? Jerit batin Ardi gulana.
Fokus merenungi kaca mata hitam dan sambal di tangan, membuatnya tidak menyadari, bahwa dia telah menabrak seseorang. Setelah bunyi gubrak menggema, Ardi merasakan teriakan melengking menusuk telinganya.
"Awwwwww!" keluh seorang gadis dengan suara cetar-nya. "Heh, kalo jalan pake mata, dong!" cerocos gadis yang merasa tubuhnya hampir remuk, akibat tertabrak tubuh Ardi yang kini mirip replika gajah sumatera.
Ardi mendongak. Menautkan pandangan ke wajah kor-ban, dan wajah wanita itu membuatnya seketika terciduk masa lalu. Ini bukan perkara cinta pada pandangan pertama seperti lagu A. Rafiq. Melainkan cinta yang nyaris terlelap di hati Ardi, kini perlahan-lahan bangun dan mulai koprol ke mana-mana lagi.
Tidak mungkin, ini pasti mimpi! Ini hanya mimpi buruk!Ardi masih membatin dan panik.
Gadis cantik yang baru saja ditabraknya adalah Alika Dissa Fahlefi. Sebaris nama yang telah mendekam selama lima tahun di jeruji hati Ardi. Alika seperti noda membandel yang sulit hapus dari memori. Seperti bunga yang senantiasa hadir dalam mimpi. Seperti tukang kredit yang selalu datang untuk menagih. Kalau boleh jujur, Ardi belum siap bertemu pujaan hati dalam keadaan seperti ini.
Keadaan di mana takdir menjorokkan dia ke poros terba-wah hidupnya. Mengubah wujudnya yang indah menjadi durjana. Terlebih, gadis itu kini menjelma sepuluh kali lebih cantik dari Alika yang terakhir kali ditemui. Fakta bahwa Alika bahkan tak sanggup lagi mengenali dirinya, semakin membikin sakit hati Ardi. Ah sudahlah, keadaan ini lebih baik. Daripada Alika mengenali Ardi dan kecewa melihat perubahan yang menimpanya. Biarlah Alika mengenang yang indah-indah saja, Ardi akan menyembunyikan kenyataan pahit ini dengan kaca mata hitam yang Tuhan turunkan untuknya. Setidaknya, untuk sekarang wajah Anomannya tidak terdeteksi oleh Alika.