Bab 5

1151 Kata
[Deva POV] Lelahnya perjalanan hari ini aku ingin istirahat. Tampak istriku sedang berdiri didapur, "Aku pulang," sapaku dari ruang tamu. Istriku langsung menoleh ke arahku. Intan Prasiska nama gadis yang aku nikahi. "Mas sudah pulang, ayo duduk sini aku baru saja selesai memasak." Intan menyodorkan aku piring dan beberapa makanan yang dia masak. "Gimana tadi perjalanannya lancar?" tanyanya dengan mata berbinar. Aku menganggukan kepalaku dengan senyuman yang sedikit memaksa. "Apa dia gadis yang baik?" Aku menganggukan kepalaku, "Iya dia gadis yang baik." "Sepertinya kamu sangat mengenali dia," tebak intan mendengar jawabanku. Aku tidak memberitahukan padanya kalau Nadia adalah mantan kekasih alasanku agar tidak ada masalah besar dan aku selalu merahasiakan nama identitas setiap kali aku bercerita. "Dia temanku, aku mengenalnya dulu tapi sudah beberapa tahun terakhir kita tidak lagi seakrab dulu." Teman? Oh teman.. Gerutuku dalam hati. "Semoga semuanya lancar ya mas.." ucapnya dengan senyuman kecil. "Aku sudah lakukan semua sesuai kemauanmu." Flashback on. Lucu gak sih dia yang jodohin dia yang minta ceraiin ya ibuku. Sudah 5 tahun menikah tetapi belum juga memiliki seorang anak dari hasil pernikahan kami, ibuku meminta aku untuk menceraikan istriku sendiri yang merupakan wanita pilihannya. "Kenapa Intan belum hamil juga? Padahal anak-anak temannya ibu nikah belakangan tapi udah punya dua brojol masa kamu belum?" protes ibuku. "Ibu jangan memaksaku punya anak." Dari awal aku dan intan tidak pernah melakukan hubungan intim, karena intan merahasiakan tumornya dari pihak keluarga dan dia tidak ingin aku terkena tumor yang sama. "Kalau gak bisa punya anak nikah aja lagi atau ceraikan saja dia untuk apa nikah tapi tidak menghasilkan keturunan? percuma aja kamu jadi orang kaya dengan harta berlimpah." Intan yang mendengar perkataan ibu sudah mulai menitikkan air matanya. "Ibu keluar dulu jangan disini aku mau bicara berdua sama intan." Aku mengusir ibuku dan mengajak intan masuk kekamar. "Maaf ya ibuku bersikap egois seperti itu," kata ku berusaha menenangkan intan. Aku sedikit prihatin dengannya. "Mas.. aku gak mau dimadu.. aku juga gak mau di ceraikan. Aku takut orang tuaku akan marah mengetahui rumah tanggaku yang hancur.." Intan memohon padaku untuk tetap mempertahankan dirinya didalam hubungan ini. "Iya aku akan cari solusinya..." ucapku seraya mengelus pundaknya. "Mas kita sewa rahim wanita lain saja untuk bisa menyenangkan ibu, bagaimana?" Mendengar usulan intan awalnya aku tidak setuju tapi aku berusaha untuk berpikir jernih ibu ingin anak jika aku adopsi mungkin ibu akan pilih kasih tapi kalau menyewa mungkin ibu tidak akan tau, "Baiklah." Akhirnya aku menyetujui usulan intan. Disanalah aku mulai mencari keberadaan Nadia wanita satu-satunya yang bisa aku andalkan. Flashback off Intan menganggukan kepalanya mendengar jawabanku, "Aku mau ada pengajian, ini aku udah naruh makanan dikotak makan kamu anterin ya buat dia. Semoga dia suka sama masakanku." Intan perlahan melangkah menuju kamar untuk bersiap-siap. Aku lagi-lagi hanya bisa menganggukan kepalaku. Aku menyuap nasi sesendok demi sesendok sampai makanan yang ada dipiringku habis segera ku cuci dan ingin bergegas untuk mandi. "Aku berangkat dulu ya," kata Intan seraya mencium pipiku. Dia wanita yang cukup agresif sedikit berbeda saat aku bandingkan dengan Nadia yang dulu. Intan melambaikan tangannya hingga berjalan didepan pintu. Selesai mencuci piring aku kekamar mandi untuk membersihkan diri. "Segarnya," kata ku seraya mengeringkan rambut lalu aku sholat magrib dan isya. Melihat kotak makan yang ada dimeja aku teringat perkataan Intan yang menyuruhku untuk memberikannya pada Nadia. "Bisakah aku diam sejenak?" tanyaku pada diriku sendiri. Aku memilih untuk duduk terlebih dahulu. Aku mengambil ponselku untuk mengechat Nadia. 'Apa kamu ada dirumah?' by Deva. 'Tidak aku ada disebuah villa milik orang.' by Nadia. Aku tertawa sambil memegang keningku, "Apa dia sedang ngelawak?" 'Kamu udah makan?' by Deva. 'Belum ini disini tidak ada makanan matang jadi aku baru bersiap untuk masak.' by Nadia. Tidak ku jawab lagi pesan dari Nadia. Hanya ku lihat dari bar notifikasi kemudian aku bergegas untuk ketempat Nadia mengantarkan makanan. Selesai mengunci pintu aku langsung mengendarai mobilku. Dijalan aku melihat ada dagang martabak manis (terang bulan) makanan kesukaan Nadia. Ku berhentikan mobilku dipinggir jalan tidak jauh dari dagang tersebut. "Mas beli terang bulannya satu." Mendengar pesananku pedagang itu menganggukan kepalanya mengerti. Aku duduk sambil melihat-lihat sekeliling. "Rasa apa mas?" tanya pedagang terang bulan padaku. "Keju." "Ada tambahan toping lagi?" "Keju kacang mas." Nadia sangat menyukai keju dan kacang semoga dia suka dengan makanan yang aku beli. "Berapa mas?" tanyaku saat pedagang itu menyodorkan kresek pesananku. "Delapan belas ribu." Aku memberikan uang dua puluh ribuan pada pedagang. "Mas gak ada susuk." "Ambil aja." Aku segera masuk kembali kedalam mobil menuju Villa. Tiba akhirnya aku di Villa. Sepertinya suara mobilku tidak terdengar hingga dalam karena sama sekali tidak ada penampakan Nadia akan keluar dari dalam. Aku ingin mengetuk pintu tetapi ku hentikan tanganku, "Buat surprise gimana?" tanyaku pelan. Aku menekan knock pintu namun ternyata pintunya dikunci untungnya aku membaca kunci villa. Perlahan aku masuk kedalam, "Apa dia ada didapur?" tanyaku karena sama sekali Nadia tidak mendengar ada seseorang masuk dari pintu depan. "Kalau begini Nadia bisa dalam bahaya seandainya seseorang berhasil membobol pintu." Sedikit kecewa saat Nadia sama sekali tidak was-was berada didalam villa. Benar saja Nadia berada didapur yang keberadaanya jauh didalam dari pintu depan. "Lagi masak apa?" "Ah omma astaghfirullah," pekik Nadia terkejut. Astaga apa dia baru saja menonton drama Korea sampai kata omma harus dia ucapkan biasanya juga emak. "Kamu kenapa bisa masuk? bukannya aku kunci ya pintunya?" tanya Nadia heran saat aku sudah berdiri dihadapannya. "Iya aku bawa kunci cadangan." "Ouh..." Nadia masih fokus membalikan telur dadar itu diatas teflon. "Masak apa?" tanyaku lagi sepertinya dia tidak menghiraukan pertanyaanku. "Masak omelette," jawabnya singkat memindahkan masakannya kepiting sepertinya sudah matang. Aku baru tau Nadia bisa masak karena dulu dia selalu bermusuhan dengan kompor. Dan yang dia masak adalah masakan kesukaan ku, "Itu makanan kesukaan ku," kataku mengingatkannya. "Ah iya kah? tapi aku cuma masak satu dan gak ada nasi jadi ini cuma buat aku aja," ledeknya dengan senyuman. Aku tersenyum melihat dia yang tidak begitu judes dihadapanku, "Iya-iya," jawabku pasrah. Bisa seakrab ini aja aku udah senang kembali dengannya bisa berbicara seperti biasa itu adalah hal yang sulit aku lakukan sejak putus dengannya. Nadia menahan tawanya, "Sepertinya ada kambing kelaparan disini karena tidak tega dan aku ini baik hati jadi aku bagi aja." Dia mengambil piring lagi dan membagi dua gulungan omelette yang dia buat. Nadia.. Aku hanya bisa mengaguminya dalam diam. Aku memberikan tas kresek yang sejak tadi aku bawa, "Ini tadi istriku menyuruhku untuk memberikannya padamu." Seketika wajah yang tadi penuh senyuman berubah menjadi muram sepertinya ada rasa tidak senang saat aku menyebut kata istriku. Dia membuka kotak makan dan kotak terang bulan yang aku berikan. "Kalau ini sih kayaknya bukan istrimu yang masak." Terdengar ngeledek tapi kenyataannya benar, "Iya aku beli tadi dipinggir jalan." "Hahah." Dia keceplosan tertawa terlihat karena dia langsung menutup mulutnya. "Mau gak?" Tanyanya memberikan potongan terang bulan padaku. "Enggak usah kamu aja yang makan," tolak ku karena memang aku udah kekenyangan. "Baguslah tau aja aku pelit hahahha," katanya dengan tawa ria.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN