Syifa dan Alaska
Di koridor, seorang gadis berjalan tergesa-gesa dengan menundukkan kepalanya, sehingga wajah ayunya tertutupi rambut yang ia gerai. Ah ... jangan lupakan masker hijau yang tidak pernah terlepas dari wajahnya. Sebut saja dia Syifa, Syifa Maurice.
Tak memperhatikan keadaan sekitar, Syifa terus berjalan cepat agar lekas sampai di kelas terakhirnya untuk satu tahun terakhir ke depan.
Syifa benci situasi ini, di mana semua orang akan memandangnya. Banyak dari mereka yang penasaran akan Syifa, tapi tidak berani menanyakan langsung. Jika nekad, sama saja dengan menjemput ajal sendiri.
Tanpa dia sadari, tak jauh di depan sana ada seorang pria tampan. Pria yang selalu ada untuk Syifa.
“Aduh ...” Syifa meringis merasa dahinya terbentur.
“Kenapa nunduk lagi, hm? Alaska kan udah bilang jangan takut kalo mereka liatin Syifa.”
“Aska?” kaget Syifa saat tau kalau yang ditabraknya adalah Alaska.
Alaska tersenyum hangat pada gadis itu, mengacak rambut Syifa yang tergerai. Tatapan tajam dari Syifa menyala, Alaska hanya terkekeh melihatnya.
“Syifa kalo jalannya sambil nunduk, itu bakalan bikin mereka tambah ngeliatin.”
Syifa kembali menunduk dan bersuara dengan lirih, “Syifa takut, Aska ....”
“Kenapa harus takut? Mereka juga gak akan makan Syifa,” ungkap Alaska dengan nada sok serius.
“Resek banget, sih, Aska!” Syifa mendesis, tak habis pikir dengan pikiran Alaska.
“Lagian, ya, kalaupun ada, siapa juga yang mau makan Syifa? Syifa itu kurus kering gak ada daging!” jelas Alaska disertai tawanya yang membuat orang di sekitar menatap aneh mereka berdua.
“Aska belum pernah rasain nelen kaktus, ya?!”
***
Tring!
“Alhamdulillah, Gusti. Kantin, yuk!” ajak Keke yang sedari tadi memperhatikan guru.
Ralat, bukan guru yang Keke perhatikan, tapi jam dinding yang ada di atas papan tulis.
Keke langsung menarik tangan Syifa saat sahabatnya itu mengangguk setuju.
Sampai dikantin, Keke dan Syifa menuju stan kang Maman.
“Mang, nasgornya satu seperti biasa, ya!” teriak Keke dengan suara cetar membuat orang sekelilingnya menoleh ke arahnya.
Syifa yang ada di samping Keke menutup telinga dan merutuki sahabatnya itu, Keke cuma menyengir tak berdosa.
“Syifa mau apa? Biar Keke yang pesen.”
“Mie aja deh, Ke.”
Gadis yang tertutup wajahnya menengok kanan- kiri memperhatikan sekelilingnya seolah sedang mencari seseorang. Dan Keke tahu siapa.
“Emang gak pa pa, Syi? Awas kena siraman rohani lagi, lho, ya!”
Mendengar perkataan Keke, Syifa menyengir membuat matanya melengkung ke atas. Melihat itu Keke hanya menggelengkan kepalanya.
Keke tahu, di balik masker itu, Syifa sedang menciptakan sebuah senyum yang sangat manis. Keke sering melihat senyum itu, jika mereka berada di ruang tertutup yang hanya ada mereka di dalamnya.
"Mang, tambah mie gorengnya satu porsi. Sekalian tolong diantar ke tempat seperti biasa, ya!”
“Siap, neng Keke!”
Setelah memesan makanan, Keke menggandeng lengan Syifa menuju ruangan pribadi mereka berdua di lantai dua kantin.
Keke adalah anak pemilik sekolah, dan Syifa adalah sahabatnya dari kecil. Satu fakta lagi, selain orang tua Syifa, Keke juga termasuk orang yang tahu alasan kenapa Syifa selalu menutupi wajah ayunya.
Keke minta kepada ayahnya untuk membuatkan sebuah ruangan di kantin. Agar Syifa bisa membuka maskernya, tanpa ketahuan orang lain termasuk Alaska.
Di ruangan itu, sudah ada Syifa dan Keke yang sedang tertawa karena candaan yang dilontarkan Keke, sambil memakan pesanan mereka yang sudah diantar Mang Maman tadi.
"Syi, kenapa enggak bilang aja, sih, alasan Syifa pake masker s****n itu ke Alaska?”
Syifa mendesis pelan saat Keke mengatakan maskernya adalah masker s****n.
“Nanti,” kata Syifa.
“Terserah Syifa, deh. Tapi inget, ya, Alaska juga pasti mau tau alasan Syifa pake masker terus!” lontar Keke dangan nada yang serius.
“Iya iya, Syifa bakalan kasih tau kalo timing-nya pas!”
“Halah gegayaan banget!”
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi dari lima belas menit yang lalu, Alaska yang sudah lama menunggu Syifa di parkiran, akhirnya memutuskan menyusul ke kelas gadis itu.
Ah, pantas saja Syifa belum menyusulnya, ternyata bu Tutik selaku guru sejarah kelas IPA baru saja keluar dari kelas.
Alaska bersandar di dinding depan pintu sambil memainkan ponselnya sembari menunggu Syifa keluar.
“Aska, ayo pulang!”
Suara itu membuat Alaska mengangkat wajahnya lalu tersenyum. Ya, dia adalah Syifa.
“Keke gimana?” tanya Alaska saat melihat Keke ada di samping Syifa.
“Keke pulang sama pacarnya. Ah, itu Fian!” seru Syifa saat melihat Fian keluar dari kelas sebelah.
“Oke kalo gitu, ayo!”
“Ke, Syifa pulang dulu, ya!” pamit Syifa pada Keke saat Alaska sudah menarik tangannya.
“Oke!” ujar Keke dengan membentuk bundaran menggunakan ibu jari dan telunjuknya, lalu berlari menuju Fian.
“Syifa mau langsung pulang dulu atau gimana?” tanya Alaska.
“Terserah Aska deh, Syifa ngikut aja.”
“Mau ke toko boneka? Aska belikan!”
“Boleh?" tanya Syifa antusias.
“Boleh, dong. Apa sih yang enggak buat calon isteri?”
***
“Aska, Syifa mau boneka panda raksasa!”seru Syifa sambil memperagakan ukuran boneka menggunakan tangannya.
Melihat Syifa yang sangat bersemangat, Alaska tersenyum tipis. Ia menggenggam jemari Syifa dan membawa gadis bermasker itu menuju toko boneka.
Syifa tak henti-hentinya memutari rak boneka, banyak sekali macamnya sampai Alaska bingung sendiri melihat semua boneka itu. Sejak memasuki toko itu, mata hijau Syifa terus berbinar-binar. Seakan menemukan puluhan ton batang emas.
Alaska menggelengkan kepala melihat tingkah gadisnya. Gadisnya? Ya, Syifa adalah pacar dari Alaska.
“Aska! Syifa mau ini, ini, ini, sama yang ini!” serunya gadis itu menunjuk boneka Panda dengan ukuran yang lebih besar dari tubuhnya, dan juga tiga boneka panda dengan ukuran lebih kecil.
Alaska membulatkan matanya kaget. “Yakin mau beli semua?” tanyanya.
“Iya, yakin banget!” jawab Syifa mantap.
Mana bisa Alaska menolak permintaan gadis cantik itu, walaupun uangnya akan terkuras habis, Alaska rela demi melihat Syifa bahagia.
“Ya udah, kita beli.” putus Alaska pada akhirnya, lalu menaruh empat boneka tersebut di troli besar yang sudah dia bawa dari tadi.
Syifa mengambil satu boneka pandanya yang berukuran kecil lalu dipeluk, ia pun kemudian kembali berkeliling. Alaska lagi-lagi menghela nafasnya dan mengikuti Syifa dari belakang.
“Aska, sini!”
Karena namanya dipanggil, Alaska pun mendekati gadisnya itu.
Syifa menyuruh Alaska menunduk. Alaska sangat patuh, pria itu menundukkan kepalanya. Syifa tersenyum dan kemudian memakaikan bando panda di kepala Alaska, dan di detik selanjutnya tawa Syifa meledak.
Alaska hendak melepas sesuatu yang ada di kepalanya, yang dia pun tidak tahu apa. Namun tangan Syifa menahannya, Syifa menggeleng tanda tidak memperbolehkan Alaska membukanya. Dan Alaska? tentu saja hanya menurut.
“Aska lucu, deh!”
“Masa?”
“Iya, Aska lucu pake itu,” cakap Syifa membuat Alaska tersenyum.
“Aska tau monyet? Aska lucunya kayak gitu.”