bc

Tuan Hujan & Nona Senja

book_age16+
1
IKUTI
1K
BACA
badboy
brave
student
sweet
brilliant
genius
campus
city
first love
wild
like
intro-logo
Uraian

Aku memang tak pandai merangkai kata, menyulam kalimat indah untuk mengungkapkan betapa dalam perasaanku padamu, lelaki pecinta hujan yang pernah kutatap malu-malu. Tapi percayalah, aku mencintaimu sebanyak tetesan hujan yang jatuh, sedangkan mungkin saja kau mencintaiku sesingkat senja. Seperti hujan, aku jatuh cinta berkali-kali, juga seperti senja, kau jatuh cinta kemudian pergi.

- Lycoris Abhiyodha Haditama

Aku menyukai hujan, tapi aku terlihat lebih mirip dengan senja, yang datang dan pergi tepat waktu. Aku membenci malam yang selalu merebutmu dariku. Sayangnya, aku datang dengan rasa yang tak selalu sama, suasana yang berbeda. Meski aku yang kau cintai, aku tak merasa pantas untuk selalu menemani canda tawamu. Karena aku juga hujan, yang memilih sakit karena terjatuh berkali-kali karena tahu ada bumi yang membutuhkanku.

- Dalfon Gwaltafwyn Harendra

chap-preview
Pratinjau gratis
1. Paman Kesayangan
Aku memang begini, terpaksa mengutarakan rindu ketimbang menahan rahasia itu dalam diamku. Berharap kamu mau meluangkan waktu, untuk memelukku hangat, seperti 5 tahun yang lalu. ||| Oris membanting pintu kamarnya dengan raut masam, makan malam yang seharusnya menyenangkan dengan kedua orang tuanya, mendadak batal karena Tyaga mendapat telepon dari rekan kerjanya. "Jengkelin banget, sih! Oris kan cuma pengen makan bareng, padahal ini 'kan hari minggu," dumel Oris, ia langsung melemparkan tubuhnya ke ranjang dengan gerak pelan. Ia menatap langit-langit kamarnya yang tampak indah dengan lampu kristal yang tergantung. Oris tersenyum kecil, membayangkan mempunyai hewan peliharaan mungil yang bersayap, yang bisa membawa kamera kecil dan terbang di sela-sela yang tersisa di antara kristal lancip. "Alangkah menyenangkannya," batin Oris mengandaikan, tiba-tiba ia merasa kesepian. Ponselnya yang tergeletak di atas nakas tiba-tiba berdering, membuat lamunannya terpecah. Ia segera bangun dan meraih ponsel tersebut dengan rasa malas, tapi mood-nya segera naik ketika melihat nama penelpon. "Onkle Eugene!" sorak Oris tepat setelah ia menjawab panggilan telepon. Sosok di seberang sana terkekeh, "Hai Oris, tampaknya hari-harimu di sana sangat menyenangkan, ya? Kau merindukanku?" sapa Eugene. Oris menghela nafas, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdetak terlalu kencang. "Jahat banget, sih, Onkle! Kenapa jarang telepon?" rengek Oris menahan tangis. Pamannya yang satu itu sudah tidak menelponnya dalam kurun 1 bulan terakhir. Eugene tertawa lagi, tawa yang telah menjadi candu Oris selama ini, tawa yang membuat Oris semakin jatuh cinta pada pamannya itu. "Onkle!" jerit Oris jengkel. Eugene tertawa lagi, kali ini terdengar lebih halus dari sebelumnya. "Begini Oris, aku sedikit sibuk akhir-akhir ini. Bukan aku melupakanmu, tapi aku benar-benar tak bisa meluangkan waktu sama sekali," papar Eugene. Oris dongkol, "Terserah deh!" "Oris," panggil Eugene pelan, ia tak yakin jika Oris benar-benar ngambek padanya. Oris kembali menghela nafas, ia mencengkeram kerah crop top-nya untuk melampiaskan kegugupannya. Wajahnya sudah semerah udang rebus sekarang, "Ya?" "Pertanyaanku tadi belum kau jawab, loh!" "P.. pertanyaan? Pertanyaan yang mana, Onkle?" tanya Oris patah-patah. Ia mencoba mengingat kembali apa saja yang Eugene katakan padanya. "Aku tadi bertanya, apakah kau merindukanku? Kau sedang tidak fokus, ya? Cowok mana yang membuatmu kehilangan konsentrasi seperti ini?" goda Eugene yang membuat wajah Oris muram. "Oris kangen, tapi jangan tanya deh! Percuma juga, ga bakalan datang!" sentak Oris. Air matanya meluap, ia merindukan pelukan hangat Eugene. "Oris," panggil Eugene khawatir, "Apa kau menangis?" Oris menjerit marah, "Kalaupun Oris menangis, apa Onkle akan peduli?! Tidak kan?" Eugene merasa dadanya diremas oleh tangan tak kasat mata, "Oris, tentu saja aku peduli. Oke, jadi kau merindukanku, aku akan ke sana," putus Eugene. Oris terdiam sejenak, lalu menjauhkan ponselnya dari telinganya dan menatap layar ponselnya tak percaya. "You're not lying to me are you?" "Of course not, Oris! Aku tadi menghubungimu karena akan mengabarimu bahwa aku akan ke sana, siapa tahu kau malah merindukanku dan menangis," tutur Eugene dengan nada yang terdengar sangat menyebalkan di pendengaran Oris. Tapi Oris tak peduli, ia hanya ingin bertemu dengan Eugene. "Kapan kau akan datang?" tanya Oris tak sabar. Eugene tersenyum tipis, "Aku sedang dalam perjalanan ke sana!" "Really?!" jerit Oris, matanya membulat sempurna. "Aku tak pernah berbohong padamu, Oris. Tenang saja, aku tak lupa membawakan oleh-oleh untukmu," ucap Eugene. Oris bersorak kegirangan, "Makasih, Onkle! Terbaik deh!" Eugene mengangguk meski tahu bahwa Oris tak akan dapat melihat anggukannya. "Aku tutup dulu telponnya, Oris, aku sedang menyetir, aku akan datang sekitar setengah jam lagi," terang Eugene. "Oke, bye Onkle!" "Bye, Oris!" Setelah mengatakannya, Eugene langsung menutup teleponnya, merebahkan kepalanya ke setir dan menghela nafas. Bertemu keponakannya yang amat cantik itu membuat jantungnya memompa darah terlalu cepat, ia sudah pergi 5 tahun ke Australia untuk menghilangkan perasaan ini, tapi tampaknya beberapa masih tersisa. Sepertinya ia perlu mengukuhkan hatinya untuk menikah dengan seseorang agar ia tak terpengaruh oleh perasaan sederhananya pada Oris. Sedangkan Oris langsung bangkit dan berlari ke kamar mandi, ia menyelesaikan ritual mandinya dengan cepat dan berjalan cepat ke arah hair dryer untuk mengeringkan rambutnya. Setelah itu ia mengacak-acak lemarinya agar menemukan pakaian yang cocok untuk bertemu Eugene. Ia mencocokkan dirinya dengan dress-nya satu per satu di depan cermin. Pilihannya akhirnya jatuh pada Lace dress berwarna broken white, sebuah pita mungil yang melingkar di bagian pinggangnya nampak mempermanis penampilannya. Setelah mematut sebentar, Oris berlari ke arah kotak perhiasan dan mengambil sepasang anting mutiara dan mengenakannya. Lalu mencomot sebuah hair comb pins dan memilin rambutnya. Ia benar-benar merasa sangat cantik dan elegan hari ini. Sembari mengisi waktu, Oris duduk di balkon kamarnya yang langsung menghadap ke gerbang utama mansion-nya, jadi ketika Eugene datang, ia bisa langsung berlari ke bawah dan menyambutnya. Sepoi angin sore membuat Oris terlelap dengan posisi kepala rebah di atas meja bundar. Menunggu Eugene sama sekali tak melelahkan, tapi nyatanya ia merasa lelah karena berusaha mengendalikan detak jantungnya yang berdetak tak beraturan. *** "Di mana Oris?" tanya Eugene pada Tyaga yang kini duduk di hadapannya. "Tentu saja di kamarnya, anak itu tak pernah keluar dari sana jika tidak makan atau sekolah," sahut Arsya yang berjalan ke arah mereka dengan membawa 3 cangkir teh di atas nampan. "Minumlah dulu, Eugene. Sejak kapan kau sudah di Indonesia? Penerbangan dari Australia ke sini sudah ditutup sejak tiga puluh enam jam yang lalu karena cuaca yang cukup buruk," tanya Tyaga heran, ia menyeruput teh buatan istrinya. Tyaga mengangguk, "Aku sudah di sini sejak tiga hari yang lalu," jawab Eugene mengakui. "Lalu, kenapa kau tidak mengabari kami, Eugene?" tanya Arsya heran. "Ayolah. Kak! Aku hanya ingin berlibur sejenak di kota ini," jawab Eugene malas. "Pergilah ke kamarnya, aku tak tahu dia sedang apa, tapi dia pasti akan senang melihatmu," perintah Arsya. Eugene mengangguk. "Kau sudah mengabarinya sebelum ini?" tanya Tyaga memastikan. "Ya, terjadi sedikit perdebatan di antara kami, tapi semuanya sudah selesai kok," jelas Eugene sungguh-sungguh, lagi pula ia tahu kalau Oris tak akan benar-benar marah padanya. Arsya menghela nafas, "Jangan membuatnya marah, oke? Akhir-akhir ini emosinya sulit dikendalikan," pinta Arsya yang cemas ketika mengingat, bahwa ia sering mendapati Oris menjerit jengkel di meja belajarnya. Eugene mengangguk, "Tentu, Kak." Setelah mengatakannya, Eugene bangkit diikuti tatapan kakak iparnya. Sesampainya di depan kamar Oris, Eugene menghentikan laju tubuhnya, sejenak ia bimbang apa yang nanti harus ia katakan atau apa yang harus ia lakukan. Eugene mengetuk pintu pelan, wajahnya tertunduk. Ia merasa seperti di depan pintu ruangan seorang bos. Ia merasa takut dan cemas, tapi juga tak sabar ingin menyelesaikan masalah ini segera. Merasa tak mendapat jawaban, Eugene mengetuk lagi, kali ini dengan ketukan yang lebih keras dari sebelumnya. "Oris, aku di sini, tolong buka pintunya." Tak ada jawaban, dan itu membuat Eugene mengerutkan keningnya. "Oris?" panggil Eugene lagi. Eugene langsung membuka pintu yang menang tak terkunci. Kamar yang rapi dan wangi menyambut Eugene, tapi tak ada gadis yang ia cari di sana. Eugene melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi yang kosong, lalu tatap matanya bertumpu pada pintu balkon yang terbuka. Eugene tersenyum, ia melangkahkan kakinya ke sana dengan keyakinan bahwa Oris ada di sana. Eugene mengintip dari samping pintu, ia berniat mengejutkan Oris. Senyum Eugene semakin mengembang ketika melihat Oris tertidur dengan kepala tertumpu pada tangan yang terlipat. Eugene menggeleng-gelengkan kepalanya, 5 tahun tak bertemu, keponakannya yang satu ini tumbuh begitu cepat. Eugene meraih pundak dan paha Oris bersamaan lalu mengangkatnya. Eugene membawanya ke arah kasur dan melepas jepit rambutnya sebelum menidurkannya, tangan Eugene bergetar ketika meletakkan kepala Oris di atas bantalnya. Eugene bangkit dan berniat untuk meninggalkan kamar tersebut, ia takut tak bisa menahan dirinya lagi jika ia terlalu lama di sini. Namun, pada langkah kedua, sebuah tangan halus nan dingin menyapa pergelangan tangannya. Membuat langkahnya berhenti.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.7K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.4K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.8K
bc

TERNODA

read
198.7K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
59.8K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook