Karyna menyetujui untuk pulang ke tempat Dave berada. Sebelum benar-benar mengurus kebutuhan diri masing-masing, mereka bertukar pandang sesaat. Entah bagaimana ucapan Dave yang lebih berperasaan membuat mereka canggung. Bahkan ketika mereka sudah terbiasa saling membuka kain penutup tubuh satu sama lain, suasananya menjadi berbeda. "Kamu mau mandi duluan?" tanya Dave sengaja memulai pembicaraan.
Tidak mau membahas soal ayah Karyna yang gila uang lagi. Masalah itu, Dave akan tetap menelusuri bagaimana baiknya. Sebab Karyna sebentar lagi akan menjadi miliknya dalam artian menjadi nyonya Mahendra. Skandal semacam itu tidak akan baik untuk Karyna. Maka,
Dave akan memikirkan cara lain yang tidak perlu diketahui Karyna nantinya.
"Bapak duluan saja. Saya bisa mengurusi diri setelah—"
"Berdua langsung kalau begitu. Saya merasa aneh, karena canggung sekali berhadapan dengan kamu sedari tadi. Lebih baik kita lebur kecanggungan ini dengan mandi bersama , begitu lebih baik, kan?"
Meski setengah tertegun, Karyna akhirnya bisa menyesuaikan diri. Dia mengangguk paham dan memutuskan menarik reseleting rok yang dipakainya. Melepaskan satu persatu kancing kemeja kerjanya dan sengaja hanya memakai bra serta celana dalam dengan warna senadanya
saja.
"Kenapa kamu membuka baju di sini? Kamar mandi masih cukup jauh." Sengaja Dave bertanya sembari menyentuhkan tangannya pada leher hingga permukaan d**a Karyna.
Pria dan fantasi dalam otak liar mereka, Karyna mulai membiasakan diri olehnya. Kenapa? Karena dia harus terbiasa dengan pola yang Dave suka. Untuk apa? Untuk bertahan selamanya menjadi nyonya Dave, jika tidak, akan ada banyak kemungkinan lain yang mendatangkan sakit hatinya. Menuruti Dave dengan cara penuh perdebatan—mudah tapi
sulit—adalah cara paling bagus untuk menarik ulur perhatian pria itu.
"Apa bapak suka memanfaatkan momen mandi bersama?"
"Hng? Apa ini ajakan, Karyna?"
Perempuan itu tidak mengangguk, pun tidak menjadi begitu terlihat murahan dengan langkahnya lebih dulu mengiring ke kamar mandi. Dave mengikuti di belakangnya dengan tangan yang sibuk melucuti pakaiannya sendiri.
"Berapa hari lagi waktu yang tersisa untuk kita menjadi atasan dan bawahan, Pak?" Karyna bertanya seraya mengambil dasi pria itu yang terlihat sulit dilepaskan karena fokus Dave adalah pada d**a serta bibir Karyna.
"Entahlah. Saya nggak peduli dengan waktu yang tersisa."
Karyna mengerling pelan pada atasannya. Tak langsung membuat segalanya mudah bagi Dave.
"Apa bapak akan berjanji untuk bersedia apapun yang terjadi, dengan semua yang akan kita jalani nanti?"
Dave mendengkus keras. "Kamu kembali dalam mode sulit didebat, Ryn." Namun, Dave tidak berhenti membiarkan Karyna mendominasi permainan. "Berikan dasinya, Karyna.
Maka saya akan menjawab kamu dengan perlahan."
Karyna mendongak. Saat itu juga bibir Dave menjamah miliknya, memagut dengan bunyi kecap yang keras. Sebagai perempuan yang cukup lugu dalam dunia semacam ini, Karyna menyukai sensasi dari bunyi serta rasa dari lumatan Dave.
Perlahan tanpa Karyna sadari betul, tangannya sudah diikat dibelakang tubuh perempuan itu. Membuat Karyna tidak bisa membalas meraba apapun selain menerima saja.
"Kamu mau tahu berapa hari lagi waktu kita sebagai atasan dan bawahan?" Dave mengulang pertanyaan perempuan itu.
Karyna menjawabnya dengan anggukan lemas. Dihimpit ke dinding dengan bibir serta jemari Dave yang kemanapun tanpa Karyna pahami akan sampai dimana tujuan bermuaranya.
"Jawaban saya," ucap Dave menahan-nahan. "Nikmati waktu berdua kita sebelum pesta yang akan saya minta disegerakan. Karena saya tidak bisa menunggu lebih lama menghujani kamu dengan kemungkinan besar akan kehamilan."
Oh. Lagi dan lagi pria itu ingat tujuan awalnya; Karyna harus hamil anak Dave segera.
*
"Mbak Karyn nggak sawan kerja langsung sama pak Dave?" tanya salah seorang karyawan bagian Finance bernama Amalyssa.
Jam makan siang ini Dave sudah diisi dengan jadwal pribadi dengan klien dari Jepang. Jadilah Karyna yang memiliki waktu bercengkerama dengan karyawan kantor lainnya. Tak peduli mereka semua bagian dari mana.
"Sawan kenapa, Lys? Pak Dave, kan ganteng!" sahut lainnya, Tinna.
Ada pro dan kontra mengenai sosok Dave di kantor, khususnya bagi karyawan perempuan. Ada yang suka, tidak sedikit pula yang mencibir. Sebab sosok Dave yang tampan tetapi bermulut pedas sudah pasti membuat sebagian karyawan perempuan benci sekali.
"Ihhhh! Ganteng doang kalo kebanyakan nyinyir dan ngeluarin api mulut naga, sih sama aja bohong! Sakit hatiiiii kalo cuma lihat ganteng doang!" Kata Amalyssa kembali.
"Saya nggak sawan, karena sudah kebal, Lys. Justru yang sawan pasti bagian kepala divisi yang hampir setiap hari kena semprot. Pak Dave selalu memanggil kepala divisi soalnya."
"Bener, Mbak Karyn! Tadi mas Heru aja langsung bete begitu keluar dari rapat kecil yang dipimpin pak Dave. Katanya, sengit . Pak Dave nggak bisa diajak lihat keuntungan dikit, maunya banyak terus."
Hampir semua yang di meja itu tertawa. "Yaiyalah, Lys. Mana ada CEO kepala licik begitu mau keuntungan sedikit, jelas maunya banyak."
Karyna mendengarkan banyak dari pembicaraan itu, menyuap terus nasi sotonya dan teh hangat pesanannya. Tanpa sadar bahwa belum selesai teh hangatnya kandas, bising yang semula ramai kini padam.
Karyna mengamati semuanya yang menunduk sibuk sendiri. "Kok diem?" tanyanya.
Mencoba mencari tahu, Karyna baru sadar setelah pundaknya ditimpa telapak tangan yang
lebar.
"Sudah menggosipkan saya? Bisa saya pinjam mbak Karyn -nya???"
Ya, ampun. Dave memang selalu ingin ditakuti.