Bab 1. Malam yang Menyeramkan
Bab. 1.
Salah satu hal yang tidak aku sukai di dunia ini adalah ... mulas tengah malam. Ditahan hanya akan jadi penyakit, akan tetapi malas sekali harus pergi ke toilet. Kalau toiletnya ada di dalam kamar seperti saat di kota, mungkin tidak masalah. Sekarang aku sedang tugas di pedesaan, sialnya lagi sedang pemadaman listrik.
Karena sore tadi sibuk membantu persalinan salah satu warga dekat rumah, aku tidak sempat mengisi air di toilet. Air di kamar mandi juga hanya tersisa sedikit, jalan keluarnya hanya harus pergi ke sungai.
Berbekal senter, aku nekad pergi sendirian. Sekarang yang aku takutkan bukan hanya buaya, akan tetapi juga penampakan. Duh, jangan sampai bertemu dengan hal-hal mengerikan seperti yang diceritakan teman-teman di puskesmas.
Air sungai sedang surut, malam sudah sangat larut. Sepertinya tidak ada orang lain yang pergi ke jamban selain diriku malam ini. Cahaya senter fokus kuarahkan ke jalan di mana aku melangkah, hingga tiba saatnya di dalam jamban.
Dinding jamban terbuat dari papan, atapnya hanya tertutup terpal. Kuarahkan senter ke bawah ku, menyorot air. Dadaku masih kian berdebar, Berharap tidak ada apa pun yang muncul dan semua hajat cepat berakhir.
'Cup ... cup ... cup ....'
Di suasana yang hening, suara itu benar-benar membuatku rasanya ingin segera berlari kencang. Jelas sekali terdengar, seperti seseorang yang tengah menikmati sesuatu. Ya, seperti temanku dulu saat sedang makan. Bersuara seperti sapi.
Lama aku berdiam diri, sampai suara itu tak terdengar lagi. Sepertinya berasal dari batang jamban yang di belakangku, mengintip pun tidak akan bisa melihat apa-apa karena gelap. Mana mungkin aku berani menyorot langsung dengan senter.
Setelah membersihkan diri, aku pelan-pelan keluar. Melangkahi tangga dengan cepat, naik ke tanah desa. Tak menoleh ke mana-mana, jalan terus saja sampai kembali ke depan rumah.
"Bu bidan?"
Hampir copot jantungku, mendengar seruan itu. Ternyata Kak Rina, hanya memakai kain sarung seperti saat akan pergi mandi. Wajahnya terlihat segar, tanpa ketakutan. Di dekat lehernya terlihat bekas jahitan, pasti itu karena kecelakaan yang dia ceritakan kemarin.
"Kak Rina?" sahutku.
"Iya, Bu. Bu bidan dari mana? Kok, buru-buru?"
"Dari jamban, Kak. Sakit perut, hee."
Dipanggil Bu oleh yang usianya lebih tua, rasanya aneh juga. Sudah kubilang tidak perlu panggil begitu, warga sini sepertinya sudah terbiasa.
"Oh, gitu."
"Kak Rina dari mana?"
"Eum, mandi."
"Mandi? Tengah malam gini?"
"Hehe ... Iya, panas soalnya."
"Oh, ya udah. Saya masuk duluan, ya."
"Iya, Bu."
Aku masuk ke rumah, Kak Rina juga berjalan ke rumahnya. Dirinya bahkan tidak membawa senter. Malam sedingin ini, malah dibilang panas. Ada-ada saja. Lebih baik aku tidak mandi, dari pada harus pergi mandi ke sungai tengah malam dan sendirian.
.
Saat menengok bayi baru lahir yang kubantu persalinannya kemarin, ternyata banyak ibu-ibu yang sedang berkumpul di depan rumah ibu bayi. Salah satu dari mereka seperti sedang menceritakan hal ngeri, sampai terus-terusan menggosok tengkuknya.
"Aku gak berani lihat lama-lama, takut didatengin. Jelas banget itu hantuwen lagi jilat-jilat kain yang ada di ember!"
"Dih, ngeri. Lagian Mak Dukun, bekas lahiran kok di rendam di batang. Saya lihat kemarin, darah semua itu isinya."
"Iya, Mak Dukun kan sudah agak males sekarang, apalagi lagi mati lampu. Kemarin katanya capek, jadi dibiarin aja."
Hantuwen? Jangan-jangan itu sumber suara yang kudengar semalam. Haih, untung saja aku tidak melihat penampakannya. Apalagi ibu-ibu itu bilang, rendaman kain bekas melahirkan itu benar ada di belakang jamban yang kupakai semalam.
"Berarti benar yang bapaknya debay bilang semalam," kata ibu bayi yang sedang belajar menyusui anaknya di depanku.
"Kenapa, Dek?" tanyaku.
"Seperti ada cahaya kemerahan yang lewat di atas rumah, dia lihat waktu nyuci bekas kopi di dapur. Katanya sih, udah biasa kalau ada yang melahirkan."
"Itu namanya hantuwen? Yang cuma kepala sama isi perutnya?"
"Iya, Bu Bidan."
Mulai sekarang, aku akan menjaga pola makan untuk tidak makan terlalu pedas. Memastikan air di toilet selalu ada, agar tidak perlu pergi ke sungai tengah malam lagi! Jangan sampai bertemu dengan Hantuwen atau yang lainnya. Hii.
*
Aku bukan orang baru di Kalimantan, mendengar tentang hantuwen atau kuyang juga bukan hal asing tentunya. Di daerah lain juga ada, bahkan aku juga pernah menonton film kuyang versi Thailand. Cukup pernah melihat di film, jangan sampai di dunia nyata.
Setelah selesai menengok bayi baru lahir, aku gegas kembali ke rumah praktek. Karena masih baru di desa ini, masih banyak warga yang memperhatikanku saat lewat. Sengaja kupelankan laju motor agar bisa membalas senyum ramah mereka.
"Bu Bidan!"
Kutengok kaca spion, Kak Rina yang memanggil. Perempuan beranak dua itu terlihat cantik pagi ini, di tangannya tergantung keranjang berisi sayuran. Kuhentikan motor, menunggunya mendekati.
"Iya, Kak?"
"Mau beli sayur? Ada putuk jagung sama kacang panjang," tawarnya.
Aku suka sayur, tapi malas sekali memasak. Mengingat Kak Rina dan suaminya yang bekerja tidak menentu, kuputuskan untuk membeli sebungkus putuk jagung darinya. Bisa ditumis bersama mie goreng.
"Terima kasih, Bu bidan."
"Duh, Kak. Jangan panggil, Bu, lah. Panggil aja Bidan Dea. Emangnya muka saya udah kayak ibu-ibu?"
"Hehe, iya, Bu, eh. Iya, Bidan Dea. Maaf, saya lupa terus."
"Hemm ... ya, udah. Saya mau pulang dulu."
"Iya, Bu. Eh, iya. Bidan Dea."
Seingatku, memang cuma Kak Rina yang sering mengajak ngobrol. Rumah kami dekat, kadang dia datang untuk sekedar singgah setelah menjual sayur. Dua hari yang lalu, Kak Rina datang memeriksa tensi darah karena sakit kepala. Takut darah tingginya naik. Ternyata darah rendah.
Tak hanya di sekitar leher, di tangannya juga banyak bekas luka. Dulu dia mengalami kecelakaan motor sepulang bekerja di kebun sawit, motor berkecepatan tinggi yang disetir rekannya tiba-tiba oleng. Tubuh Kak Rina terpelanting, mengenai batu dan ranting-ranting tajam. Bahkan di kepala juga ada jahitan meski kecil, pendarahannya parah dan membuatnya hampir mati.
Tak selesai bercerita, Kak Rina dipanggil-panggil oleh anaknya. Kak Rina orang yang ramah, terkesan polos juga. Namun, bisa kulihat kalau dia pekerja keras. Mungkin setelah kecelakaan dia tidak bisa bekerja terlalu berat, jadi lah hanya bisa menanam sayuran dan menjual hasilnya.
.
Tinggal sendirian di rumah tugas, rasanya membosankan. Apalagi rasa ngeri yang kadang bisa menghampiri, untungnya di sekitar rumahku sudah banyak rumah warga juga. Walau beberapa jarang berpenghuni karena ditinggal bekerja ke pertambangan emas.
[Andin, gak nginep di rumahku, kah?]
Kukirim pesan pada sahabatku yang tinggal di desa sebelah. Tak kusangka gadis kota seperti dia akhirnya tinggal di desa juga.
[Dih, udah lupa, ya, kalau aku udah nikah?] balasnya.
[Malam ini doang, lagi takut, nih.]
[Ogah. Makanya cepetan nikah!]
[Mulutmu lebih menakutkan!]
Andin membalas dengan emoticon tertawa, lalu tiba-tiba video call.
"Lagi ngapain, Dea?" tanya Andin. Kulihat dia masih memakai daster dan handuk terlilit di kepala.
"Baru mau masak nasi," jawabku. Memperlihatkan rice cooker yang sudah kuisi segenggam beras.
"Dikit amat, pantas badan kamu kayak lidi!"
"Huh, sialan emang!"
Andin tertawa keras, padahal dia masih tinggal di rumah mertuanya. Dari wajah dan lengannya yang makin berisi, mungkin dia sudah hamil anak pertama.
"Kata kamu tadi lagi takut, ada apa? Ada yang ngintipin rumah kamu, ya?"
"Hemm, gak. Semalam ada hantuwen, waktu aku turun ke jamban."
"Hantuwen? Serius? Kamu lihat beneran?"
"Aku sih, gak lihat. Cuma dengar suaranya doang, lagi jilat-jilat kain bekas lahiran."
"Waduh, terus?"
"Ya, ternyata ada yang liat penampakannya. Ngeri tau, kamu ke sini lah, temenin aku!"
"Ogah, ah! Lagian ngapain takut, sih, ama begituan?"
"Ya, takut aja pokoknya."
"Eh, eh, itu di belakang kamu apa, Dea? Kayak ada orang, ya?"
"Hem, mulai, deh. Mau nakutin! Masih pagi, Andin!"
"Beneran, itu di belakang, dih, ngeri ah!"
Andin langsung memutus video call, sukses membuat dadaku kembali berdebar gugup. Aku langsung melihat ke belakang, tidak ada apa-apa. Hanya ada lemari kompor dan tumpukan cucian piring yang masih malas kubereskan.
[Gak ada apa-apa juga, dasar!] kembali kukirim pesan untuknya.
[Emang gak ada apa-apa. Bwahahaha.] balas Andin, dengan rentetan si gundul yang tertawa terbahak-bahak.
Menyebalkan!
Aku yang penakut ini, susah sekali bisa cepat move on. Menonton film horror saja bisa berhari-hari lupanya. Mana mungkin aku pergi ke rumah Andin dan menginap di sana, di desa sekarang banyak yang sedang hamil tua. Aku pasti dibutuhkan, walau tak sedikit juga yang masih minta tolong pada dukun kampung.
"Bidan Dea ...?"
Suara itu ... Kak Rina. Mungkin aku bisa minta ditemani Kak Rina atau anaknya malam ini. Semalam saja Kak Rina berani mandi di sungai sendirian, teman yang pas.