Tujuh

1209 Kata
    Tita membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa sakit dan pusing. Ia perlahan bangun dari posisinya menjadi duduk.     “Sudah bangun?”        Mata Tita dengan cepat menatap laki-laki dengan tampang datar dan membawa nampan berisi teh.     “Kenapa kamu bisa di sini?” tanya Tita menutupi debaran jantungnya.     “Memangnya kamu pikir yang bawa kamu ke sini itu siapa? Nih minum teh manisnya,” ketus Angkasa.     Tita menurut, matanya tidak lepas dari pergerakan Angkasa yang sekarang tengah memijat lengannya sendiri. “Aku berat ya?”     Angkasa mendengus, namun pria itu tidak menjawab dan  lebih memilih mengambil tas yang du simpan di bawah kursi dan melemparnya ke atas ranjang.     “Mau ke mana?” tanya Tita panik melihat Angkasa yang berdiri. Ia masih menginginkan berduaan bersama dengan lelaki pujaannya itu.     “Pulang,”     “Angkasa!!” panggil Tita ikut berdiri namun ia terjatuh karena membentuk kaki ranjang.     Angkasa mendecih, ia menghampiri Tita dan membantu gadis itu duduk di ranjang. “Ngapain sih?”     “Aku.. aku.. enggak mau sendirian,”     Angkasa menghela napas. “Sebentar lagi ada Bu Indah datang dan kamu enggak akan sendirian.”     Tita menatap Angkasa, tangan gadis itu menggenggam erat ujung seragam Angkasa membuat Angkasa melirik sejenak. Ia berdiri dan kembali duduk di kursi samping ranjang.     “Aku tunggu sampai Bu Indah datang,” ujarnya malas.     Tita tersenyum lega. Ia menyisir rambutnya dengan tangan, berharap penampilannya tidak begitu buruk. Angkasa yang kini tengah berdua dengannya adalah sesuatu yang langka dan setidaknya Tita ingin Angkasa mengingatnya sebagai gadis yang cantik dan rapi.     Tita menatap wajah suaminya yang kini sedang tertidur pulas di sampingnya. Bermimpi tentang sama SMA membuatnya terasa aneh dengan adanya Angkasa di jarak sedekat ini.     Kenangannya hanya tentang Angkasa yang begitu ketus, pendiam dan terlihat tidak menyukainya. Bahkan pria itu pernah menolaknya secara terang-terangan ketika mereka satu kelompok ujian praktek seni rupa dengan alasan tidak ingin melukis wajah perempuan yang tentu saja membuat dirinya kecewa karena sudah membayangkan bisa menatap wajah Angkasa berlama-lama tanpa takut ketahuan.     Lalu, mengapa Angkasa yang berada di hadapannya ini begitu berbeda? Pria ini begitu memujanya, mencintainya dan memanjakannya. Sejak kapan Angkasa mencintai dirinya?     “Kenapa belum tidur?” tanya Angkasa dengan suara serak dan mata yang masih tertutup.     “Kamu tahu aku bangun?”     Angkasa membuka matanya dan mendekap erat tubuh Tita. “Aku tahu, kenapa? Mimpi buruk?”     Tita menggeleng dan tersenyum. “Sebaliknya, aku bermimpi sangat baik.”     “Mau cerita?”     Pipi Tita bersemu. “Hanya bermimpi tentang kita yang lagi di UKS, kamu nemenin aku sampai Bu Indah datang.”     “Kamu bikin aku khawatir,”     “Khawatir?”     “Aku kaget lihat kamu pingsan karena bola,” Angkasa membelai rambut Tita.     “Aku berat enggak waktu kamu gendong? Soalnya kamu mijit-mijit terus lengan kamu,”     “Enggak,”     “Bohong!”     “Aku benar,”     “Terus kenapa kamu mijit-mijit lengan kamu waktu itu?”     Angkasa membawa Tita ke dadanya. “Tidur, sayang.”     “Angkasa!” protes Tita.     “Bukan kamu yang berat, aku yang terlalu kurus.” Ujar Angkasa dengan nada gugup.     Tita tersenyum di pelukan suaminya. Hatinya menghangat mendengar ucapan manis dari mulut Angkasa. Ia mempererat pelukannya.     Yah, mekipun semua harapan dan cita-citanya tidak ada yang terwuju, tetapi ia bersyukur ia memiliki Angkasa.           Mama Amnesia     Tita menggigit bibirnya menatap roti hitam dengan berbentuk abstrak alias gosong. Niat hati ingin menyiapkan sarapan untuk suami dan putrinya, namun gagal. Ia tidak pernah memasak, sejak dulu selalu ada Bi Ica yang menyiapkan kebutuhan perutnya. Ia bahkan tidak pernah menginjak dapur jika memang tidak urgent.     Oh iya, ia ingat jika ia pernah memasak sekali ketika memang benar-benar lapar dan Bi Ica sedang ke pasar.     Pop Mie seduh! Itu termasuk memasak kan? Apakah ia sebaiknya menyiapkan pop mie saja? Apa tidak apa-apa sarapan dengan mie?     Tita mendesah frustasi dan membuang roti gosong ke tempat sampah. Ia menghentakkan kaki dan duduk di meja makan dengan kepala menelungkup di lipatan tangannya.     “Hey, kenapa di sini?” tanya Angkasa membelai rambut Tita.     Tita duduk tegap dan menatap Angkasa yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Pria itu duduk di depannya. Wajahnya begitu segar dan sangat tampan, membuat Tita tidak rela ditinggal kerja.     “Kamu yakin aku pinter masak?”     Angkasa mengangguk mantap. “Kamu chef terbaik di rumah ini,”     Tita mengangkat alis sebelahnya dan mengendikkan dagu ke arah roti gosong yang sudah di buang. “Kok aku bikin roti bakar aja gosong ya? Itu yakin aku yang masak?”     Angkasa menatap geli Tita yang cemberut. ...     Angkasa yang baru selesai mengikuti rapat antar ketua kelas, dengan langkah lelah berjalan menuju kelas untuk mengambil tas. Suasana sekolah sudah sepi karena waktu jam sekolah telah usai dua jam yang lalu. Ia ingin segera pulang ke rumah, mandi dan makan lalu tak lupa mengerjakan tugas besok.     PRANG!!     Langkah Angkasa terhenti ketika ia mendengar benda jatuh yang nyaring. Suara itu dari kelas memasak. Aneh , seharusnya tidak ada yang menggunakan ruang memasak di jam sepi seperti ini.     Merasa penasaran Angkasa perlahan mendekati ruang memasak dan membuka pintu dengan celah sedikit.     Ia melihat teman sekelasnya, Tita. Sedang apa gadis itu di sendirian di kelas ini? Angkasa membuka pintu semakin lebar begitu menyadari asap yang mengepul. Ia segera masuk, mengabaikan suara terkejut dari Tita dan dengan sigap mematikan kompor , membuka jendela agar asap keluar.     “Kamu ngapain sih? Bahaya tau? Mau bikin sekiolah kita kebakaran?” bentak Angkasa.     Tita menggeleng panik. “A-aku mau belajar masak!!” jawabnya dengan wajah pucat.     “Belajar masak? Sendirian?” Angkasa melangkah mendekati wajan yang sudah gosong dan menatap ngeri melihat potongan hitam yang sudah kering dan berbau. “Ini makanan?”     “Itu daging sapi,” gumam Tita jengkel.     Angkasa mengernyit menatap makanan yang malang itu. “Belajar masak langsung bikin daging?” Angkasa mendengus, membuang daging gosong itu dan dengan cekatan membersihkan wajan itu seolah-olah sudah terbiasa.     “Kamu suka daging kan?” tanya Tita yang menatap punggung Angkasa dengan pandangan memuja.     “Siapapun pasti suka makan daging,” jawab Angkasa diplomatis. “Lebih baik kamu pulang, udah sore memangnya orangtua kamu enggak cariin?”     Tita hanya diam, ia mencuci tangan dan mengikuti Angkasa berjalan keluar kelas memasak menuju kelas mereka untuk mengambil tas.     “Coba bikin dari yang mudah dulu, kamu bisa mulai dari bikin telur, goreng yang mudah-mudah, kenalin dulu bumbu dapur.” Ujar Angkasa begitu mereka terdiam cukup lama.     Tita menatap Angkasa. “Kamu mau cicip masakan aku?”     “Kalau enggak gosong kayak tadi, bolehlah.”     Tita tersenyum lebar. “Beneran?”     Angkasa menatap bingung Tita yang terlihat bersemangat. Ia memang sejak beberapa tahun ini sekelas dengan gadis yang terkenal kaya itu, tapi ini pertama kalinya ia benar-benar bicara dengan Tita. “Ya kalau enak,” ucap Angkasa dengan nada ketusnya yang kembali.     Tanpa di sadari pria itu, ucapan sederhananya merupakan motivasi Tita untuk memasak. ...             “Halo.. kok ngelamun?” tanya Tita melambaikan tangan di depan Angkasa yang terlihat melamun.             Angkasa menatapnya dengan lembut dan tersenyum. Ia meraih tangan Tita dan mengecupnya. “Pagi ini biar aku yang masak, kamu bangunin Aqis ya sayang.”             Tita mengangguk dan menunduk malu-malu, jantungnya berdetak cepat merasakan ciuman lembut di tangannya.             “Besok kita bikin sarapan bareng ya,” ajak Angkasa.             Tita mengangguk cepat dan berlari menuju tangga, meninggalkan Angkasa yang gemas melihat tingkah ABG istrinya.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN