“Dimana nih?”
“Jangan drama lo!” sambar Arin seraya melempar sebuah guling bayi pada Satria.
“Anjir, kanjeng ratu ada di kamar gue! Mau ngapain lo?”
Arin mendelik melihat Satria seperti lelaki polos yang tak berdosa, padahal jelas-jelas di rak buku pelajarannya berjejer majalah orang dewasa.
“Gue balik, besok lo jemput gue gak boleh telat!”
“Gue anter!” ujar Satria seraya bangkit dengan cepat.
“Gak perlu Sat, nanti darah rendah lo kumat, lo pasti pingsan lagi kaya tadi!” jawab Arin dengan wajah betenya.
Ya, beberapa waktu lalu Satria memang menawarkan diri untuk menggendong Arin sebab lutut Arin terluka, tetapi baru beberapa L
langkah Satria malah jatuh pingsan. Arin pikir dia mencekik Satria terlalu kuat hingga Satria kesulitan bernapas, ternyata Satria memiliki darah rendah hingga menyebabkan dia pingsan begitu saja.
Jadi, bukannya Satria yang menggendong dan mengantarkan Arin pulang, tetapi malah Arin yang menggendong tubuh bongsor Satria dan membawanya pulang ke rumah Satria. Rasa malu Satria tutupi dengan nyengir kuda, hal itu sudah biasa bagi Arin yang sudah sahabatan dengannya dari jaman mereka bayi dan pertemuan pertama mereka adalah di posyandu RT setempat.
Kali ini usia mereka lima belas tahun, artinya sudah lima belas tahun pula mereka berkawan. Satu sekolah, satu kelas, satu teman permainan tidak membuat keduanya bosan satu sama lain. Satu-satunya waktu yang memisahkan mereka hanyalah saat keputusan masuk SMA.
Kala itu keduanya bertemu di pos ronda, membeli cilok sambil menunggu teman-teman mereka yang lain tapi tak kunjung datang juga.
“Jadi lo keterima di SMK DPH, Rin? Mau jadi apa sih lo? Kata gue juga lo masuk SMA Zeni aja, Rin!”
“Gue kan udah pernah bilang mau jadi perawat, Sat! Lagian mau apa gue masuk SMA Zeni? Mau tadi abdi negara?”
“Ya kan perawat juga abdi negara!” sahut Satria dengan mata membulat persis seperti cilok yang sedang di makannya.
“Tapi di sana kan gak ada pengetahuan MIPA gitu, Sat!”
“Tapi tetep ada pelajaran ipa-nya kok. Ada biologi, fisika, kimia, nah lo nyari apalagi?”
“Gue pengen jadi perawat, Sat!” ulang Arin sekali lagi menegaskan sahabatnya itu.
Satria bergeming, begitupula dengan amang cilok yang menjadi penonton adegan perang dingin di antara mereka. Arin dan Satria sudah berbeda visi, mereka seolah tak bisa bersama lagi dan itu membuat Satria kesal.
“Lo tahu kan Rin, gue masuk SMK negri aja susah, apalagi masuk DPH? Lo gak nakar kemampuan otak gue, Rin?”
“Yang nyuruh lo masuk SMK DPH siapa, Sat? Gue gak pernah maksa lo buat lanjutin sekolah di tempat yang sama kaya gue, loh!” ujar Arin merasa kesal sebab perkataan Satria sebelumnya seolah memberatkan Arin dan menyalahkan Arin sebab Arin seenaknya sendiri daftar ke sekolah yang berbeda dengan Satria.
“Lo emang gak pernah maksa gue sih, Rin. Tapi lo tahu gak kalau gue takut di sekolah baru nanti gue gak punya temen, kan cuma lo yang betah jadi temen gue!”
Arin merasa tersentuh, dan dia malah jadi bingung, apakah dia harus mendaftar juga ke SMA Zeni? Atau semester berikutnya dia pindah saja ke SMA Zeni saja? Pasalnya Arin pun belum pernah berbeda sekolah dengan Satria, ini pertama kalinya bagi mereka sekolah berjauhan. Mungkin Satria hanya merasa takut dia tak akan memiliki teman sebab di SD dan SMP dia sangat aktif hingga di cap anak nakal, jadi temannya pun bisa dihitung dengan jari. Tetapi bagi Arin, dia sudah memiliki pikiran lain sebab dia memiliki perasaan untuk Satria, perasaan suka yang membuat Arin hampir hilang nalarnya.
***
Beberapa waktu berlalu, keduanya bertemu dengan seragam sekolah masing-masing. Arin nampak cantik berbalut baju putih-putih sementara Satria semakin keren dengan baju putih-abu. Dua minggu tak bertemu penampilan Satria terlihat beda, potongan rambut baru juga fisik yang menurut Arin semakin tinggi, sekarang saja tinggi Arin hanya leher Satria. Hal itu membuat Arin bingung, bagaimana bisa dia memiting batang leher sahabatnya nanti?
“Keren juga lo pake putih-putih, mirip kaya beras!”
“Bang Sat!” pekik Arin membuat Satria terkekeh. Arin murung dan menundukkan wajahnya sehingga Satria mengacak rambut Arin dengan gemas.
“Bercanda ibu perawat! Jangan manyun terus dong, masa perawat mukanya asem? Ya udah yuk naik! Gue anterin lo ke sekolah!”
“Lah? Kan kita beda jalur? Gue naik angkot aja!”
“Gak apa-apa dong, demi temen idup gue masa anterin doang gue gak bisa?”
“Bang Sat, nanti lo telat! Mau lo dihukum di hari pertama? Gue gak bisa nemenin lo nyabut rumput lagi loh!”
Satria terkekeh dan itu membuat jantung Arin meleleh, buru-buru Arin palingkan wajahnya sebelum Satria melihat wajahnya yang merah merona.
“Gak apa-apa. Daripada temen idup gue digodain cowok lain di angkot? Cantik gini sih, pagi-pagi udah bikin mata para pejantan melek aja! Buruan naek!”
“Apaan sih lo, Bang Sat!”
“Buruuu!” Satria menarik tangan Arin supaya gadis itu menaiki motornya, waktu itu Satria hanya mampu dibelikan motor ninja 2 tak warna hijau, penampilan motorya seperti capung dengan suara knalpot yang bising, tetapi tetap terkesan paling keren pada masa itu.
Sepanjang perjalanan Satria memberi amanat untuk Arin supaya di sekolah dia berbaur dengan teman-temannya, belajar yang rajin, jangan membolos dan jangan genit pada cowok lain. Berkali-kali Satria ingatkan bahwa jika Arin genit dengan pria lain, maka Satria akan cemburu. Satria memang selalu berkata seperti itu meski dia tak pernah mengungkapkan bahwa dia memiliki perasaan lebih pada Arin, sehingga hanya dengan ucapan dan perilaku Satria yang seperti itulah yang membuat Arin menjadi berdebar jika bersama Satria. Mungkin anak jaman sekarang akan bilang bahwa Arin baperan.
“Selamat datang di SMK Dwi Putri Husada Bogor. Wah, keren juga yah ni sekolah? Kayanya kalau gue sekolah disini masa depan gue bakalan cerah secerah baju seragam siswa-siswinya!”
Arin memukul bahu Satria setelah berhasil turun dari motor Satria dan menatap Satria dengan ekspresi wajah datar.
“Pergi sana lo! Udah jam tujuh kurang sepuluh, telat loh ntar!”
“Iya kanjeng ratu! Marah-marah mulu! Kalau ada apa-apa chat gue ya!” pamit Satria lalu melenggang dengan motornya.
Tepat seperti perkiraan Arin, Satria tiba di sekolahnya pukul setengah delapan dan dia menjadi personil siswa yang datang terlambat paling akhir setelah dua siswa lain. Satria melihat sepertinya dua orang itu juga siswa baru, terlihat dari baju seragam mereka yang masih baru juga. Yang satu tampilannya jamet tetapi badannya oke, dan yang satu lagi wajahnya cupu membuat Satria ingin julid saat itu juga.
“Aduh, ketek gue keram, bel pergantian kelas kapan sih?” keluh si pria berwaah jamet.
Mereka bertiga dihukum untuk berdiri di depan tiang bendera dan hormat pada bendera sampai bel pergantian kelas berbunyi. Satria berdiri di tengah kedua pria asing itu, ketika si jamet berkeluh kesah, satria menoleh ke kiri, melihatnya dengan tatapan datar.
“Sabar, kita tunggu keajaiban aja. Gue sih lebih milih dihukum cabut rumput, tapi sayang disini rumput ga boleh di cabutin.”
Kini Satria berbalik ke sisi kanannya mendengar si wajah cupu mengomentari.
“Kalian juga sering kena hukuman? Sama dong kaya gue!” ujar Satria dengan semangat sebab dia merasa menemukan temannya yang satu frekuensi.
“Serius? Nama lo siapa?” si jamet bersuara lagi.
“Satria, tapi … panggil aja gue Bang Sat!”
“Bang Sat? Wahahaha!”
“Nyengir lo? Lo siapa jamet??” tanya Satria dengan wajah julidnya.
“Gue Kurta, panggil aja Bang Kurt!”
“Untung bukan bangkrut!” cibir Satria sehingga keduanya terkekeh.
“Lo siapa?” mendapat pertanyaan dari Satria dan tatapan dari Kurta, pria cupu itu pun memberanikan diri.
“Gue Keenan, panggil gue bang Kee juga gak apa-apa!”
Dan gelak tawa terdengar dari Satria dan Kurta, mereka pikir kenapa panggilan mereka begitu lucu?
“Gue punya satu lagi temen yang panggilannya lucu juga, sinonim dari panggilan lu Kee!”
“Siapa?” tanya Kurta.
Tepat saat itu, teman yang di maksud Satria lewat dekat tombol bel sekolah, sehingga Satria bisa meminta bantuan temannya itu untuk membebaskan mereka bertiga dari hukuman hormat pada bendera.
“Kai! Bang Kai! Pencet tombolnya!”
Kaisar yang mendengar permintaan Satria dengan polosnya menekan saja tombol bel itu, sehingga bel pergantian kelas berbunyi dua puluh menit lebih cepat dari yang seharusnya. Satria, Keenan dan Kurta segera menurunkan tangan mereka dan merasa sudah terbebas dari hukuman mereka.
“Nah, itu dia temen gue, Dewangga Kaisar Bakrie, kalian panggil aja dia Bang Kai!” jelas Satria mengenalkan temannya yang tampan primadona saat SMP dan bibit siswa popular di SMA Zeni. Kala itu mereka tidak tahu bahwa guru piket datang menghampiri mereka membawa stik drum, siap untuk menghukum siswa nakal seperti mereka dan kali ini Kaisar ikut terseret masalah mereka sebab Kaisar menekan bel pergantian kelas sebelum waktunya.
“Dasar barudak bandel! Jangan pada lari, ya! Sini kamu!” teriak seorang guru yang tadi memberikan hukuman pada Satria, Keenan dan Kurta. Terkejut melihat hal itu, Satria segera mengajak Kaisar lari dan kabur bersama dengan dua teman barunya.
“Kai! Lari Kai! Selamatkan diri lo dari kucing garong!!!”
Keempat siswa itu berlari entah kemana, yang pasti mereka harus selamat dari kejaran sang guru. Mereka lari ke kantin sekolah dan mula menjalankan aksi ilusi buatan mereka. Keenan bersembunyi di balik gerobak baso, Satria berpura-pura menjadi ceu Yoyoh penjual nasi uduk dengan memakai serbet untuk dijadikan jilbab, Kurta bersembunyi di balik banner menu makanan Ceu Yoyoh dan Kaisar masuk ke gerobak bakso duduk bersebelahan dengan gas melon meski hatinya deg-degan, berdoa supaya gasnya tidak meledak.
Tak pernah mereka pikir bahwa hal itulah yang memulai pertemanan mereka sampai terbentuk sebuah geng berisi pria-pria absur, merekalah geng Kunchup.