“Rin Arin!”
“Arinnya belum pulang!”
Satria menundukkan wajahnya saat ia memanggil Arin di depan rumah yang memiliki teras cukup luas itu. Ini sudah beberapa minggu setelah mereka bersekolah di tempat yang berbeda. Ketika Satria menjemput Arin pulang, Arin pasti sudah pulang duluan. Memang wajar sebab sekolah mereka berbeda jalur jadi Satria pasti selalu telat menjemput Arin. Tetapi, setiap kali Satria datang ke rumah Arin, Arin pasti belum pulang sebab jalur angkot yang dinaiki Arin memiliki rute panjang sehingga pasti Satria duluan yang sampai rumah.
Padahal ada banyak hal yang ingin Satria ceritakan pada temannya itu. Dia bukanlah tipe pria yang suka bercerita lewat chat, juga tidak percaya diri jika mengirimkan voice note. Jadi jika Satria ingin bercerita pada seseorang, misalnya pada Arin seperti saat ini, maka Satria harus bertatap muka dengan Arin secara langsung.
“Bang Sat?”
Senyum Satria mengembang, wajahnya menjadi cerah saat melihat Arin tiba di rumahnya. Sebenarnya kaki Satria sudah keram sebab berdiri sekitar tiga puluh menit di depan pagar rumah Arin. Sengaja Satria tidak pulang ke rumahnya sebab ia ingin menceritakan berbagai hal yang dia alami saat itu juga.
“Rin gue mau cerita!” ucap Satria dengan antusias.
“Cerita apa? Nanti dulu, ya? Gue aja belom masuk rumah!”
“Yuk gue anter masuk!”
Arin menggelengkan kepalanya saat Satria mulai membukakan pintu gerbang rumah untuknya.
“Jadi gini Rin, lo tahu gak kalau gue sebenarnya udah punya temen. Yah meski temen-temennya cowok semua sih nama mereka juga luc–”
“Assalamualaikum!”
“Waalaikumusalam, lucu-lucu kaya panggilan kita tuh unik gitu! Karena panggilan kita yang unik, kita jadi cepet popular, jadi kita bikin geng! Geng kita cepet banget dikenal kaya geng-gengnya kakak kelas tahu!”
Arin mendengarkan Satria namun tidak terlalu menyimak. Satria bercerita dengan sangat antusias bahkan tak peduli Arin membuka sepatunya, salam pada Mamanya, bahkan sampai Arin ganti baju pun Satria tetap bercerita meski terhalang oleh pintu.
Begitu Arin selesai ganti baju, Arin segera mengisi perutnya yang sudah bergemuruh. Tentu dengan ditemani oleh Satria yang masih bercerita dengan hebohnya. Meski tak tahu bagaimana alur ceritanya, Arin hanya mengangguk-angguk saja. Sampai suatu ketika Arin menyuapkan sesendok nasi dan potongan kecil telur pada mulut Satria yang terbuka, sukses membuat Satria terbungkam.
“Makan dulu, Sat! nyerocos mulu lo kaya bajaj!” cibir Arin membuat Satria buru-buru mengunyah makanannya. Baru saja Satria akan menyanggah, Arin segera menahannya.
“Apa? Enak? Mau lagi?”
Karena dialihkan oleh pertanyaan Arin, fokus Satria jadi terbelah. Pada akhirnya dia memilih untuk ikut makan juga bersama Arin.
“Iya Rin, enak! Gue laper, boleh ikut makan juga gak?”
“Ambil sana!”
“Gak mau, pengennya disuapin sama lo kaya tadi!” pinta Satria seraya tersenyum manis.
“Dih? Ogah banget, gue!” tolak Arin dengan judes, padahal nyatanya dalam hati Arin dirinya hampir meledak mendengar permintaan Satria.
“Ayo dong, lagian biar gue gak usah cuci piring juga nanti!”
“Pemalas!”
“Bukan gitu! Itung-itung lo latihan jadi istri gue, Rin! Aaaaa~”
Arin hanya mampu menggelengkan kepalanya, tetapi pada akhirnya dia menyuapi Satria lagi. Dan karena hal itulah percakapan mereka berganti pada topik lain, padahal ada hal lain yang ingin Arin sampaikan juga pada Satria.
***
Waktu berlalu terasa begitu cepat sampai mereka naik kelas. Di tahun kedua, Arin yang bersekolah SMK dengan jurusan keperawatan menjadi tambah sibuk sehingga selalu pulang sore. Beberapa kali Satria menunggu Arin pulang di depan gerbang sekolah, sampai kadang magrib Arin baru keluar dari sekolahnya. Arin merasa tidak enak jika setiap hari harus merepotkan Satria seperti itu, jadi mulai hari itu Arin meminta dengan tegas pada Satria untuk tidak usah menjemputnya pulang sekolah lagi.
Permintaan Arin dikabulkan, akan tetapi hal itu malah memperjelas jarak diantara mereka. Jika dulu mereka sering bertemu setiap saat, kali ini berbeda. Setiap Arin pulang sekolah, Satria sudah keluar dengan teman-temannya. Chat dari Satria semakin hari semakin sedikit, membuat Arin sadar bahwa sahabatnya telah semakin jauh dengannya.
Pernah suatu ketika terjadi, saat Arin melihat dari dalam angkot pada sebuah warung kopi dimana anak-anak SMA sedang berkumpul. Disana Arin terkejut melihat Satria ikut duduk berkumpul dengan siswa lain, parahnya lagi Satria sedang menyesap sebatang rokok. Jujur Arin merasa kesal sebab Satria yang ia kenal bukanlah perokok seperti itu.
“Satria kenapa berubah, ya …?” gumam Arin ketika ia duduk di teras rumahnya memikirkan kejadian tadi siang waktu ia melihat Satria merokok di warung kopi.
“Berubah gimana? Gue berubah jadi power ranger gitu? Atau jadi ultramen?”
Arin terhenyak ketika orang yang sedang dia pikirkan tiba-tiba ada di sampingnya.
“Kenapa kaget gitu sih? Kaya abis ngeliat hantu. Terkejut ya kalau gue makin tampan?” tanya Satria seraya mendekatkan wajahnya pada Arin. Jelas Arin menoyor wajah Satria untuk menjauh, jika tidak bisa jadi keduanya saling mencium satu sama lain.
“Jauh-jauh lo, bau rokok!”
Mendengar hal itu, Satria segera mencium jari-jari tangannya sendiri. “Nggak ah, kan gue udah cuci tangan!”
Tetapi respon Arin adalah tatapan tajam sehingga membuat Satria beringsut mundur, ia yakin bahwa Arin sedang marah padanya. Secara ototmatis Satria melindungi lehernya, takut jika Arin menyerangnya secara mendadak dan memiting leher Satria tanpa aba-aba.
“Gue kan udah bilang, Sat, kalau gue gak suka cowok perokok! Gue maunya nikah sama cowok pinter, cowok rajin, cowok baik, syukur-syukur kalau dia sholeh!” tegas Arin yang diikuti anggukan ringan dari Satria.
“Ehm … okay, semoga lo dapetin suami kaya gitu, ya!” jawab Satria dengan kalem. Jawaban yang berbeda dari jawaban-jawaban sebelumnya membuat Arin mengernyitkan keningnya.
Biasanya Satria tidak menjawab seperti itu, biasanya Satria akan menjawab bahwa dia akan menjadi tipe suami yang terbaik bagi Arin dan meminta maaf, membujuk Arin sampai hati Arin melunak. Tapi sekarang? Arin merasa Satria berubah atau mungkin ada sosok gadis lain yang berhasil menempati hati Satria sekarang?
“Sat, gue boleh tanya?” tanya Arin kini berwajah serius menatap Satria.
“Apa?” Satria balik bertanya dan menatap Arin dengan seksama.
“Lo … udah punya cewek lain yang lo suka, ya?”