15

1411 Kata
“Lo … udah punya cewek lain yang lo suka, ya?” tanya Arin menyelidik. Tak ada jawaban apapun dari Satria sampai Arin harus menyenggol bahu sahabatnya itu dan membuat Satria terkekeh. “Apa sih? Lo cemburu ya kalau gue suka sama cewek lain? Cie-cie-cie~ kanjeng ratu cemburu!” goda Satria dengan wajah tengilnya sedikit memacu emosi Arin. “Gue piting lo ya, orang lagi serius malah dibecandain!” Satria masih saja terkekeh mendapat ancaman dari sahabatnya itu. Alih-alih menjawab, Satria malah mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri, menampilkan foto-foto random yang tersimpan di ponselnya itu. “Lo liat sendiri deh, ada gak gue nyimpen foto cewek? Ini temen-temen gue cowok semua, kan gue bilang juga apa? Cewek yang mau sama gue ya cuma lo doang, Rin!” “Apa sih?” tanggap Arin meski sejujurnya dia berharap-harap cemas saat menggeser setiap foto yang ada di galeri hp milik Satria. Perlahan tawa Arin pecah sebab melihat banyak foto-foto konyol yang tersimpan di ponsel temannya. Pantas saja jika Satria suka melawak, isi hp-nya pun lelucon semua. Ketika keduanya asyik ngobrol tentang geng Kunchup, sebuah pesan masuk ke ponsel Satria. Secara bersamaan mereka melihat siapa pengirim chat itu. “Vanila?” gumam Arin. Buru-buru Satria mengambil alih ponselnya dari tangan Arin hanya untuk sekedar membalas chat dari wanita bernama vanilla. “Katanya gak ada cewek lain yang mau sama lo kecuali gue? Katanya gak ada cewek yang lo suka, tapi kok chat-nya sambil senyam-senyum gitu?” cibir Arin sambil menderlingkan kedua matanya, ia merasa gondok sebab Satria seperti membohonginya. “Tuh kan cemburu lagi, kan? Ini Vanila adek kelas gue! Dia lagi mau coba deket sama Kaisar, makanya dia minta info tentang Kaisar ke gue, Rin! Ah aelah lo mah gue chat gini doang juga cemburu? Liat deh bahasa ni cewek, lucu banget kan? Ini sih pasti bakal cocok banget sama Kaisar. Nih Rin liat! Ini vanilla sama Kaisar, cocok kan?” Arin melihat sebuah foto yang Satria tunjukkan padanya dengan malas. “Ya kenapa lo harus ada di tengah-tengah mereka berdua Malih?” “Ye … dibilangin kalo gue mak comblangnya mereka!” jawab Satria menegaskan. “Idih, mak comblang kok masih jomblo? Gimana bisa orang lain percaya?” “Gak apa-apa mereka liat gue jomblo. Yang penting gue udah punya stok jodoh!” “Siapa?” Arin menaikkan sebelah alisnya, ingin tahu siapa jodohnya Satria. Dan dengan PD-nya pria itu menjawab, “Ya elo lah, Haeezellya Karin Tsalis! Siapa lagi stok jodoh yang udah Tuhan siapkan buat gue kecuali elo!” “Enak aja lo kalo ngomong, jangan sampe gegara ucapan lo gue jadi sulit jodoh ya, Sat!” Detik berikutnya Arin sudah tidak tahan lagi untuk memiting batang leher Satria dengan segera sehingga pria itu berontak, takut darah rendahnya kambuh lagi katanya, tetapi Arin tidak sedikit pun peduli akan hal itu. *** Tahun berganti menjadi ajaran tahun terakhir Satria dan Arin belajar di sekolah mereka masing-masing. Keduanya semakin sibuk dengan persiapan ujian, Satria harus mengikuti bimbel sebab nilainya dibawah rata-rata membuat dia selalu pulang malam, begitu juga dengan Arin yang mempersiapkan diri masuk ke universitas Aisyiyah Bandung, sebuah universitas keperawatan yang memiliki fasilitas lengkap dan bergengsi, tentu akan menjadi kebanggaan lebih bagi keluarga Arin jika anak sulungnya di terima menimba ilmu di sana. Suatu malam Satria menuju rumah Arin saat ia tahu dari teman sepermainannya dengan Arin bahwa Arin akan mendaftar ke Universitas di kota lain, hal ini membuat Satria kesal sebab lagi-lagi Arin tidak memberitahunya dan Satria merasa kecewa sebab Arin seolah semakin menjaga jarak dengannya. “Rin, Arin!” panggil Satria begitu sampai di depan rumah Arin. Pintu terbuka, menampilkan Arin dengan rambut kusut panjang terurai. “Astagfirullah! Kirain kuyang!” pekik Satria membuat Arin mendelik. “Apaan? Gua baru mau belajar! Elo kenapa masih pake seragam? Belom balik ke rumah, ya? Maen mulu!” omel Arin tiada henti membuat Satria beberapa kali menghembuskan napas berat. “Gue baru balik bimbel, Rin! Btw sini deh, ada yang mau gue omongin!” pinta Satria sehingga Arin pun mendekatinya. “Apaan Malih?” Satria memasang wajah serius, menatap Arin dengan tegas sehingga Arin dibuat bingung. “Rin gue tahu dari si kubil katanya lo mau daftar UNISA, ya?” “Iya … terus kenapa?” Satria berdecak kesal, dia bahkan mengacak rambutnya seolah menjadi orang yang frustasi di depan Arin. “Kenapa sih, Sat?!” “Rin lo mah ga pernah belajar dari pengalaman, ya? Masa kita harus ribut masalah ini mulu?” respon Satria tak memberikan clue apapun untuk Arin, yang ada gadis itu semakin di buat bingung oleh Satria. “Lo ga inget waktu SMP kita pernah berantem gegara ini? Lo selalu mutusin apa-apa sendiri, gue yang sahabat lo aja bahkan tahu dari orang lain! Jadi sahabat lo gue atau kubil? Kenapa dia malah lebih tahu daripada gue?” Arin tahu bahwa Satria sedang kesal sekarang, terlihat dari raut wajah juga warna muka yang memerah menahan kesal. Sifat posesif Satria mulai naik, tatkala ia tahu hal lain tentang Arin dari orang lain. “Itu baru gue kasih tahu tadi sore pas lagi ngobrol basa-basi doang, Sat! Lagian gue juga mau ngomongin ini sama lo tapi lo belum balik juga!” ucap Arin melakukan pembelaan. “Gue bukannya egois atau apa, tapi jadi perawat itu cita-cita gue dan lagi emang beberapa bulan lagi keluarga gue semua mau pindah ke Bandung Sat! Rumah ini sebenarnya udah ada yang beli, jadi gue ga bisa tinggal di sini!” “Hah? Kok??” Satria nampak tidak percaya dengan penjelasan singkat dari Arin, masih banyak hal-hal yang harus Arin jelaskan pada Satria untuk memenuhi setiap pertanyaan yang muncul di kepala Satria. Dalam cerita singkat Arin menjelaskan bahwa kesehatan papanya terganggu, butuh biaya besar untuk berobat sehingga mereka harus menjual rumah yang mereka tempati sekarang. Rencananya saat Arin kuliah nanti, seluruh keluarga pun akan ikut pindah ke Bandung, kedua adiknya pindah sekolah dan papanya melanjutkan perawatan intensif di rumah sakit tempat salah satu pamannya Arin bekerja. Hal itu pula yang menjadi alasan Arin menjadi seorang perawat, setidaknya dia bisa merawat papanya sebelum papanya tutup usia. Sedang merasa sedih karena terbawa suasana menceritakan kesedihan keluarganya, Arin dibuat terkejut atas teriakan panggilan Mamanya dari dalam rumah yang terdengar panik sehingga Arin cepat-cepat masuk ke dalam rumah meninggalkan Satria yang sendirian di teras. “Kenapa Ma?” tanya Arin, matanya membola saat melihat papanya seolah kesulitan bernapas. “Telpon ambulance Rin! Sekarang juga!” *** Rumah Sakit PMI Bogor. Hal yang tidak diinginkan terjadi, kesehatan papanya Arin drop entah karena apa, sehingga harus masuk ruang ICU. Satria yang mengantarkan Arin hanya mampu memeluk gadis itu yang sedari tadi berusaha tegar dan menyembunyikan tangisannya. Mereka ada di lobby rumah sakit, sementara mamanya Arin stand by di depan ruang ICU. Kedua adiknya sengaja tidak ikut ke rumah sakit agar kondisinya menjadi lebih kondusif. “Lo yang tenang, Rin. Ada gue, gue juga bakalan bantu doain kesehatan papa lo. Walaupun gue gak sholeh-sholeh amat, tapi gue harap doa gue cepet dikabulin juga,” hibur Satria sambil mengelus pucuk kepala Arin. Arin hanya mengangguk menanggapi perkataan Satria dengan lemah. Keduanya membisu sampai lupa bahwa malam semakin larut, tepat pukul sebelas malam mamanya menelpon dan menyuruh Arin juga Satria untuk masuk ke ruang ICU, sebenarnya papanya Arin sudah sadar beberapa saat lalu dan langsung meminta untuk bertemu dengan Arin dan Satria. Dokter sudah melarang papanya Arin untuk tidak bertemu dengan siapapun setidaknya sampai enam jam kedepan sampai keadaan papanya Arin menjadi lebih stabil dan optimal, tetapi pasien yang satu itu sama keras kepalanya dengan Arin. Papanya Arin bersikeras ingin bertemu Arin dan Satria sehingga mau tak mau dokter mengijinkan mereka bertemu hanya lima menit saja. Begitu Arin dan Satria masuk ke ruangan tersebut, mata Arin sudah berkaca-kaca. Inginnya dia memeluk ayahnya tetapi itu tidak diijinkan. Arin dan Satria hanya boleh berdiri di samping ranjang tanpa menyentuh apapun. “Papa … gimana sekarang? Jantungnya udah gak sakit lagi kan?” tanya Arin yang dijawab anggukan lemah oleh papanya. “Rin, papa gak punya waktu buat basa-basi. Papa nyuruh kalian kesini karena papa mau ungkapin niat papa.” “Niat … apa?” “Niat untuk menikahkan kalian berdua, sesuai janji papa dan sahabat papa sebelum papa menyusul kepergian sahabat papa, Faidil Putra Bayanaka, papanya kamu, Satria Bayanaka.” Jelas Arin dan Satria tercengang mendengar penuturan lemah dari pria berusia empat puluh delapan tahun itu, bahkan sampai membuat tangan Satria bergetar. “Satria, kamu mau mengabulkan niat kami untuk menikah sama anak saya …?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN