12

1441 Kata
Kecil-kecil sudah berbuat nakal, itulah asumsi pak Iswanto sebelum Arin menjelaskan dan membuat pak Iswanto percaya bahwa yang dilihat beliau adalah sebuah kesalahpahaman. Pada akhirnya, kedua sahabat karib itu tidak melaksanakan upacara melainkan mendapat hukuman mencabut rumput belakang sekolah karena keduanya telat dan malah memanjat pagar belakang sekolah. “Makasih ya Rin, kamu udah bikin kita cabut dapet tugas cabut rumput gini!” Arin mendelik mendengar ucapan Satria seolah anak lelaki itu mengejeknya. “Jadi kamu gak suka? Maunya kamu dihukum kaya yang pertama? Sampai orangtua kita mau di panggil ke sekolah?” “Siapa yang bilang gak suka? Aku malah seneng dihukum kaya gini!” “Kenapa?” “Soalnya aku jadi gak belajar!” sahut Satria tanpa dosa lalu bocah lelaki itu malah berbaring di atas rumput hijau yang lembab. “Sat, kok malah tiduran? Cepet beresin biar kita bisa masuk kelas!” titah Arin dengan kening berkerut. “Gak mau ah! Biarin aja kaya gini terus, kan kalo ini gak selesai kerjaannya bisa dilanjut lagi abis istirahat, jadi kita gak belajar deh seharian!” Arin yang geram hanya mampu melempar sebuah kerikil pada temannya yang pemalas itu. “Dasar pemalas! Kalau kaya gini kamu gak bakalan sukses, Sat!” “Terus kalo gak sukses emangnya kenapa?” “Kamu bakalan bikin orangtua kamu sedih, terus gak akan ada yang mau jadi istri kamu nanti!” “Kan ada kamu, Rin!” jawab Satria dengan nyengir kuda. “Dih, siapa juga yang mau nikah sama kamu? Aku maunya nikah sama cowok yang pinter, yang baik, yang rajin sama cakep!” Satria bangkit dan duduk di samping Arin yang sedang berjongkok mencabuti rumput, mata Satria menatap Arin tanpa berkedip sekalipun. Arin yang mengetahuinya merasa bingung sehingga dia ikut menatap balik Satria. “Apa?” tanya Arin dengan polos. “Kalau nanti pas udah gede aku jadi cowok yang kaya gitu, kamu mau kan nikah sama aku?” Arin terhenyak, bisa-bisanya anak umur sepuluh tahun membicarakan hal itu, bagi Arin candaan Satria saat itu sangatlah tidak lucu. “Ngomong apa tadi? Coba ulang!” pinta Arin “Nik – arrrmm!” Belum sempat Satria menyelesaikan ucapannya, Arin sudah memasukkan rumput yang ada di tangannya ke mulut Satria, membuat Satria segera meludahkan rumput-rumput dari mulutnya sedengkan Arin dibuat terpingkal melihatnya. “Arriiiinn emangnya aku kambing?” “Hahahaha!” Merasa kesal ditertawakan, pada akhirnya Satria pun mengambil beberapa helai rumput dan berniat untuk balas dendam. Tahu bahwa Satria akan membalas perbuatannya, Arin bangkit dan kabur menghindari Satria sehingga mereka terlibat drama kejar-kejaran. Masa-masa itu berlalu setidaknya sampai mereka masuk di SMP yang sama. Kala itu Arin dan Satria kena hukuman mencabut rumput lagi sebab keduanya tak sengaja merusak patung kerangka manusia. Semua itu terjadi sebab Satria membawa patung itu tidak hati-hati dan secara tak sengaja Arin yang sedang mengikuti pelajaran olahraga, melempar bola voli ke arah Satria sehingga meruntuhkan patung kerangka tersebut. “Gara-gara lo nih Sat, gue jadi keluar tim dan malah olahraga cabut rumput kaya gini!” keluh Arin dan mencabuti rumput dengan kesal. “Yeh … elo yang lempar bolanya ga bener, kok malah nyalahin gue?” lempar Satria tak mau kalah. “Mana sakit banget lagi perut gue nih, aduh!” “Makan pedes mulu sih lo, gembrot engga, makin cungkring iya! Harusnya lo jadi pengganti kerangka itu aja, ya?” ledek Satria dengan wajah tengilnya. “Lu emang ga berubah Sat! Dari jaman zigot elo rese mulu, pantesan gak ada yang berani deket sama lo!” nyinyir Arin membuat Satria merasa terpojok. Pasalnya Satria memang mendapat cap anak nakal di sekolah hanya karena tingkahnya yang hiperaktif. “Ada kok! Dia temen sebangku gue, udah dua tahun kita sekelas dia mau tuh jadi temen sebangku gue terus!” “Terpaksa kali! Toh dia cowok, selain gue mana ada cewek yang mau berurusan sama lo?” “Ya makanya itu, karena cuma lo temen cewek gue satu-satunya, mau gak kalo lo jadi temen hidup gue juga?” tanya Satria dengan senyum seringai membuat Arin bergidik ngeri. “Maksud lo?” “Inget gak Rin, hukuman cabut rumput kita waktu kit akelas lima SD? Pertanyaan itu masih gue tunggu loh jawabannya sampe sekarang!” Deg! Jantung Arin seolah berhenti berdetak untuk sepersekian detik. Jujur, penampilan Satria jauh berbeda dari tiga tahun yang lalu, mungkin karena mereka mengalami masa pubertas maka penampilan fisik Satria berkembang pesat, dia menjadi lebih tinggi dari Arin dan suaranya perlahan berubah, hal itu membuat Arin menjadi memiliki perasaan suka terhadap temannya sendiri sebab dia memang merasa nyaman dengan Satria. Tetapi, Arin tidak mau jika ia terperangkap dalam jebakan Satria. Arin tahu betul bahwa temannya itu sangat senang bergurau. Tatkala Satria melangkah mendekatinya, Arin mundur selangkah dengan tubuh sedikit bergetar. Tanpa ia ketahui bahwa di belakangnya terdapat batu bata sehingga Arin terjatuh dan langsung terduduk seketika. Satria si manusia receh langsung tertawa terbahak saat melihat Arin terjatuh sedangkan Arin meringis kesakitan. Arin cemberut, dia memilih bangkit dan niatnya ingin meninggalkan Satria saja sendiri, Arin harus ke UKS sebab perutnya amat terasa sakit. Namun, Satria mencegahnya. “Tunggu Rin, lo berdarah!” “Hah? Apa?” “Rin, gue nembak lo tapi kok malah p****t lo yang berdarah? Apa karena batunya terlalu lancip jadi p****t lo robek?” tanya Satria sehingga Arin secara otomatis membelalakan matanya. Arin menyentuh bagian belakang tubuhnya dan benar saja dia mendapat noda darah di tangannya. Sial!!! Ternyata gue dapet haid hari ini! Malu. Kedua mata Arin bergerak-gerik tak tentu arah dengan wajah menunduk. Tetapi tak Arin sangka bahwa Satria akan membuka kemeja seragam putihnya lalu melingkarkan seragam itu di pinggang Arin untuk menutupi noda menstruasi di celana olahraga milik Arin. Arin menengadah, dia melihat Satria hanya memakai kaos warna putih sebagai dalaman sambil tersenyum manis pada Arin sehingga Arin seolah kesulitan untuk bernapas. “Kamu tunggu di sini ya, Rin! Aku pergi bentar!” titah Satria lalu mengacak pucuk kepala Arin sekilas sebelum berlari entah kemana. Arin yang dilanda rasa malu-malu yang membuncah merasa tak sadar berapa lama Satria pergi, yang Arin tahu adalah Satria kembali dengan beberapa barang ditangannya. “Ini popok buat ganti, yang bersayap kan? Bidadari bukan, tapi mintanya yang bersayap!” cibir Satria sedangkan Arin hanya menunduk malu sebab Satria hapal betul pembalut bulanan Arin. “Ini, celana ganti, lo pake celana olahraga gue aja biar abis ini gue bisa bolos pelajaran olahraga!” Arin memukul bahu Satria sehingga pria itu terkekeh, memang selama dua tahun mereka belajar di SMP yang sama, tidak pernah sekalipun mereka satu kelas, tidak seperti saat di SD yang selama enam tahun mereka selalu dalam kelas yang sama. “Dan ini, cokelat buat naikin mood lo. Jangan marah-marah lagi ya, Rin? Abis lo ganti, lo bisa pergi main voli kesukaan lo. Urusan cabut rumput, biar gue yang kelarin!” Arin tersenyum sambil tersipu malu melihat Satria yang seolah benar-benar menyayanginya. Dia hanya mampu berterimakasih sampai akhirnya Arin pergi untuk mengganti celana olahraganya dengan milik Satria. Sepulang sekolah Arin berniat untuk pulang bersama Satria, begitu bel berbunyi para siswa berhamburan keluar kelas. Arin pun sama, dia bergegas ke kelas Satria yang terpisah dua kelas dari tempatnya. Sayangnya Satria sudah keluar lebih dulu, sehingga Arin harus menuruni tangga dengan cepat untuk mengejar Satria. Hanya karena alasan itu sampai membuat Arin melakukan kecerobohan. Ya, kakinya tersilap sehingga ia jatuh dari tangga. Kondisi jatuh Arin yang nyungsep otomatis membuat Arin menjadi bahan tertawaan dan bahan ejekan anak-anak lain yang bubar dari kelas mereka. Sungguh Arin berharap dirinya pingsan saja supaya tidak menanggung beban yang memalukan seperti ini. “Kamu gak apa-apa? Bisa berdiri gak?” Suara itu bukan suara Satria, Arin melirik nametag di seragamnya ‘DEWANGGA K.B’ Remaja pria itu membantu Arin berdiri sehingga anak-anak lain memperhatikan Arin dan iri terhadap Arin yang di bantu oleh cowok ganteng di sekolahan mereka. “Makasih ya, Dewa …,” ucap Arin lirih. Kala itu sebuah langkah kaki lari terdengar mendekati mereka. Satria segera merangkul Arin seolah membuktikan bahwa Arin adalah miliknya. “Makasih ya, udah bantuin Arin gue. Sana gih pulang, lo udah dijemput, bye Kai!” Kaisar kecil tersenyum lalu melambaikan tangannya pada teman sebangkunya itu. Kini Satria menoleh pada Arin dan menjitak kepalanya. “Dasar ceroboh! Jangan genit lo sama cowok laen!” “Apaan sih?” protes Arin “Sini gue gendong!” “Gak mau!” “Lutut lo bonyok, Rin! Cepet naek!” titah Satria yang akhirnya dituruti Arin “Pegangan yang bener, kanjeng Ratu!” Arin tersenyum simpul mendengarnya, Arin mengalungkan tangannya dileher Satria, saking senangnya dia tak tahu bahwa ulahnya itu membuat Satria kehabisan napas, sehingga beberapa saat kemudian, Satria oleng dan mereka berdua terjatuh. “Ya ampun, Sat?? Lo kenapa??”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN