11

1356 Kata
Plok! Satria memukul jidatnya sendiri saat Arin menunjukkan beberapa lembar kertas yang bertajuk perjanjian pernikahan. Satria bersumpah bahwa apa yang dia lihat sekarang persis seperti adegan dalam drama yang viral dimana-mana. “Kayanya aku sehat deh, kalau kamu?” Plok! Kini Satria menaruh tangannya di kening Arin, jelas saja Arin segera menyingkirkan tangan Satria yang lebih besar dari tangannya itu. “Ngapain sih?” tanya Arin dengan ketus. “Kamu juga sehat, kenapa tingkah kamu aneh gini?” “Aneh apa? Gue cuma mau bikin surat perjanjian pernikahan, soalnya gue gak tahu lo mau sampai kapan numpang idup di sini!” “Segitunya, Rin?” Satria mengkerutkan keningnya, sepertinya Arin benar-benar belum menerima kehadirannya meski Satria sudah tinggal dengannya selama tujuh hari. “Kalau lo masih mau tinggal di sini, lo harus ikuti peraturan yang ada di sini. Kalau nggak, ya lo angkat kaki. Lo inget kan pepatah dimana bumi berpijak di situ langit dijunjung?” “Ngga Rin, aku kan b**o masalah begituan.” Arin menderlingkan matanya, harusnya dia tak heran jika Satria akan memberikan jawaban seperti itu. Untuk beberapa saat Satria terdiam, sepertinya dia sedang berpikir serius sebab dari tadi matanya tertuju pada tumpukkan kertas yang Arin sodorkan. Arin pun menyimak tingkah polah Satria, Arin pikir, apakah Satria akan berani merobek kertas-kertas itu? Jika Satria melakukannya, maka Arin akan segera menendang Satria dari rumahnya. Alih-alih pikirannya menjadi nyata, Satria malah mengambil pulpen yang tersedia lalu menandatangi tiap lembar dengan ekspresi wajah datar, sedangkan Arin tersenyum gembira. Dia tak mau melewatkan momen ini untuk menyodorkan benda kotak supaya Satria bisa membubuhkan cap jempol miliknya. “Harus gini juga?” tanya Satria dan dijawab anggukan ringan oleh Arin. Satria menurut saja, baginya hatinya yang hampa membuat pikirannya menjadi kosong. Dia tak bisa berpikir, dia hanya menurut saja apapun permintaan Arin. Mencoba untuk mengelak atau sekedar bernegosiasi pun tak bisa, sebab baginya Arin adalah kehidupannya. Satria tidak mau pergi lagi dari Arin. Meski hanya membubuhkan tanda tangan dan cap jempol di beberapa lembar kertas yang tidak semua poinnya Satria baca, Satria merasa hari ini dia sangat kelelahan. Sehingga setelah ia menerima Salinan dari surat perjanjian mereka, Satria memilih untuk istirahat sejenak. “Ck, kenapa bini gue jadi kaya gangster gini sih?” keluh Satria. Sementara wanita yang ia maksud segera berdiri setelah selesai membenahi surat perjanjian mereka dan melenggang begitu saja. “Pake cap jempol segala …, tahu gitu tadi gue cap-nya pake ceker ayam! Hah … Rin, Arin, gue ga yakin bakal ada cowok yang mau sama lo selain gue.” Baru saja Satria menselonjorkan kakinya di sofa, bermaksud untuk beristirahat, gemuruh di langit terdengar menyeramkan. Tetapi, teriakan istrinya, Arin, lebih menyeramkan daripada apapun. “Hoy, jangan santai aja! Cepet ambilin jemuran, mau ujan nih, Bang Sat!” “Ck, iya iyaaa … ini otw ambilin!” balas Satria dengan malas harus bangkit meninggalkan posisi nyamannya. Dalam hati kadang dia menimbang dan mengutuk diri atas keputusannya untuk pulang ke tanah air, atau mungkin harusnya ia tak pernah pergi dari sini jika dia tahu bahwa istrinya akan berubah menjadi cosplayer ibu tiri. Hujan turun tepat waktu, saat Satria selesai mengambil seluruh pakaian yang dijemur. Dengan tatapan mata kosong, Satria memeluk jemuran yang kering. Kala itu ponsel di sakunya bergetar, menyadarkan dia dari lamunannya. “Mama?” gumam Satria. Seolah memiliki ikatan batin yang kuat, di saat Satria sedang kelimpungan, mamanya pasti akan menghubungi dirinya. “Hallo, Ma?” sapa Satria dengan suaranya yang berat. “Sat, gimana?” sebuah pertanyaan singkat yang sangat sulit untuk Satria jawab. “Susah, Ma.” Hening, keduanya tak ada yang berbicara sampai detik berikutnya mama Satria berpesan. “Mama doain dari sini, ya? Gimana pun juga kamu harus kuat. Kamu harus bawa Arin pulang!” Satria terdiam tak menjawab pesan dari mamanya sampai panggilan itu berakhir secara sepihak. Satria menghembuskan napas berat, rasanya beban yang dia dapat terlalu berat untuk sosok dirinya yang memiliki kepribadian santai, tetapi dia tak punya waktu lagi untuk bersantai, dia harus memenangkan hati Arin seperti janjinya dulu, saat mereka masih kecil. *** Waktu itu bulan Juli tahun 2005 saat kenaikan kelas, Arin dan Satria berada di kelas yang sama. Kelas 5-B. Semua murid berlarian menuju lapangan upacara, begitu juga dengan Arin dan Satria saat keduanya baru turun dari angkot, mereka berlari sebelum gerbang sekolah di tutup. Masih beberapa meter lagi untuk sampai gerbang, namun sayang pintu gerbang telah ditutup. “Rin, gimana nih?” “Lewat belakang Sat!” pekik Arin dan langsung menarik tangan Satria menuju belakang sekolah. Disana ada sebuah pintu pagar yang dirantai, tetapi tak ada penjaganya jadi Arin memutuskan untuk memanjat pagar itu supaya mereka bisa ikut upacara dan belajar. “Serius manjat pager demi upacara? Orang lain manjat pager buat bolos loh, Rin! Udah yuk kita balik aja, kita ke warnet maen game!” Geplak! Sebuah pukulan mendarat di kepala Satria membuat anak itu meringis seraya mengusap kepalanya. “Hari ini kamu kan jadi pembaca UUD! Kamu gak boleh bolos, Sat! Sini bantu aku naik!” titah Arin, wajahnya terlihat panik sambil buru-buru memanjat pagar dengan ujung besi yang runcing. Satria memang tak bisa menolak perintah sahabatnya itu, dengan kekuatan seadanya Satria membantu Arin agar gadis yang sepantaran dengannya mampu memanjat pagar dan masuk ke lingkungan sekolah. “Ayo sekarang giliran kamu!” ujar Arin tetapi Satria bergeming. “Kalau kamu berani kabur aku gak mau temenan sama kamu lagi loh ya!” ancam Arin sehingga Satria mau tak mau naik memanjat pagar. Saat Satria sedang beralih dari satu sisi ke sisi yang lain, Arin yang dari bawah menengadah ke atas, dia baru menyadari satu hal. “Sat, tadi kamu lihat CD aku gak?” “Ehm … nggak!” jawab Satria mengundang rasa curiga “CD aku warna apa?” “Ehm … pink?” tebak Satria yang sayangnya itu adalah sebuah kebenaran. Meski Satria tak melihat celana dalam yang dikenakan Arin tetapi karena tebakannya tepat membuat Arin terkejut dan marah, dia dengan sadis menarik-narik tubuh Satria supaya bisa turun dan memiting leher temannya. “Rin, Arin jangan ditarik-tarik baju aku nyangkut!” ujar Satria tetapi Arin tak mendengar dan terus menarik tubuh Satria kebawah dengan tenaga yang lebih besar dari sebelumnya. “Rin Arin!” Breeekk Gubrak! Keduanya terjatuh, anak-anak itu saling bertatapan dengan wajah terperangah melihat seragam Satria robek karena tersangkut pagar. “Rin …?” Saat itu terdengar suara salah satu guru mereka yang memberitahu agar semua siswa rapih dalam barisan, itu artinya upacara akan segera di mulai. Hal itu membuat Arin panik, bagaimana mungkin sahabatnya, Satria akan membacakan UUD 45 dengan kemeja seragam yang koyak? Maka tanpa pikir panjang, Arin membuka kemeja miliknya sehingga sukses membuat Satria terkejut dan langsung memalingkan muka. “Rin kamu ngapain?!” tanya Satria panik sendiri. “Buka baju kamu, Sat!” “Gak mau Rin, aku masih suci!” “Ck! Ayo tukeran kemejanya, upacara mau di mulai!” “Oh ….” Keduanya bergegas bertukar kemeja putih, setelah Satria menggunakan kemeja Arin, dia berbalik dan melihat bagian kemejanya yang robek membuat kaus dalaman Arin terlihat. “Kamu gak bisa ikut upacara Rin kalau kaya gini, temen-temen lain pasti nertawain kamu.” “Gak apa-apa, aku tunggu di sini aja!” Satria merenggut, dia merasa bersalah pada temannya. “Kita ganti lagi deh, biar aku aja yang pakai seragamku lagi. Aku gak apa-apa kok diketawain mereka!” “Jangan Sat! Jangan!” tolak Arin tetapi Satria yang terlanjur merasa bersalah kembali menarik kemeja Arin. “Buka Rin, buka!” “Gak mau kamu pergi sana! Sat, jangan!!” Teriakan Arin dan Satria terdengar oleh guru piket, sehingga pak Iswanto guru mata pelajaran olah raga itu segera mendekati Arin yang bajunya dipaksa dibuka oleh Satria. “Jangan Sat, aku gak mau, kamu pergi aja, pergi!” “Buka Rin! Buka!” Pak Iswanto membelalakan matanya, dalam pikirannya Satria akan melakukan tindak asusila yang tak sepantasnya dilakukan oleh sang pelajar, apalagi ketika pak Iswanto melihat pakaian Arin telah koyak, seketika ia hanya mampu beristigfar. “Astagfirullahaladzim! Satria! Apa yang kamu lakukan? Dosa nak! Dosa!!!" Kedua sahabat itu saling bertatapan, mereka pikir mereka dalam masalah sekarang. “ Kalian berdua, ikut Bapak sekarang!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN