“Rin … Arin … kita makan, yuk? Aku udah buatin nasi goreng nih!” ajak Satria setelah beberapa kali mengetuk pintu kamar istrinya.
Arin yang daritadi berkutat dengan buku catatan dan pena di tangannya, merasa terganggu atas ajakan suaminya. Dia tahu, suaminya itu tak akan berhenti membujuk dengan suara teriakan seperti orang utan kelaparan jika Arin tak segera keluar dan menuruti permintaannya. Jadi, mau tak mau Arin menghentikan aktivitasnya sejenak, lalu keluar dari kamarnya.
Begitu pintu terbuka, terlihat Satria sudah nyengir kuda. Gigi-gigi putih nan rapinya membuat dirinya layak menjadi model pasta gigi, tapi tetap saja senyuman itu tak mampu membuat mood Arin menjadi lebih baik.
Sejurus kemudian Satria mengekor istrinya menuruni tangga dan menuju dapur. Di meja makan minimalis yang hanya cukup untuk empat orang, sudah ada dua piring berisi nasi goreng dengan tingkat kehitaman yang begitu pekat. Namun, tercium dari aromanya saja perasaan Arin sudah tidak enak.
“Bang Sat, ini nasi goreng apaan? Meni goreng kieu? (Kok jelek gini?)?”
“Kan namanya juga nasi goreng, wajar kalo goreng beneran!” jawab Satria membela diri.
Arin mengambil sendok dan membuyarkan nasi goreng berbentuk hati dari Satria, dia buat nasi goreng itu berkoyak, berbolak balik dan dengan nahas Arin bisa mendiagosa bahwa nasi goreng buatan Satria benar-benar nasi gosong. Hitam bukan karena kebanyakan kecap, tapi hitam karena menjadi gosong dan berbentuk kerak.
“Kayaknya ini gak layak di sebut nasi goreng deh …,” lirih Arin dengan ekspresi wajah datarnya, perlu banyak stok sabar menghadapi ulah suaminya.
“Yah, mau kamu sebut uli bakar juga gapapa.”
Arin menderlingkan matanya lalu beralih pada Satria yang memasang wajah tanpa dosa.
“Masalahnya ini bukan ketan! Dan kalau pun jadi uli bakar, ini mah uli kebakaran namanya! Nasi goreng juga kegosongan! Lo itu … bener-bener yaa!”
Satria mulai mundur perlahan, dia ngeri melihat Arin sudah memegang sendok dengan kuat. Bisa jadi detik berikutnya sendok itu melayang ke jidat Satria, jika wajahnya terluka, Satria tidak bisa pamer ketampanan lagi pada istrinya.
“Terus penggorengan gue gimana?” tanya Arin, ia baru tersadar jika bisa saja alat masaknya ikut jadi korban.
“Ya … ga gimana-gimana, dia masih ngejogrok di tempatnya, kok!”
Perasaan Arin semakin tak nyaman saat Satria menjawab seperti itu. Buru-buru Arin melihat penggorengan yang teronggok di atas salah satu tungku kompornya. Begitu Arin melihat penggorengan dipenuhi kerak hitam, saat itu pula Arin tak bisa menahan emosinya lebih lama lagi, kesabarannya sudah habis sebab Satria merusak alat masak kesayangannya yang dia beli satu set alat masak seharga satu setengah juta.
“Astagfirullah! Kenapa jadi mehong gini? Bang Sat! Lo apain penggorengan gue?!”
“Ya … di pake bikin nasi goreng, Rin …, tapi tadi … ketunda maen game dulu, mabar bareng tim soalnya–”
“Maju sini lo, Bang Sat!” potong Arin sambil mengacungkan penggorengan ke atas. Wanita itu berjalan cepat menghampiri Satria. Satria tahu bahwa hidupnya sedang terancam jadi dia memilih lari daripada kepalanya kena geplakan penggorengan. Cukup sudah kepalanya itu jadi korban teflon berisi spaghetti beberapa hari lalu, kali ini tak perlulah penggorengan kelam itu mampir hanya untuk membuat kepala Satria benjol lagi.
“Ampun Rin! Maafin aku! Aku gak sengajaaa!”
“Bacoootttt!!!”
Dan terjadilah aksi kejar-kejaran antara Satria dan Arin, persis seperti perkelahian tom and jerry. Aksi kejar-kejaran keduanya bahkan sampai membuat rumah berantakan. Bagaimana tidak? Mereka melompati sofa, menyenggol meja, rak buku dan lain-lain.
Melihat Satria kabur dari kejaran Arin sambil membuat ruangan lain berantakan, semakin tinggilah emosi Arin untuk menggeplak kepala Satria dengan penggorengan gosong di tangannya. Namun nahas, beberapa menit telah berlalu, energi Arin sudah terkuras banyak, seharian ini sehingga ia merasa kepayahan jika harus menangkap Satria. Bagi Arin, Satria tak ubahnya seekor tikus pencuri yang lari dengan begitu gesit dan tangkas.
Ketika Arin duduk di sofa sambil mengatur napasnya, saat itulah Satria datang dan menyodorkan segelas air mineral dingin, Arin awalnya menolak. Tetapi, saat ia melihat Satria yang meneguk air mineral botol di depannya dengan cepat rasanya membuat Arin semakin kehausan.
“Rin, maafin aku. Itu penggorengannya rendem dulu pake air garem biar keraknya keangkat. Aku janji bakal bikin penggorengan kamu bersih lagi kaya semula. Tapi jangan pukul kepala aku, ya? Bisa bocor nanti kepala!” bujuk Satria saat melihat Arin meneguk minuman darinya.
“Kalo pala lo bocor, gue bisa liat isi kepala lo apaan!”
“Yeh Rin, kok ngomongnya gitu?” Satria merajuk, sementara Arin hanya memberikan tatapan sinis.
“Pokoknya gue gak mau tahu, besok penggorengan gue harus udah kinclong! Kalau masih kaya gini, lain kali kalo lo mau masak, hp lo jadiin talenan, layar komputer lo jadi penggorengan, paham?”
Mendapat ancaman dari Arin, mau tak mau Satria mengiyakan, sebab jika tidak pasti akan terjadi sesi kejar-kejaran yang kedua.
“Gue heran, lo masak mie kayanya jago banget tapi masak nasi goreng kok payah gini?”
“Karena setiap hari aku masaknya mie doang!”
“Beneran makan mie doang selama sepuluh tahun ini? Masa makan mie bisa bikin badan lo kaya gitu?” selidik Arin dengan menaikkan sebelah alisnya.
“Oh, kaya gini maksudnya?” tanya Satria sambil menyingkap kaosnya menunjukkan otot perut miliknya eksklusif di depan mata Arin.
“Bang Sat!” pekik Arin lalu memalingkan wajahnya.
“Kenapa masih malu-malu sih, padahal dalem hati pengen juga kan? kiw~” goda Satria sembari mengedipkan sebelah matanya.
“Idih! Jangan sok genit lo sama gue, kalo ngga penggorengan ini beneran melayang ke muka lo!” ancam Arin.
Satria mengkerucutkan mulutnya, ia murung sebab Arin adalah satu-satunya wanita ganas yang langsung menolak pesona darinya secara mentah-mentah dan Satria merasa harga dirinya terluka.
Sedangkan Arin, dia segera pergi meninggalkan Satria dia lantai bawah untuk kembali ke kamarnya dan melanjutkan aktivitasnya, menulis di sebuah buku catatan.
***
Hari berganti pagi dan drama pasutri di mulai kembali. Di awali dengan adegan rebutan kamar mandi. Padahal biasanya Satria santai akan hal ini, tapi sekarang dia tak mau mengalah pada Arin. Katanya perutnya sakit jadi butuh toilet sekarang juga, sementara Arin harus segera mandi sebab dia harus pergi kerja.
Keduanya memegang daun pintu, tetapi kaki Arin tak henti-hentinya menendangi tubuh Satria berupaya agar suaminya menyingkir, sedangkan Satria menoyor kepala Arin untuk menahan dia supaya tidak bertingkah seperti itu lagi.
“Rin kalo kamu tendangin aku terus nanti aku keluar di sini loh! Udah dong biarin aku masuk duluan!”
“Gak mau! Nanti gue mandi abis lo poop, baunya kan kaya mau bikin gue sekarat!”
“Ya udah kalo gitu kita pake barengan aja?”
“Ogah!” tolak Arin dan menendang asset masa depan Satria sehingga secara otomatis Satria tersungkur sambil memegangi bagian tubuh tersensitif itu.
Tanpa rasa berdosa Arin melenggang masuk kamar mandi, meninggalkan Satria yang masih dalam keadaan bersujud menahan rasa sakit di perut, asset masa depan juga bagian belakang tubuh untuk tidak mengeluarkan kotoran.
“Si Arin lama banget! Masa gue harus gali tanah sih? Arrgghh!!!”
*
Drama kedua terjadi saat Satria mulai memasak mie lagi, sedangkan Arin selalu menaruh kembali perabotan yang akan di gunakan oleh Satria.
“Rin … kok itu di taroin semua sih? Terus aku masaknya pake apa? Ngegelotokin airnya pake tangan, gitu?”
“Bodo, bukan masalah gue tuh!” jawab Arin dengan muka datar membuat Satria mulai geram.
“Ya udah mending aku beli nasi padang, bye!”
Satria pergi meninggalkan bungkus mie yang sudah terbuka tapi gagal dieksekusi sebab Arin tak mengijinkan Satria menggunakan perabotan rumahnya untuk masak, sedangkan Arin sendiri hanya tersenyum seringai saat melihat kekesalan di wajah Satria.
“Cari aja ke kutub utara, jam setengah tujuh pagi memangnya ada warung nasi padang yang buka?” cibir Arin menemani kepergian suaminya.
Beberapa saat berlalu, sepulangnya Satria dari luar ternyata yang dibawa adalah sekantung bubur kacang. Baru saja Satria mau mengambil mangkuk, Arin segera melarangnya.
“Punya gue … nanti rusak!”
Satria terhenyak, nyatanya istrinya belum berangkat kerja. Satu hal yang janggal adalah kenapa Arin ganti baju lagi? Padahal tadi dia sudah pakai seragam kerja.
“Gak kerja, Rin?”
“Switch off. Sekalian mau jagain barang-barang rumah!”
“Sumpah, titisan Fir’aun juga bukan kenapa kamu medit gini sih?”
“Sebab anda terlalu bebas!” balas Arin tak mau kalah.
Satria kesal, akhirnya dia makan bubur kacang dari plastiknya langsung persis seperti anak-anak SD yang menggerogot dan menyeruput bubur kacang dari salah satu sudut bawah plastik. Sedang enak-enaknya sarapan, Arin menggebrak meja di depan Satria hingga nyaris membuat Satria tersedak.
“Uhuuuk! Arin, kenapa sih kamu? Pagi-pagi kaya yang udah kemasukan reog?” tanya Satria merasa rishi dengan tingkah istrinya.
Arin tak menjawab, dia hanya mengetukkan telunjuknya pada tumpukan kertas di atas meja, pertanda Satria harus membacanya.
“Apaan nih? Surat perjanjian nikah? Poin-poin yang harus dipatuhi? Tugas dan larangan?” Satria kembali menatap Arin dengan wajah bingung.
“Rin ini apa-apaan? Kita rumah tangga atau main sekolah-sekolahan sih? Banyak banget peraturannya? Kamu mau bikin aku menderita, ya?”
Arin tak menjawab, dia hanya memberikan Satria sebuah senyum seringai. Dalam hatinya Arin bertekad bahwa kali ini dia akan balas dendam pada Satria.