9

1146 Kata
Awan mendung menghiasi langit kota bogor malam hari ini. Beberapa kali suara gemuruh terdengar, orang-orang semakin mempercepat laju kendaraan mereka ketika tetes demi tetes hujan turun. Semakin lama guyuran hujan semakin deras membasahi setiap permukaan bumi. Suara hujan dan gemuruh itu membuat tidur seorang pria semakin nyenyak setelah seharian ini dia bersantai dan mengisi perutnya. Satria Bayanaka, tak ubahnya seperti pengangguran sejahtera, yang Arin lihat kerjanya hanya rebahan sambil melihat hape. Jika Satria bangun dari tempat tidurnya, paling dia hanya ke toilet atau mencari makan untuk mengganjal rasa lapar. Selebihnya? Dia kembali rebahan atau duduk di depan komputer kesayangannya lalu main game online lagi. Kebiasaan Satria yang main game tak tahu waktu membuat dia kerap kali tertidur di waktu sore sampai magrib. Sama seperti halnya kali ini, Satria lagi-lagi tertidur pulas di sofa, dengkuran kecil terdengar dari mulutnya yang sedikit terbuka. Pria yang sudah berkepala tiga ini bahkan tak menyadari kedatangan istrinya yang sengaja menghentak-hentakkan kaki supaya Satria terjaga. “Si kucrut, tidur udah macem kudanil!” umpat Arin, kemudian dia melenggang ke lantai dua sebab dia telah basah kuyup. Kebiasaan Arin memang pulang dengan abang ojek online, kendatipun hujan deras Arin memilih untuk melanjutkan perjalanan dari pada berteduh sebab dia sudah sangat rindu rumah dan ingin sekali beristirahat. Apalagi, ini adalah hari yang paling melelahkan baginya. Pagi hari dibuat dongkol oleh Sis Jendes, siang hari bertemu pasien absurd yang minta diaborsi dan membuat rumor heboh seantreo rumah sakit, dan sore harinya sebelum pulang kerja, Arin mendapat siraman rohani dari sang dokter yang menyampaikan segala kesalahan Arin dengan sangat detail. Satria tak mungkin merasa selelah itu, hingga Arin merasa hidup ini tak adil. Apalagi saat Arin mengetahui jemuran yang tadi pagi dia taruh diluar tidak dimasukkan ke dalam rumah oleh Satria, alhasil jemuran itu basah kuyup semua. Geram dengan tingkah polah Satria, Arin segera membawa baju-baju itu masuk ke dalam rumah tanpa di peras terlebih dahulu. Masa bodoh dengan tetesan air yang membuat lantai menjadi becek. Satu-satunya hal yang ingin Arin lakukan sekarang adalah menaruh semua jemuran yang basah kuyup ke depan wajah Satia. “Emang bocah titisan dajjal perlu di kasih tahu biar paham!” geram Arin dengan hidung kembang kempis menahan emosi ketika melihat begitu nyenyaknya Satria tidur seperti bayi. Dalam hitungan ketiga, Arin melemparkan setumpuk cucian basah menimpa wajah dan tubuh Satria yang terbaring di sofa. Jelas Satria terperanjat, kedua matanya membola meski terlihat masih merah. Dia langsung terduduk dan celingak-celinguk, terkejut karena pikirnya atap rumah bocor. “Apa nih apa??” “Apa-apa … itu cucian gak diangkat? Bener-bener lu ya, Bang! Tiap hari kerjaan lu minta baku hantam!” cibir Arin seraya menggulung lengan bajunya, menampilkan otot tangan yang tak seberapa tapi cukup membuat Satria mundur sambil menelan ludah. Dia sudah tahu apa yang akan diperbuat istrinya. Ya, memiting batang leher musuhnya adalah gaya andalan Arin yang tak pernah berubah sejak mereka anak-anak, dan Satria tahu betul bagaimana rasa sakitnya. Satria pikir rasa sakit akibat pitingan Arin akan berkurang, sebab sekarang tubuh Satria sudah lebih tinggi dan lebih besar daripada Arin, namun nyatanya semua ekspektasinya semu semata. Sebab faktanya, pitingan Arin masih sama-sama kuat, seolah tidak ada yang berubah. “Ma-maaf, Rin! Aku gak bermaksud gitu, aku ketiduran!” ucap Satria membela diri. Nahas, emosi Arin sudah berapi-api, tinggal satu kesempatan lagi untuk Satria melarikan diri. Diliriknya baju-baju basah yang berceceran dimana-mana, lalu dengan sigap dia punguti dan dia kumpulkan dalam satu rangkulan tangannya. “Ini biar aku yang urus, kamu makan duluan aja! Aku udah masakin nasi goreng buat kamu!” Satria angkat kaki terbirit-b***t, takut kalau amukan Arin sudah meledak dia tak ubahnya seperti godzila yang sedang kelaparan! Di ruang cuci jemur dengan ukuran minimalis satu meter dengan lebar satu koma tujuh meter, Satria segera mencuci ulang pakaiannya itu di mesin cuci. Tak lupa dia membuka kaosnya yang ikut basah sebab dia habis memeluk cucian kotor. Begitu ia keluar, dia membawa alat pel, senjata yang bisa dia pakai jika Arin memarahinya lagi. Namun sepertinya Arin sudah kembali ke kamarnya, untuk sementara Satria bisa bernapas lega. Buru-buru dia pel jejak air di lantai sebelum menjadi noda lantai. Satria harus memastikan bahwa lantai rumah itu benar-benar bersih. “Gila! Encok banget pinggang gue, tapi gak apa-apa, daripada leher gue jadi korban?” Satria bergidik ngeri setelah berkata pada dirinya sendiri. Beberapa saat kemudian, setelah Satria selesai dengan pekerjaannya itu, Satria segera ke lantai atas dan mengetuk pintu kamar Arin. Tak perlu tunggu lama, toh pintu di hadapannya segera terbuka. Satria siap-siap memasang senyum cerah, berharap bisa meluluhkan hati Arin dengan apa yang ia perbuat. Namun nahas, begitu pintu terbuka yang Satria lihat adalah ekspresi terkejut dari wajah Arin. Mata membola dengan mulut tertutup rapat, seperti habis melihat setan. Buru-buru Arin membanting pintu sehingga Satria pun ikut terkejut. “Rin? Kok gitu? Rin kamu kenapa?” tanya Satria yang bingung dan butuh jawaban. “Elo yang kenapa? Kenapa gak pake baju? Minta di kerokin lo? Sini gue kerokin pake garputala!” Satria menunduk setelah mendengar ucapan Arin, dia terkekeh sebab dirinya baru menyadari bahwa dia memang tak memakai atasan, hanya celana pendek rumah yang menutupi tubuhnya. Senyum Satria tak pudar, baginya Arin malu melihat tubuh bagian atas Satria yang terkespos, tetapi Satria sendiri, manusia pengidap rasa narsisme tinggi tidak peduli akan hal itu. Baginya tubuh indahnya sayang jika ditutupi dan jika hanya dia yang melihatnya. “Rin, buka pintunya dong! Aku mau pinjem hair dryer buat keringin sofa! Btw aku udah cuci ulang baju tadi sekalian ngepel juga loh!” lapor Satria seolah sengaja meminta pujian. Tak ada respon selain suara grasak-grusuk di kamar Arin. Sejurus kemudian, Arin membuka pintunya. Satria sudah siap dengan pose andalannya yaitu bertolak pinggang dengan wajah cool, namun lagi-lagi ekspektasi menghianati realita. Boro-boro Arin akan terperangah untuk kedua kali, yang ada hanya tangan Arin saja yang muncul di balik pintu kamarnya memberikan sebuah benda bercorong dengan untaian kabel hitam. “Nih! Buruan keringin sofa gue, kalau udah beres, cepet-cepet balikin!” Satria memasang wajah datar pertanda kesal, segera dia ambil benda itu dari tangan Arin dan lagi-lagi bantingan pintu yang dia dapatkan. “Gagal lagi rencana gue …,” lirih Satria yang kecewa ketika rencananya gagal seperti ini. Sebenarnya, rencana Satria untuk membuat Arin terkagum padanya tidak gagal, Satria hanya kurang mengeksplor lebih mengenai wanita. Faktanya, dia balik pintu kamar yang menjadi pemisah bagi mereka berdua, Arin tak henti-hentinya mengatur napas supaya debaran jantungnya kembali normal. Bagaimana tidak? Setelah barusan menangkap otot tubuh bagian atas Satria yang sempurna, hampir saja membuat pikiran Arin traveling kemana-mana. “Argghh! Yang bener aja? Kalau kaya gini terus pertahanan gue bisa runtuh! Gue gak mau kaya dulu!” geram Arin di balik pintu. Sejurus kemudian dia mondar-mandir kesana kemari sambil menggigiti kuku-kuku jarinya saat Arin sedang berpikir. “Kayanya gue sama Bang Sat harus punya peraturan rumah dan peraturan sikap juga deh! Oh, apa perlu gue bikin perjanjian pernikahan juga?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN