8

1499 Kata
Arin Kembali ke rumah dengan muka masam, jujur jika membuat orang menjadi kuyang tanpa menggunakan ilmu hitam bukanlah tindakan kriminal atau pun dosa berat, mungkin sis Jendes adalah orang pertama yang akan berpisah antara batang lehernya juga tubuhnya yang tinggi semampay layaknya model celana legging yang ada di kalender tahun baru buruh pabrik. Lupakan tentang celana legging! Kali ini Arin berangkat kerja dengan perasaan was-was. Dia takut kalau Satria akan keluar rumah dan tebar pesona pada seluruh macan-macan alias mama cantik yang menghuni kompleks tersebut. Sebab, Arin hapal betul sifat narsisme seorang Satria Bayanaka yang tak ada lawannya, jika sifat narsis itu di sambut olah sikap macan yang genit maka bukan tidak mungkin akan ada bencana keretakan rumah tangga di komplek itu. Pelipis Arin sampai berdenyut memikirkan bagaimana jika Satria dapat terror seperti dokter yang dia temani kerja selama ini. Berkaca pada Kaisar, dokternya yang menjadi idola para wanita, Arin merasa ngeri juga jika dokternya itu mendapat terror dari pada suami pasien bahkan sampai ada yang mengirimkan preman untuk memperingati Kaisar. “Padahal dia cowok baik dan emang ga aneh-aneh. Lah kalo si kunyuk Bang Sat gimana? Dia sih emang hobinya tebar pesona, kalau para bapak-bapak itu murka gimana? Yang ada, Satria malah bakal tantangin mereka lagi, hah … kacau!” Arin memijat pelipisnya, seharusnya Arin tak membiarkan Satria memegang kunci rumah. Seharusnya, jika Satria masih mau tinggal di rumah itu, Arin harus mengunci Satria seperti beberapa hari yang lalu. Tapi sayangnya mulai hari ini Satria memegang kunci cadangan, dia bebas keluar masuk rumah itu. Pikiran Arin sudah jauh kemana-mana, khawatir rumahnya akan jadi sarang para macan yang menjilat rasa narsisme milik Satria. “Mbak, dokter Kai belom datang, ya?” tanya Nur. Suaranya yang nyaring dan melengking membuat Arin semakin sakit kepala. “Gak tahu! Kenapa sih kamu heboh gitu?” seperti biasa Arin merespon Nur dengan nada judesnya. “Ada pasien yang mau lahiran, dokter obgyn kosong sekarang! Dokter Via belom datang, dokter Kai juga! Gimana dong?” “Bidan kan ada!” “Masalahnya yang satu baru proses Episiotomi yang satu lagi tahu tuh kemana!” Arin menderlingkan matanya seolah semua jadi tanggungjawab dia. “Dari pada kamu bikin rusuh di sini, mending cari Bidan Dayani, saya juga bantu cari, deh!” Nur nyengir kuda, merasa terbantu oleh Arin. Arin segera meninggalkan posnya untuk berkeliling mencari Bidan yang sekiranya bisa membantu seorang ibu yang sudah siap untuk melahirkan. Beberapa waktu berlalu sosok Bidan yang di cari tak kunjung dia temukan juga, sampai kakinya pegal dan berdenyut nyeri. “Arin lagi apa?” Arin menoleh, di lihatnya pria yang satu profesi dengannya datang menghampiri Arin dengan senyuman ramah. “Oh, Seno. Saya lagi cari Bidan Dayani.” “Tadi sih saya liat udah dibawa sama Nur ya, otw ruang bersalin.” “Hah?” Informasi dari rekannya membuat Arin gedek setengah mati pada perawat bernama Nur Azizah yang tadi minta bantuannya tapi lupa tidak konfirmasi jika dia sudah berhasil menemukan bidan yang di cari. Kalau Arin tidak bertemu Seno, mungkin sampai saat ini Arin masih mengelilingi rumah sakit sampai kakinya pecah-pecah. Bener-bener ya, lo Nur! Kalau ketemu gue piting batang leher lo! “Rin?” sapa Seno menyadarkan Arin dari kekesalannya. “Ya?” “Saya balik dulu ke UGD, ya?” “Oh, oke. Btw thanks infonya, No!” Baru saja keduanya melempar senyum perpisahan, perhatian mereka teralihkan pada seorang pria yang datang dengan rusuh masuk ke ruangan UGD. “Loh itu … dokter Kai? Bawa siapa tuh?” gumam Seno. Begitu melihat sosok dokternya, Arin bergegas memasuki ruang UGD, menghampiri Kaisar yang menaruh tubuh mungil seorang gadis yang tak sadarkan diri. “Ini siapa dok?” tanya Arin. “Ga tahu, saya belum cek tanda pengenalnya. Dia tiba-tiba pingsan di jalan, kita cek kondisinya sekarang!” titah Kaisar. Belum sempat Kaisar menangani gadis asing itu, seorang perawat berlari tergopoh-gopoh ke arahnya. “Dokter Kai! Dokter!” “Nur, bisa kalem dikit gak? Di UGD nih, jangan buat orang-orang panik!” ujar Kaisar penuh penekanan. “Ya maaf dokter, tapi bisa ikut saya sekarang?” “Kenapa?” “Ada pasien Retensi Plasenta, sekarang dia mengalami blooding, dok!” Arin tercengang mendengar penuturan Nur, bagaimana bisa dia menangani pasien sampai seperti itu? Salah satu hal yang membahayakan saat proses persalinan berlangsung. Sejujurnya Arin ingin menunaikan dendamnya untuk memiting leher Nur, tetapi dia sadar ini bukan waktu yang tepat. Kaisar berlalu tanpa memberikan instruksi apapun pada Arin, jadi sebisa mungkin Arin mengambil alih pasien asing ini dari tangan Kaisar. Meski dalam hati dia ingin cepat-cepat pulang sebab entah mengapa sosok Satria selalu memenuhi isi pikirannya. “Rin, sepertinya kamu lagi kurang sehat, ya? Ini biar saya aja yang tangani. Kamu balik ke pos perawat aja, atau istirahat di lantai lima.” “Gak apa-apa, No, saya masih bisa kok kalau cuma mau cek gini doang,” jawab Arin mengelak. Dia tak enak hati jika nanti dokternya kembali dan ternyata pasien yang dibawanya malah di handle oleh perawat lain. “Gak apa-apa, nanti kalo sekiranya dokter Kai otw sini, saya kabarin deh, biar kamu bisa stand by! Oke? Selaw aja Rin, saya pasti kabarin!” Karena sudah diberikan jaminan oleh Seno, mau tak mau Arin mengangguk dan melipir keluar UGD. Arin segera mengecek ponselnya, memastikan apakah Satria mengiriminya pesan atau tidak, tetapi sama seperti hari-hari sebelumnya, Satria tak pernah mengganggu Arin jika dia sedang bekerja. Apa gue coba telpon? Kali aja dia lagi diluar? Atau main game kaya biasa? Detik berikutnya Arin menggelengkan kepalanya kuat-kuat lalu menaruh ponselnya ke tempat semula. Gila kali gue mau telpon tu cowok! Ngapain juga sih Rin? Toh dia bukan anak kecil. Kerja kerja kerja!!! *** Beberapa waktu berlalu, Arin yang standby di depan ruang UGD melihat sang dokter telah kembali dari kamar operasi. Buru-buru Arin masuk UGD mendahului sang dokter. “Rin, pasiennya gimana?” “Lagi istirahat, dok!” jawab Arin dengan asal padahal dia belum sempat mengecek kondisi pasien tersebut. Kaisar segera menyibak gorden yang membatasi ranjangnya dengan ranjang pasien lain. Dan ketika gorden di buka, nampaklah seorang gadis tengah mengendap-endap keluar dengan memeluk tasnya sendiri. Arin pun terkejut sebab sepertinya gadis itu akan secara sembunyi-sembunyi kabur dari rumah sakit ini. Kenapa dia kaya gitu sih? Dia mau kabur? Gak sanggup bayar? Gumam Arin dengan sebelah alis terangkap melihat gadis bertubuh mungil itu. “Mau kemana, Nona?” tanya Kaisar dengan suara baritonenya. Bisa Arin lihat wajah gadis di hadapan mereka langsung terkagum dan seolah terpesona oleh Kaisar, itu adalah hal biasa bagi Arin sejak pertama kali dia menjadi asisten khusus Kaisar. “Rin, Arin!” panggil Kaisar membuat Arin menoleh padanya. “Ya, dok?” “Rin kamu udah cek kondisi pasien ini?” “Udah sih dok, adeknya baik-baik aja,” jawab Arin asal sebab yang mengecek kondisi pasien itu adalah Seno tetapi Seno pun malah tidak ada di sana. Jujur Arin merasa sangat berdosa sebab telah berbohong seperti itu, inginnya dia mengulang waktu dan biar dia saja yang memeriksa gadis itu bukan Seno. “Janinnya?” “Ja-janin?” Arin tergagap. Janin apa? Cewek kaya cabe baru meletek gini udah hamil, gitu? Ampun deh, mana gue gak periksa apa-apa! Gue harus ngomong apa dong?! “Sa-saya ga tahu kalau adeknya hamil dok …,” Arin menjawab lemah, dia memilih untuk jujur daripada kebohongannya harus di tutupi dengan kebohongan lain. “Ck! Rin, kok ga di cek keseluruhan sih? Artinya kamu belum USG juga?” Arin menggeleng lemah, dia sudah siap jika saat pulang nanti dia akan digembleng Kaisar. Arin tahu dia teledor dalam hal ini, atau apakah lebih baik Arin jujur saja bahwa yang menangani gadis itu adalah Seno? “Maafin saya dok, saya ceroboh kali ini.” “Saya gak habis pikir sama kamu Rin, saya kan sudah bilang, kasusnya ibu muda pingsan di jalan, dan kamu … ya sudahlah!” Arin semakin menunduk saat Kaisar menegurnya, kini Kaisar beralih pada wanita muda yang asyik menyimak perdebatan di antara dua manusia medis itu. “Bu, ibu ikut saya check up ya? Kita USG biar tahu perkembangan janin ibu,” bujuk Kaisar ramah pada ibu mu daitu, akan tetapi nampaknya ibu muda itu sangat terkejut mendapat bujukan dari Kaisar. “Gak, saya gak mau!” tolaknya dengan suara nyaring. “Tapi tadi saya lihat ibu pingsan di jalan, kita harus periksa kondisi janin ibu, saya ingin memastikan janinnya baik-baik saja.” “Gak! Saya ga mau! Sa-saya maunya di aborsi!” teriak wanita itu menggema di ruangan UGD. Sontak saja Kaisar dan Arin membulatkan mata mereka masing-masing, begitu pula dengan beberapa pasien dan pendamping pasien yang mendengar teriakan sang pasien absurd, mereka jadi hening dan berusaha mendengar pembicaraan sang pasien dengan dokternya. “Bu, apa ibu sehat?” tanya Kaisar hati-hati, bukannya membalas dengan baik-baik, wanita itu malah semakin berapi-api. “Kamu aborsi saya atau tanggungjawab?!” Arin mengusap dadanya dan menatap wanita itu dengan tatapan terkejut. Wah, kayanya PR gue dari dokter Kai bakal lebih berat nih kalau ngadepin pasien kaya gini. Siapa sih bocah ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN