Setelah pertandingan final yang membuat tribun GOR Kudus bersorak bagai konser dadakan, Yulianto mandi dan mengganti baju. Ia mengenakan kaus polo biru tua dan celana chino santai. Rambutnya yang sebagian memutih masih basah, dan wajahnya terlihat segar, tapi jelas ada lelah yang belum habis. Lelah yang terasa indah, karena hari itu, bukan hanya kemenangan yang ia bawa pulang… tapi juga getaran yang ia sendiri belum tahu bagaimana harus menyebutnya.
Saat Yulianto melangkah ke warung kopi tempat geng suporter dadakan berkumpul, ia langsung disambut tepuk tangan dan siulan panjang. Meja kayu panjang itu seolah berubah jadi podium Olimpiade. Bahkan pemilik warung ikut menabuh gelas dengan sendok.
Pakdhe Yanto berdiri, menentang matahari sore dan mengangkat tangannya seperti sedang berpidato:
"Hadirin sekalian! Inilah juara kita! Bapak dari shuttlecock… dan mungkin calon bapak mertua dari yang masih dirahasiakan!"
Yulianto langsung tertawa, lalu mencubit lengan Pakdhe Yanto sebelum duduk.
"Wes... wes! Pakdhe, jangan ngawur. Saya capek bukan karena main, tapi karena nahan malu denger kalian teriak-teriak dari tribun!"
Aman mengangkat tangan tinggi, seolah membela diri:
"Lho, yang teriak 'Yuliantoooo, koyo di dompet udah saya siapin!' itu Pakdhe, bukan saya!"
Agung menyikut Yulianto dengan senyum nakal:
"Eh, tapi tadi kamu semangat banget pas Malda lambaikan karton itu lho. Kok langsung smash dua kali berturut-turut. Cieee..."
Malda yang duduk di seberangnya hanya nyengir, pura-pura sibuk ngaduk kopi:
"Wah, saya cuma angin lewat aja kok, Pak."
Yulianto melirik cepat-cepat, lalu berkata setengah pelan:
"Iya, tapi angin yang ngangkat semangat... dan shuttlecock."
Pakdhe Yanto langsung menepuk jidat:
"WADUH! KALIMAT INI HARUS DICATAT! Siap-siap masuk buku 'Quotes Romantis Pria 50+'!"
Wahidin meniru gaya MC lawas:
"Selamat datang di episode 'Ayah dan Putrinya Saling Melirik: Kisah Cinta Multigenerasi!'"
Seluruh meja meledak tawa. Malda sampai menepuk paha sendiri saking geli, sementara Yulianto menutupi wajah dengan tisu sambil tergelak.
Aman menunjuk ke arah mereka bergantian:
"Liat deh... Beda generasi, tapi chemistry-nya kayak raket dan senarnya. Nempel tapi bunyinya keras!"
Agung berpose serius ala psikolog:
"Secara teori, hubungan beda usia 25 tahun ini dapat disebut sebagai... perbapakan romantis. Artinya, ada perlindungan emosional disertai ketegangan batin."
Pakdhe Yanto menambahkan dengan polos:
"Yang penting bukan status usia, tapi... status WA. Coba Malda liat status WA Yulianto, pasti ada foto kalian berdua diedit pake filter bunga."
Yulianto langsung panik:
"Woh... jangan dibongkar! Itu buat close friend!"
Malda terbatuk pura-pura sambil menahan tawa:
"Haha... Jadi bener dong Pak, Pak Yuli tuh sebenernya selebgram kangen perhatian."
Yulianto mengangkat gelas, senyum pasrah:
"Saya ini korban geng senior yang iri karena nggak ada yang nyorakin mereka waktu muda!"
Wahidin menyindir manis:
"Kita iri? Lah kita dulu yang nyorakin istri masing-masing pas masuk dapur!"
Tawa kembali meledak. Bahkan ibu warung sampai keluar sambil geleng-geleng kepala.
"Aduh, Bapak-Bapak ini... warung saya kayak acara sitkom, bukan tempat ngopi!"
Namun di balik semua candaan, tawa, dan sindiran, ada sesuatu yang mengendap di d**a Malda. Pandangannya beberapa kali mencuri-curi ke arah Yulianto. Pria itu... berbeda. Entah bagaimana, sejak mengenalnya, hidup terasa lebih ringan. Bahkan saat pekerjaan menumpuk, saat dunia terasa sempit... ia hanya perlu satu obrolan, satu candaan receh darinya, dan jiwanya seperti dipijit perlahan.
"Pak Yuli..." ujar Malda tiba-tiba, membuat semua pria paruh baya di sekeliling langsung diam, bersiap menguping seperti pasukan penyiar amatir.
"Iya, Nduk?" sahut Yulianto sambil membetulkan duduknya.
"Tadi pagi... saya lihat novel. Dua anak SMA baca sambil ketawa, lalu tiba-tiba nangis. Judulnya 'Yang Tersisa dari Cinta'. Penulisnya Fabianus Franky Yulianto... itu... Bapak, ya?"
Hening sesaat. Mata Yulianto sempat membelalak kecil. Lalu ia tersenyum, tapi tak bisa menyembunyikan gugupnya.
"Iya... itu... saya. Nama pena. Dulu saya nulis buat isi waktu, sekarang malah jadi terapi hati."
Pakdhe Yanto langsung meledak:
"LAH! ITU! DIA NULIS DAN NANGIS SENDIRI TIAP MALAM! Gue kira dia nonton sinetron, ternyata ngetik novel!"
Wahidin ikut menimpali:
"Dulu dia sempat kirim naskah ke majalah. Dikirain curhatan pembaca. Eh... dimuat!"
Yulianto hanya tersenyum pasrah, menyesap kopi perlahan, lalu memandang Malda.
"Saya nulis itu waktu kehilangan istri, seperti yang sudah saya cerita ke kamu kemarin. Dia meninggal tiba-tiba. Nggak sakit, nggak pamit dan karenanya dunia saya sempat... kayak mati listrik. Gelap. Nggak bisa lihat apa-apa."
Suasana mendadak sunyi. Bahkan suara sendok yang mengaduk gelas pun tak ada. Malda menatap Yulianto, matanya berkaca.
"Nggak apa-apa. Sekarang saya malah bersyukur pernah ngerasain cinta kayak gitu. Dan dari situ... saya tahu, cinta yang dalam nggak mati. Dia cuma... pindah rumah. Kadang ke tulisan. Kadang... ke suara. Kadang... ke senyum seseorang."
Yulianto menatap ke arah Malda, cukup lama, cukup dalam. Malda mengangguk pelan, seolah hatinya menjawab lebih dulu daripada mulutnya.
Pakdhe Yanto dengan pelan meletakkan tahu goreng ke piring.
"Wah, suasana berubah. Dari stand-up jadi drama Korea. Tapi saya suka."
Aman berbisik ke Agung:
"Udah deh, kalo ini jadi sinetron, judulnya: Shuttlecock Cinta di Ujung Tribun."
Mereka kembali tertawa, tapi Malda dan Yulianto tetap saling memandang. Tak ada kata-kata. Hanya keheningan yang saling mengerti.
Malam makin turun. Lampu jalan menyala. Warung sudah mulai sepi. Tapi mereka masih di sana. Yulianto, Malda, dan empat sahabat sejatinya. Obrolan berlanjut ke hal-hal remeh: tempat makan legendaris di Kudus, mi ayam paling murah, hingga kisah Pakdhe Yanto yang dulu ditolak gebetannya karena baju seragam marching band-nya sobek.
Tawa tak pernah benar-benar habis.
Tapi dalam d**a Malda, sesuatu mulai tumbuh. Bukan sekadar rasa suka, tapi semacam... keberanian. Hidupnya yang dulu monoton dan berat, kini seperti punya jeda-jeda indah. Sejak mengenal Yulianto, rasanya ia bisa bernafas lebih tenang.
Dan bagi Yulianto, kemenangan hari ini bukan hanya karena kekuatan latihan atau strategi lapangan. Tapi karena satu hal: semangat yang menyala sejak melihat Malda melambaikan karton bertuliskan dukungan. Di mata gadis itu, ada cahaya. Cahaya yang mengisi ruang kosong dalam dirinya.
Ruang yang dulu sepi, kini terasa berpenghuni. Meski samar, tapi ia tahu... itu sosok Malda Miura.
Sebelum mereka bubar, saat semua mulai membereskan gelas dan cemilan, Malda menatap Yulianto, senyumnya pelan tapi hangat.
"Pak Yuli... janji ya? Terus nulis. Terus bicara cinta ke kehidupan. Karena cinta itu... nggak harus milik sepasang kekasih aja. Cinta itu... universal. Kita semua butuh dengar lagi, dari seseorang yang tahu rasanya kehilangan... tapi tetap memilih mencintai."
Yulianto menatapnya, lalu mengangguk perlahan. Ada kilau kecil di matanya, seperti seseorang yang akhirnya diizinkan membuka kembali buku hidupnya, satu halaman indah demi halaman berikutnya.