BAB 4 : Tribun, Teriakan, dan Tahu Petis

1246 Kata
Lapangan GOR Kudus Bersinar siang itu ramai luar biasa. Cuaca terik tak menyurutkan semangat ratusan penonton yang tumpah ruah. Sebagian besar mengenakan kaus klub bulutangkis masing-masing, sebagian lainnya datang hanya untuk menikmati atmosfer pertandingan nasional tahunan yang jadi langganan sorotan media olahraga. Di antara kerumunan, Malda Miura berdiri kikuk di tribun barisan tengah. Ia mengenakan kaus putih, topi lebar untuk menahan sinar matahari, dan di tangannya, secarik karton dengan tulisan tangan warna-warni: "SEMANGAT PAK YULI, JANGAN KESELEO!" Siang itu, sebenarnya ada cerita kecil sebelum ia sampai ke GOR. Sebuah kejadian yang tak ia sangka, dan diam-diam membuat pandangannya terhadap Yulianto Atmaja tak pernah sama lagi. Tadi pagi, saat sedang membeli cemilan di sebuah minimarket kecil dekat kos, ia melihat dua siswi SMA duduk di teras sebelah, tampak tenggelam dalam bacaan. Mereka tertawa cekikikan, lalu tiba-tiba diam, dan salah satu dari mereka menyeka air mata dengan tisu. Malda penasaran. Novel apa yang bisa membuat seseorang tertawa lalu menangis dalam waktu lima menit? Dengan langkah pelan, ia mendekat, lalu mencuri pandang ke sampul buku yang mereka pegang. "Yang Tersisa Dari Cinta," begitu tertulis di cover depan. Nama penulisnya: Fabianus Franky Yulianto. Deg. Malda meneguk ludah. Yulianto...? "Maaf ya, dek... boleh nanya? Itu novelnya bagus banget ya?" tanyanya pelan. Salah satu siswi, yang memakai pita merah muda di rambutnya, langsung menoleh dengan mata berbinar. "Bagus banget, Kak! Ini penulisnya jenius. Kata-katanya tuh... aduh, bisa bikin hati kayak ditarik ulur benang. Kadang lucu, kadang nyesek. Tapi paling keren itu... penulisnya cowok paruh baya yang katanya dulunya atlet bulutangkis. Nama aslinya Yulianto Atmaja. Katanya sih gitu." "Yulianto... Atmaja?" gumam Malda, hampir tidak percaya. Siswi satunya menambahkan dengan senyum kagum, "Dan katanya, beliau suka nulis malam-malam sambil dengerin musik klasik. Gila ya, udah kayak tokoh utama drama Korea." Malda tertawa kecil, tapi hatinya jungkir balik. Selama ini, Yulianto tak pernah menyebut soal menulis novel. Tak pernah menyombongkan karyanya. Bahkan di tengah percakapan hangat dan bercanda soal tahu petis dan topi Adidas, ia menyimpan sisi lain—yang tenang, puitis, dan dalam. Dan sejak itu, ada semacam gelombang baru yang bergerak di d**a Malda. Kekaguman yang sebelumnya hadir karena kehangatan dan ketulusan, kini bertambah karena... kedalaman. Kembali ke tribun GOR Kudus. Di sekitarnya, duduk empat pria paruh baya yang sudah lebih dulu akrab meski baru bertemu hari itu. Mereka menyambut Malda seperti anggota baru geng rahasia: Geng Suporter Gaib Kudus. Namun mereka ternyata sahabat-sahabat Yulianto yang memiliki julukan Gank Semrawut. "Nduk, kamu pasti Malda ya? Lho lho lho... cantiknya! Nggak heran Yulianto sekarang doyan ngebul smash terus. Ada penyemangat di tribun ternyata!" ujar Pakdhe Yanto sambil mengunyah tahu petis. Malda tersipu tapi tak bisa menahan tawa. "Waduh, Pakdhe... saya cuma suporter netral kok. Netral ke satu orang aja." "Hahaha! Netral ke satu orang tuh namanya cinta, Mbak!" sahut Agung, sambil menggenggam kipas manual bertuliskan "SMASH ATAU PULANG!" Aman menambahkan dengan gaya sok serius, "Yulianto tuh udah lain sekarang. Dulu kalau main, pikirannya shuttlecock. Sekarang main sambil senyum-senyum. Kita tahu itu bukan karena raket baru." "Yah... semoga aja senyumnya bukan karena koyo baru," sahut Malda, menimpali dengan senyum licik. "Wah, ini anak cocok banget gabung geng kita! Udah siap jadi ibu ketua suporter senior!" tawa Wahidin menyambut riuh kalimat itu. Pertandingan pun dimulai. Yulianto turun ke lapangan dengan kaus biru dan celana pendek hitam. Meski rambutnya telah memutih sebagian, gerakannya tetap lincah. Ia berteriak memberi semangat pada pasangannya, smash keras, drop shot tajam, dan sesekali teriakan “YES!” yang mengundang sorak-sorai. Malda tak bisa menyembunyikan kekagumannya. "Pak Yuli... beneran masih jago banget, ya. Saya kira beliau cuma jago bercerita." Pakdhe Yanto menepuk bahunya. "Lha itu... jago beneran, Nduk. Kami ini tim legendaris zaman dulu. Sekarang tinggal Yulianto yang masih aktif. Kita? Aktif di grup WA." "Dan aktif minta link YouTube pertandingan. Lihat langsung capek!" sela Aman sambil menyelipkan keripik ke mulut. Tawa Malda pecah. "Ya ampun, kalian ini pak.... lebih rame dari grup ibu-ibu komplek!" Di tengah pertandingan, Yulianto sempat melirik ke arah tribun. Ia melihat Malda tertawa lepas bersama teman-temannya, dan senyum itu membuat langkahnya makin percaya diri. Beberapa menit kemudian, sebuah smash keras ke sisi kanan membuatnya mencetak poin kemenangan. Sorak-sorai menggema di seluruh gedung. "ITU KARENA MALDA! CINTA BIKIN OTOT KUAT!" teriak Agung. Malda menutup wajah dengan karton, tersipu malu. "Pak Agung, tolong jaga rahasia negara dong!" Semua tertawa. Bahkan beberapa penonton di sekitar ikut tersenyum melihat keakraban kelompok kecil itu. Di tengah panas, teriakan, dan peluh, Malda merasa nyaman. Aneh, tapi nyata. Ia yang dulu merasa kehilangan arah, kini seperti menemukan tempat istirahatnya. Setelah pertandingan berakhir dengan kemenangan Yulianto dan pasangannya, rombongan kecil itu berpindah ke warung kopi dekat GOR. Meja kayu panjang, aroma kopi tubruk, dan tahu goreng yang masih mengepul jadi latar perbincangan hangat. "Nah... ini baru kemenangan yang layak dirayakan. Dengan kafein, bukan champagne," kata Wahidin sambil menuang kopi. "Minum dulu, Mbak Malda. Katanya pelari butuh stamina. Tapi sekarang butuh sabar juga, soalnya deketin Yulianto itu harus tahan dengar cerita dia 3x muter," ucap Agung sambil menyodorkan gelas ke arah Malda. Malda tertawa. "Udah terbiasa, Pak. Kadang ceritanya ngulang, tapi versi keempatnya suka ada ending plot twist." "Betul! Dulu cerita dia soal turnamen tahun '98 tuh awalnya bilang juara dua. Minggu lalu jadi juara satu karena lawannya kram!" kata Pakdhe Yanto bangga. "Dan bulan lalu, katanya nggak jadi main karena net robek. Padahal netnya tuh robek gara-gara dia sendiri nyangkut!" sambung Aman. Malda menutup mulut, menahan tawa yang nyaris berubah jadi isak karena terlalu dalam. "Hahahaha... Astaga! Pak Yuli kayak Wikipedia hidup, ya. Tapi edisi bisa disunting sendiri." "Lha itu keistimewaan orang tua, Nduk. Kita bukan cuma sumber cerita, tapi juga kurator memori. Kalo jelek, disensor. Kalo bagus, digedein!" Pakdhe Yanto berkata sambil mengangkat jari telunjuk. Malda pura-pura berpikir. "Hmm... kalau gitu saya harus hati-hati ya, takut nanti 10 tahun lagi cerita pertemuan pertama kita jadi versi dia ngajarin saya lari... padahal aslinya dia jualan HP." Agung berteriak sambil tertawa. "WEH! Itu pasti! Versi Yulianto di masa depan tuh bisa begini: 'Saya tuh liat Malda pertama kali lari di padang rumput, terus saya ajak jadi anak asuh atletik!'" Aman melanjutkan dengan gaya dramatis: "'Lalu kami sama-sama masuk olimpiade... sayangnya saya cedera karena jatuh cinta.'" Suasana makin riuh. Bahkan pemilik warung ikut tertawa sambil mengaduk kopi. Malda menunduk, menyeka sudut matanya. "Duh... saya belum pernah ketawa sebanyak ini sejak... sejak lama. Rasanya kayak pulang." Hening sejenak. Tapi bukan hening yang canggung. Hening yang nyaman. Hening yang diisi rasa hangat, seperti baru menyadari bahwa rumah bisa hadir dalam bentuk orang-orang yang tulus. Wahidin mengangguk pelan. "Yulianto tuh orang keras kepala, Nduk. Tapi hatinya kayak shuttlecock... gampang melayang kalau ada angin lembut." Malda menatap cangkir kopinya, suaranya pelan. "Mungkin saya anginnya, ya?" Pakdhe Yanto mengangkat gelas, memberi hormat kecil. "Kalau iya, jangan berhenti bertiup, Nduk. Karena kami semua tahu... dia butuh itu." Dan di bawah langit Kudus yang mulai berwarna tembaga, tawa mereka mengalir bersama aroma kopi dan cerita. Mungkin, kemenangan terbesar hari itu bukan angka di papan skor, tapi kedekatan yang tumbuh, hangat dan tak terduga. Di sisi lain, Yulianto berdiri memandang mereka dari kejauhan. Ia melihat Malda tertawa, dikelilingi orang-orang yang tak mengenalnya kemarin tapi kini menjaganya seperti keluarga. Ia tahu, hatinya makin yakin: hidup bisa dimulai lagi, bahkan di usia yang orang kira sudah selesai. Dan cinta, kadang tumbuh dari tribune, bukan dari mimbar. Ia menatap lampu-lampu yang menyala sangat terang, lalu tersenyum. "Terima kasih, Tuhan... karena mengirimkan seseorang yang membuat saya ingin berlari lagi. Tapi kali ini... bukan ke garis finish. Tapi ke hati seseorang."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN