Pagi seperti biasa namun bagi Miura terasa sangat berbeda. Tak ada sepatu lari hari itu. Tak ada suara lonceng treadmill yang biasanya riuh menemani pagi, atau irama hitungan interval dari mulut Miura yang semangat. Yang ada hanya suara lembut… yang lebih berharga dari semuanya: "Mas… dia nendang lagi." Yulianto yang sedang merakit rak buku di ruang kerja, langsung meloncat seperti atlet equestrian melihat palang rintangan. Ia melesat ke arah Miura yang tengah duduk di sofa, wajahnya diliputi bahagia sekaligus ragu. Dengan gesit, ia berlutut, menempelkan telinganya ke perut sang istri yang mulai membulat dengan sempurna. "Tuh kan… dia nendang pakai teknik kanan depan, kayak kamu waktu protes aku lupa tanggal jadian." Yulianto tersenyum nakal. Miura terkekeh. "Dia belajar dari siapa, h

