Malam sudah larut. Warung kopi tinggal mereka berlima. Ibu warung sudah tiga kali keluar menyapu halaman, kode halus yang sama sekali diabaikan oleh sekelompok manusia berjiwa muda yang menolak pulang. Mereka adalah kumpulan lelaki setengah abad lebih yang masih suka tertawa seperti remaja, dan satu perempuan muda yang tanpa sadar telah menjadi pusat orbit malam itu.
Pakdhe Yanto (sambil berdiri dan merenggangkan punggung) : "Astaga, umur memang nggak bisa bohong. Duduk tiga jam, tulang kerasa kayak habis diajak squat jump!"
Wahidin (sambil berdiri pelan): "Yuk, bubar yuk. Kasihan juga Ibu warung, mau nyemprot ubin, tapi kita masih ngendon di sini kayak iklan sabun."
Agung (melirik Yulianto dan Malda bergantian dengan senyum curiga) : "Tapi jangan-jangan... ada yang pengen duduk lebih lama karena... rasa belum tuntas di gelas hati?"
Aman (membuat suara efek drum muluk-muluk) : "DUG DUG DUG DUUUUUUG!"
Malda pura-pura batuk, Yulianto tiba-tiba sibuk mengecek HP yang bahkan tidak berbunyi.
Pakdhe Yanto (berlagak detektif) : "Liat tuh... dua manusia yang tadi rame sekarang mendadak jadi patung lilin. Ini udah masuk tahap suka tapi belum siap dibilang suka!"
Yulianto (berusaha menertawakan, tapi suaranya setengah serak) : "Ayo lah, Pakdhe, jangan gitu dong. Kita kan cuma... yaa, ngobrol-ngobrol aja."
Agung (mengangkat alis tinggi-tinggi) : "Ngobrol kok saling lirik? Tadi kamu ngambil cabai aja sambil ngasih senyum lima detik ke Malda. Itu bukan senyum biasa. Itu senyum... penuh lemak perasaan!"
Malda (menatap Agung dengan ekspresi geli sekaligus kikuk) : "Lemak perasaan? Bapak bikin istilah baru ya? Itu cocoknya jadi judul novel Dreame!"
Aman (menyikut Yulianto pelan) : "Ciee... Pak Yuli, udah nggak ngejual HP lagi sekarang, ya? Udah ngejual harapan?"
Yulianto (pasrah, tapi tertawa juga) : "Hahaha... kalian ini... Saya mah cuma seneng ngobrol sama orang yang nyambung. Itu aja. Nggak ada yang aneh-aneh."
Semua langsung bersorak : "WOOOOOOOOOO!" seperti anak-anak SMA menemukan temannya suka senior OSIS.
Pakdhe Yanto (pura-pura bijak) : "Yul, Yul... kadang hidup itu aneh. Kita pikir kita lagi ngobrol biasa, tahu-tahu hati kita udah duduk duluan di sebelahnya."
Malda menunduk pelan. Matanya menerawang sebentar, lalu senyum tipis. Ia tahu perasaan itu mulai tumbuh—tidak meledak, tapi perlahan. Seperti kopi tubruk yang makin terasa nikmat setelah ampasnya mengendap.
Wahidin (menepuk bahu Malda pelan) : "Nduk, kamu tahu nggak kenapa kami suka nongkrong bareng? Bukan karena kopi, tapi karena di sini... kita bisa jadi versi paling lucu dari diri kita sendiri. Nah, kalo kamu bisa ketawa bareng Yulianto, terus merasa damai... ya, mungkin kamu udah nemu tempat pulangmu."
Yulianto menoleh cepat ke arah Malda. Tatapan mereka bertemu, sebentar. Canggung. Tapi hangat. Seperti dua gelas kopi yang didekatkan... tapi belum sempat disatukan.
Agung (membuyarkan momen dengan nyanyian norak) : "Bapak dan anak... saling memandaaang~!"
Aman (ikut menyanyi dengan suara fals) : "Tapi yang satu... mulai baper terang-teraaaangan!"
Malda dan Yulianto akhirnya tertawa lepas, tapi kali ini ada rona merah yang tak bisa disembunyikan.
Setelah tawa mereda dan yang lain mulai pamit satu per satu, hanya Malda dan Yulianto yang tertinggal di bangku kayu warung itu. Lampu warung sudah mulai diredupkan.
Yulianto (sambil memutar sisa kopinya di dalam gelas) : "Malam ini... paling berisik dan paling tenang dalam waktu bersamaan."
Malda (tersenyum, menatap ke langit) : "Kayak hati yang ramai tapi nggak tahu harus cerita ke siapa, ya?"
Yulianto : "Tapi sekarang kamu bisa cerita. Nggak usah takut. Kadang yang dibutuhkan orang dewasa cuma didengarkan tanpa digurui."
Malda : "Dan saya... baru sadar, ternyata saya sudah sangat lama nggak didengarkan tanpa dihakimi."
Keheningan pelan-pelan turun. Warung benar-benar sepi. Ibu warung bahkan sudah pamit, meninggalkan lampu temaram dan udara lembap malam.
Malda (pelan) : "Pak Yuli... kenapa Bapak nggak nikah lagi? Maksud saya... dua anak sudah besar, hidup Bapak stabil. Bapak penyayang, lucu, romantis..."
Yulianto (terdiam lama, lalu berkata pelan) : "Karena saya belum pernah jatuh cinta lagi... sampai kamu datang."
Malda menoleh cepat, jantungnya seperti jatuh dari tangga stadion. Tapi Yulianto tetap menatap ke depan, tidak memandangnya. Kata-kata itu menggantung seperti lentera. Malda menunduk, mengusap lengannya yang merinding.
"Banyak orang pikir cinta itu milik anak muda. Tapi yang lebih mengerikan dari patah hati... adalah hidup tanpa pernah mencintai lagi."
"Bapak takut gagal lagi?"
"Bukan. Saya takut bikin orang yang saya cintai merasa repot. Dan saya takut... dia merasa malu mencintai lelaki seusia saya."
Malda (mata berkaca) : "Cinta itu nggak mengenal malu, Pak. Tapi mengenal kejujuran. Dan saya... saya belum tahu apa nama rasa ini, tapi yang jelas, saya nyaman. Tenang. Dan... hidup."
Yulianto (akhirnya menatap Malda, dengan mata yang hangat dan sedikit basah) : "Kalau kamu nyaman... izinkan saya jadi tempat kamu kembali. Bukan karena saya hebat, tapi karena saya bersedia ada, kapan pun kamu butuh."
Malam semakin larut. Tapi dua hati itu sudah terjaga.
Bukan karena kopi.
Tapi karena cinta yang mulai mengendap, hangat, dan berani hadir meski belum disebut namanya.
Setelah tawa reda dan para sahabat Yulianto satu per satu berpamitan, hanya tersisa dua gelas kopi yang tak lagi hangat, satu piring berisi tahu setengah habis, dan dua manusia yang diam lebih lama daripada biasanya.
Langit Kudus menggelap penuh. Lampu jalan menyala sayup-sayup, memantulkan cahaya temaram ke jendela warung. Ibu warung akhirnya masuk ke dalam, menyerah pada keabadian percakapan yang tak kunjung bubar.
Malda menyender sedikit ke samping, menyilangkan tangan, lalu melirik Yulianto pelan. Sementara lelaki itu memainkan sendok teh di mulut gelasnya, seperti memutar waktu agar tak segera selesai.
"Pak Yuli..."
Yulianto (menoleh) : "Ya?"
"Kalau waktu bisa diundur, Bapak mau balik ke masa kapan?"
Yulianto (tersenyum kecil, lalu menatap kosong sejenak) : "Mungkin... waktu istriku masih hidup. Waktu anak-anakku masih suka gangguin pagi-pagi, rebutan odol, rebutan siaran TV kartun... Waktu rumahku masih ramai."
Malda (pelan) : "Sekarang... masih sepi, ya?"
Yulianto mengangguk pelan. Lalu, ia mendongak sebentar ke langit. "Sepi itu... bukan karena nggak ada orang. Tapi karena nggak ada yang bisa kita panggil 'berarti'."
Malda menunduk. Hatinya terasa ditarik ke dalam, seolah kata-kata itu mengendap di dasar d**a. "Maaf, kalau saya jadi orang yang tiba-tiba ada di hidup Bapak. Datang-datang nanya harga HP, tahu-tahu ikut ngeteh bareng geng Bapak. Saya kadang takut... terlalu masuk ke kehidupan orang."
"Hei... kamu bukan masuk. Kamu hadir. Itu beda. Dan... saya nggak pernah ngerasa keberadaan kamu itu ganggu. Justru... saya merasa sedikit hidup lagi."
Ada hening yang mengisi celah antara kata dan kenyataan. Angin malam membawa bau bunga melati dari arah halaman. Keduanya masih duduk, hanya berbagi diam dan tatapan yang perlahan mulai jujur.
"Dulu saya pikir, bagian tersulit dari ditinggal itu adalah kehilangan. Tapi ternyata... bagian terberatnya justru saat kita merasa nggak lagi pantas dicintai. Umur segini... saya pikir hati saya udah pensiun."
Malda (bergetar suaranya) : "Hati nggak pernah pensiun, Pak. Paling... dia cuma istirahat sebentar. Nunggu ada orang yang cukup sabar buat bangunin lagi."
Yulianto menatap Malda. Mata mereka bertemu. Bukan pandangan romantis seperti remaja sinetron. Tapi lirih. Dalam. Nyata. Seperti dua orang yang sama-sama membawa luka, dan perlahan percaya bahwa saling menemani bisa jadi bentuk paling nyata dari cinta.
"Kamu... kenapa bisa ngomong kayak gitu?"
"Karena saya juga pernah ngerasa nggak layak buat dicintai. Cedera, gagal, jadi beban keluarga... saya kira saya udah selesai. Tapi... entah kenapa, setelah ngobrol sama Bapak... saya jadi ingat kalau hati itu bukan untuk dipaksa menang. Tapi untuk diajak pulang."
Malam makin larut. Tapi obrolan mereka seperti baru dimulai. Tidak ada pengakuan cinta yang dramatis. Tidak ada pelukan atau janji. Hanya percakapan tenang, dengan jeda, dengan kejujuran, dan... dengan harapan.
Yulianto (menarik napas dalam): "Miura... kamu tahu nggak? Saya belum pernah cerita ini ke siapa-siapa. Tapi selama ini saya suka menulis pakai nama samaran. Fabianus Franky Yulianto. Biar nggak ketahuan anak-anak saya. Mereka kira saya cuma suka ngetik buat iseng."
"Tunggu... Fabianus Franky? Yang nulis Yang Tersisa dari Cinta? Bapak serius?"
Yulianto: "Kamu tahu buku tadi?"
"Iya, saya baca tadi siang. Dua anak SMA nangis waktu baca di taman, saya penasaran. Begitu lihat cover dan penulisnya... saya sempat mikir... jangan-jangan. Tapi saya ragu nanya."
"Itu memang novel lama saya. Saya tulis dua tahun setelah istri saya meninggal. Setiap kalimatnya... berisi hal-hal yang saya nggak pernah sempat bilang ke dia."
Malda (berdesir pelan) : "Tulisan itu... dalem banget, Pak. Bikin orang ngerasa diperjuangkan, bahkan dari kata yang nggak terucap."
"Kalau kamu suka, nanti saya kasih satu salinan. Tapi yang saya tanda tangani langsung."
"Tapi tolong jangan cuma kasih buku, ya Pak."
"Maksudnya?"
"Kasih juga waktu... obrolan... dan tempat buat saya pulang kalau saya capek dari dunia."
Yulianto menatapnya. Wajahnya lembut, matanya seperti mengamini. Ia tidak menjawab dengan kata, tapi dari tatapan itu, Malda tahu: ia tak sendirian lagi. "Kalau kamu nggak keberatan... mungkin malam ini, hati saya udah ketemu rumah barunya."
Mereka duduk sedikit lebih dekat. Tak saling sentuh, tak juga berucap manis. Tapi angin malam terasa berbeda. Tidak lagi sunyi. Kini ia membawa bisikan yang tidak keras... tapi terasa dalam.
Dan malam itu, di sudut warung kopi kecil, lahirlah satu keheningan paling hangat yang pernah mereka rasakan.