Bab 8 : Jalan Pulang, Hati Pulang

1616 Kata
Malam telah runtuh sepenuhnya ketika motor matic putih milik Yulianto melaju pelan melewati jalanan kota Kudus yang mulai lengang. Udara sejuk menusuk jaket, tapi bukan itu yang membuat Malda Miura menempel erat di belakang Yulianto. Ada sesuatu yang lain. Getar lembut yang tidak berasal dari mesin motor, tapi dari jantung yang entah kenapa terasa tak biasa. Yulianto (teriak kecil karena helm setengah muka): "Masih nyaman, Miura? Kalau kedinginan, bilang ya. Saya bisa nyalain... cinta." (lalu tertawa sendiri) Malda (menepuk pundaknya pelan): "Astagaaa... Bapak, itu gombalan apa, sih? Panas juga dengerinnya, padahal anginnya dingin!" "Lha, itu bukti cinta saya menghangatkan malam! Tapi kalau kamu butuh jaket, sini saya lepas punyaku." Malda (melepas satu tangan dari pinggang Yulianto, lalu memeluk lebih erat): "Enggak usah. Saya lebih butuh... stabilitas motor ini." (lalu menambahkan pelan) "Dan... stabilitas yang saya rasain akhir-akhir ini, sejak kenal Bapak." Yulianto terdiam beberapa detik. Bukan karena tak punya balasan, tapi karena kata-kata itu menampar lembut hatinya. Motor melaju pelan, menyusuri jalanan yang diselimuti kelam penuh lampu jalan kuning temaram. Setelah beberapa kilometer, Yulianto tiba-tiba ngerem mendadak. Malda (kaget): "Aaaa! Pak, serius, saya kira tadi tabrak tuyul!" Yulianto (tertawa sambil menoleh setengah): "Nggak, itu latihan reflek! Biar kamu makin nempel, hahaha." Malda (berdecak, tapi senyum tak bisa disembunyikan): "Bapak, kalau saya jantungan malam ini, yang tanggung jawab siapa?" "Kalau kamu jantungan, saya antar ke Puskesmas. Tapi kalau kamu jatuh cinta, saya antar ke rumah... saya." Suasana hening sebentar. Tapi bukan hening yang canggung. Hening yang dipenuhi tawa kecil, dan detak jantung yang terdengar sampai ke ujung helm. Sekitar 20 menit kemudian, Yulianto menepikan motornya ke sebuah warung kaki lima yang masih buka. Ada termos besar, tulisan "Jahe Anget + Kacang Rebus = Malam Bahagia" tergantung di spanduk sobek. "Kita mampir dulu. Bahagia dulu sebentar, baru lanjut pulang." Mereka duduk di bangku plastik, kaki saling mengarah ke jalanan. Seorang bapak tua menyuguhkan dua gelas jahe hangat dan sebakul kacang rebus. Malda (menerima gelasnya): "Malam-malam kayak gini, ini rasanya kayak minum pelukan." (menatap ke uap gelas) "Kalo gitu, pelukannya nggak usah pakai gelas." (tertawa kecil) Malda menatapnya lama, matanya redup tapi hangat. Kali ini tidak membalas dengan canda, tapi dengan diam. Diam yang menyampaikan: aku dengar, dan aku simpan. "Tahu nggak, Miura... dulu, waktu istri saya masih ada, kami suka naik motor juga kayak gini. Pulang dari pasar malam, bawa roti bakar dua ribu, terus nyari jahe kayak gini. Tapi setelah dia pergi... jalanan selalu terasa terlalu panjang." "Bapak... maaf, saya... saya belum pernah tahu cerita lengkap soal itu." "Istriku... namanya Lala. Dia meninggal mendadak. Nggak sakit, nggak sempat pamit. Hanya... pergi. Begitu aja. Tapi aku... sempat kayak motor mogok. Nggak tahu mau kemana." Malda (menatapnya, suaranya pelan): "Dan sekarang... Bapak masih merasa mogok?" Yulianto (menatap langit sebentar): "Mungkin udah nyala lagi, tapi masih belum kencang. Sampai ketemu kamu. Kamu seperti starter yang lama hilang." Malda tersenyum kecil. Ia menyuapkan satu kacang rebus ke mulut sendiri, lalu tanpa sadar menyodorkan satu ke Yulianto. "Coba ini. Katanya kacang bisa jaga kesehatan jantung." Yulianto (mengunyah pelan): "Kalau gitu, saya harus makan sepuluh. Karena jantung saya makin sering berdebar... kalau kamu dekat." Mereka saling tertawa. Tapi kali ini tawa mereka lebih pelan. Lebih dalam. Dan lebih... tulus. Motor kembali melaju. Jalanan Kudus ke Semarang malam itu bukan hanya lintasan aspal. Ia adalah lintasan kenangan, dan lintasan kemungkinan. Di tengah perjalanan, Yulianto berhenti lagi. Kali ini di atas jembatan kecil, tempat lampu-lampu jalanan memantul di aliran sungai. "Kenapa berhenti lagi?" "Saya cuma pengen lihat refleksi. Kadang kita perlu berhenti sejenak, buat tahu siapa yang lagi kita bonceng... dan siapa yang ada di hati kita." Malda turun dari motor, berdiri di sebelah Yulianto. "Aku belum tahu kamu punya perasaan yang sama atau nggak. Tapi aku tahu, hatiku... sudah lama kosong, dan sekarang nggak lagi. Sejak kamu datang." Malda (menunduk, lalu memandang Yulianto lama): "Saya juga... udah lama kehilangan arah. Tapi sejak ngobrol sama Bapak, sejak ikut tertawa, dan bahkan ikut ngetawain hidup yang aneh ini... saya mulai merasa utuh." "Jadi... gimana kalau kita nggak buru-buru? Nggak perlu cepat-cepat pacaran, apalagi nikah. Kita jalan aja pelan-pelan, kayak motor tua ini. Tapi bareng." "Dan saling isi bensin semangat. Dan saling benerin kalau ada baut yang lepas." Yulianto mengangguk. Ia memutar tubuhnya, lalu membuka jaketnya pelan dan memakaikannya ke Malda. "Ini mungkin nggak seberapa. Tapi kalau kamu kedinginan, pelukan ini bisa jadi tempat pulang." Malda tersenyum, menahan air mata yang hampir jatuh. Bukan karena sedih. Tapi karena lama sekali ia tidak merasa... didengarkan. Mereka kembali ke motor. Malam makin dalam. Tapi dalam hati mereka... baru saja pagi. Saat motor kembali melaju, tak ada lagi canda keras. Hanya suara mesin pelan, dan dua hati yang mulai berdetak pada frekuensi yang sama. Di balik helmnya, Malda menutup mata sebentar. Ia tahu, lari sejauh apapun... akhirnya ia berhenti di sini. Di boncengan motor tua, bersama seseorang yang tahu cara membuatnya tertawa, dan lebih dari itu—tahu cara membuatnya merasa cukup, meski dunia belum berubah. Dan dalam malam panjang itu, mungkin cinta... tidak datang seperti sprint. Tapi seperti langkah lambat, yang pasti. Seperti perjalanan Kudus-Semarang ini. Sampai pagi nanti, dan mungkin... selamanya. ----- Malam Semarang membentang tenang. Angin kota mengalun pelan, jalanan mulai sepi. Di atas motor matic warna putih, Malda duduk di jok belakang, memeluk tasnya erat-erat. Yulianto, yang mengemudi di depan, tampak kikuk. Bukan karena jalanan gelap, tapi karena... yang diboncengnya bukan sembarang orang. Yulianto (melirik spion, suara bergetar ringan): "Masih nyaman, Malda? Kalau anginnya kenceng, nanti saya pelanin... atau... kita berhenti beli wedang ronde dulu?" Malda (tertawa kecil, membenahi posisi duduk): "Nggak, nggak. Aman kok. Tapi... saya belum pernah dibonceng pulang malam-malam gini sama... ya, bapak-bapak." Yulianto (tersedak udara, lalu membalas cepat): "Waduh! Saya gagal tampil muda, dong?" Malda (nyengir di balik helm): "Tenang, Pak. Masih mending bapak-bapak yang wangi parfum citrus dan bisa netting bulutangkis... daripada anak muda yang cuma bisa 'ngeting' saldo!" Yulianto tertawa keras sambil tetap fokus di jalan. Tapi tawa itu menyimpan degup yang tak biasa. Sementara Malda menunduk. Pipinya hangat. Ia merasa sesuatu mulai tumbuh. Aneh. Bukan kagum biasa. Bukan nyaman yang ringan. Lebih berat. Lebih... dalam. Yulianto (setelah beberapa detik hening): "Tadi kamu bilang jarang bisa ketawa... Sekarang gimana?" Malda (diam sebentar, lalu menjawab pelan): "Sekarang... rasanya kayak lari sore di lintasan lama. Rasa lelahnya masih ada, tapi napasnya lebih plong. Mungkin bukan karena lintasannya... tapi karena lari bareng orang yang... nggak buru-buru." Yulianto (suara lirih): "Padahal saya udah tua. Tapi kamu bilang saya kayak teman lari." Malda (menimpali sambil tersenyum di balik helm): "Teman lari itu bukan soal umur. Tapi soal irama. Kalau langkahnya pas, kita bisa sama-sama sampai." Sunyi mengambang. Bahkan mesin motor seperti berdesir pelan. Sampai akhirnya... Yulianto (berusaha mencairkan suasana): "Wah... ngomong kayak gitu, saya jadi pengen bikin kaos: 'Lari Bersama, Tapi Hati Tertinggal'." Malda (terbahak di belakang): "Duh, Pak Yuli! Kalau terus gombalnya gitu, saya bisa naksir beneran, lho!" Yulianto mendadak membelokkan motor ke bahu jalan dan berhenti. Yulianto (berpura-pura serius): "Kalau udah naksir beneran... boleh naik motor tiap hari sama saya nggak?" Malda kaget, tapi juga geli. Ia menepuk bahu Yulianto pelan. "Aduh, Pak... jangan gitu, nanti saya bingung ngebedain mana suara klakson dan deg-deg-an!" Yulianto tertawa. Malda tertawa. Tapi di dalam d**a mereka, ada tawa yang tak bisa disampaikan dengan suara. Tawa yang datang bersama rasa aneh. Rasa yang tak bisa disebut, tapi tak juga bisa dibantah. Mereka melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan, percakapan itu bergulir seperti angin malam yang menggelitik, lembut tapi menusuk. "Pak Yuli... tadi saya iseng baca review tentang novel 'Yang Tersisa dari Cinta'. Di Gramedia digital... semua komentarnya penuh air mata. Penulisnya katanya... penuh cinta... dan kehilangan." Yulianto (diam sebentar, lalu pelan): "Itu bukan sekadar novel. Itu catatan saya buat istri saya yang sudah pergi... Tanpa sakit. Tanpa pamit." "Saya ikut sedih... dan kagum. Nulis itu nggak mudah, apalagi nulis tentang luka." "Seperti yang saya bilang tadi, waktu dia pergi... rumah seperti kosong, meski penuh barang. Tapi sejak ngobrol sama kamu... saya kayak nulis bab baru. Bab yang... tidak saya sangka bisa saya mulai lagi." Malda (pelan, dari balik helm): "Kalau memang saya itu... bab baru... semoga ceritanya nggak berhenti di halaman pertama." Yulianto tersenyum. Tanpa menoleh, tapi senyum itu terasa sampai ke Malda. Mereka sempat berhenti di warung kecil yang masih buka. Di sana, mereka duduk di bangku kayu, menyeruput kopi panas. Malda mengelus lengannya yang digigit angin, dan Malda menutup retsleting jaket yang tadi Yulianto berikan. "Kalau terus gini, nanti saya... nggak bisa jauh dari Pak Yuli." Yulianto (sambil menatap kopi panasnya): "Kalau kamu nggak bisa jauh, saya janji... nggak akan pergi. Kecuali kamu sendiri yang minta saya pergi." Hening menyelimuti mereka. Tapi itu bukan hening yang kikuk. Itu hening yang hangat. Hening yang menumbuhkan. Beberapa jam kemudian, motor Yulianto sampai di depan indekos Malda. Ia mematikan mesin perlahan. Tidak ada suara. Hanya lampu neon kecil dan suara jangkrik malam. Malda (berdiri, masih memeluk jaket Yulianto): "Terima kasih... untuk hari ini. Untuk malam ini. Untuk... rasa yang nggak bisa saya jelasin." "Saya yang terima kasih. Kamu... bikin saya percaya, bahwa kadang cinta tidak datang dengan dentuman. Tapi dengan percikan kecil... seperti tawa pertama kita di warung kopi." Malda (tersenyum pelan): "Jangan berhenti nulis ya, Pak. Jangan berhenti bicara soal cinta. Karena cinta itu... universal. Bisa menyembuhkan. Bisa menyalakan." "Kalau kamu yang minta, saya akan tulis satu buku lagi... Tentang perempuan yang datang di hidup saya... pakai hoodie hitam dan beli HP murah. Tapi akhirnya... yang dia beli bukan ponsel, tapi hidup saya juga." Mereka sama-sama tersenyum. Tak ada pelukan. Tak ada genggaman tangan. Tapi malam itu... hati mereka sudah lebih dekat dari jarak manapun. Dan saat Malda masuk ke dalam, dan Yulianto menyalakan motornya kembali untuk pulang, satu hal terasa pasti: Perjalanan baru ini... baru saja dimulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN