Malam di Semarang turun dengan tenang, seperti seseorang yang pelan-pelan menaruh selimut hangat di bahu. Di kamar kos kecilnya, Malda sudah berganti kaos tanktop dan celana pendek, membaringkan diri di atas kasur yang tak selebar keinginannya hari ini.
Namun, tubuh boleh rebah. Hati? Masih berdiri. Tegak. Deg-degannya belum juga reda. Senyum di wajahnya seperti diselotip dari dalam. Tak mau lepas.
Layar ponsel menyala.
“Pak Yulianto”
22.49
Udah sampai kakar, kan? Jangan bilang kamu nyasar gara-gara kepikiran senyumanku yang katanya mematikan itu…
Malda terkikik seperti anak SMA. Jari-jarinya cepat mengetik.
Malda:
******, **~
Wǒ yǐjīng zài jiā le, lǎo gōng.
(Aku sudah di kamar, suamiku~ 😜)
Tapi serius ya, kalau senyum itu dijual... aku udah cicil 12 bulan pake kartu kredit penuh cinta.
Balasan datang cepat. Seperti Yulianto memang sudah siap di balik layar, deg-degan juga.
Yulianto:
Omae wa mou shindeiru!
(Kamu sudah mati... karena gombalanmu bikin jantungku jedug-jedug!)
Aku sampai ngeluarin jurus anime saking bahagianya.
Malda:
********!
Hāhāhā, nǐ tài fúkuā le!
(Hahaha, kamu lebay banget!)
Beberapa detik hening.
Lalu Malda mengetik lagi. Kali ini lebih pelan. Lebih tulus.
Tapi... serius dikit ya. Malam ini... aneh banget rasanya. Tapi aneh yang aku syukuri.
Rasanya beda dari hari-hari biasanya yang cuma isinya dokumen kantor, laporan ekspor, dan kabar rumah sakit dari kasus Papa...
Balasan dari Yulianto datang dengan bahasa yang lebih pelan, lebih hati-hati.
Yulianto: Yokatta na. (Senang dengarnya.). Kalau kamu bisa senyum, bisa ketawa malam ini... itu cukup buat aku.
Aku tahu dunia kamu sekarang berat. Makanya kalau bisa... aku pengen jadi bagian yang bikin ringan. Gak banyak, tapi cukup buat bikin kamu bisa tarik napas panjang.
Malda: Duh... kamu kok bisa ngomong kayak di drama Korea, ya?
Tapi versi Jepang... dengan logat Semarang dan parfum citrus bapak-bapak 😆
Yulianto: Ore wa sugoi deshou? (Aku keren, kan?) Soalnya ngobrol sama Lao Po kayak kamu itu harus all out. Masa kalah sama cowok-cowok t****k yang cuma bisa lipsync?
Malda menutup mulut, menahan tawa yang nyaris pecah. Ia membolak-balik tubuh di atas kasur seperti gadis 17 tahun yang baru jatuh cinta untuk pertama kali. Padahal, katanya, cinta itu sudah lama lewat dari usia.
Malda: Pak... jujur, ya. Aku sebenarnya agak takut dibilang aneh. Maksudku, aku pernah punya hubungan. Tapi belum pernah ngerasa sepenasaran ini.
Belum pernah sesering ini mikir: "Dia lagi ngapain, ya sekarang?"
Dan kamu itu... ya, beda jauh dari cowok-cowok yang biasa deketin aku.
Balasan Yulianto datang lebih pelan. Lebih... menunduk.
Yulianto: Aku juga heran. Jujur.
Kupikir, setelah lewat kepala lima... urusan deg-degan itu udah selesai.
Tapi tiap kamu senyum, rasanya kayak... dapet smash lurus ke d**a pas gak siap. Bukan karena aku gak bisa nerima... tapi karena aku gak nyangka bisa ngerasain itu lagi.
Malda menggigit bibir bawahnya.
Malda: *******. Nǐ hěn dòngqíng le...(Gombalnya kamu... dalam banget.) Tapi aku suka.
Yulianto: Arigatou. Hontou ni.
Terima kasih. Sungguh. Malda... besok kamu sibuk? Kalau enggak, temenin aku latihan bulutangkis.
Aku pengen kamu lihat kenapa aku masih bisa nyampe final turnamen rokok-rokokan itu 😆 Dan siapa tahu... kamu jatuh cinta sama backhand aku juga.
Malda: Aku datang! Tapi kalau teknik kamu kalah sama anak SMA... siap-siap saya suruh kamu lari keliling lapangan sambil bawa shuttlecock di jidat.
Yulianto: Waduh! Itu hukumannya s***s banget. Tapi... demi bisa lihat kamu ketawa lagi kayak malam ini, saya rela.
Obrolan ditutup dengan deretan emoji ketawa dan satu emoji hati merah yang dikirim Yulianto secara spontan. Tanpa dibalas.
Sememtara di seberang sana, emoticon hati rak terbalas bukan karena Malda tak ingin. Tapi karena... dadanya hangat, dan matanya sudah mulai berat. Ia meletakkan ponsel di atas d**a, lalu menatap langit-langit kamar.
Sejenak, kamar mungil itu tak lagi sunyi.
Ada suara degup. Ada senyum yang masih tinggal. Dan di tengah segala rutinitas yang menjemukan, malam ini terasa seperti jeda dalam balapan. Seperti saat pelari tiba-tiba berhenti di pinggir lintasan—bukan karena kalah, tapi karena menemukan sesuatu yang lebih penting dari garis finish.
Yulianto.
Seseorang yang tak ia rencanakan. Tapi pelan-pelan, ia izinkan tinggal.
Dan mungkin... untuk pertama kalinya sejak lama...
Ia ingin seseorang itu tinggal lebih lama.