Udara malam Semarang menyambut Miura dan Yulianto begitu mereka melangkah keluar dari gedung bioskop. Lampu-lampu jalan memantul di trotoar yang masih basah sisa hujan sore tadi. Miura masih menggenggam lengan Yulianto erat, seolah belum pulih dari ketegangan Dark Nuns yang baru saja mereka tonton. “Aku beneran nggak ngerti kenapa kamu milih film itu, Lao Gong,” gumam Miura sambil meringis. “Itu biar apa? Biar aku lompat ke pelukan kamu tiap lima menit?” Yulianto nyengir, “Strategi... namanya strategi. Kalau aku ajak nonton film komedi, kamu ketawa sama aktornya, bukan sama aku. Kalau horor, kamu fokusnya ke aku.” “Dasar licik!” Miura pura-pura manyun, tapi pipinya yang merah memberi tanda kalau sebenarnya ia senang. Alih-alih langsung pulang, Yulianto mengajak Miura berjalan kaki menu

