bc

Muridku Suamiku

book_age16+
detail_authorizedDIIZINKAN
221
IKUTI
1K
BACA
drama
tragedy
like
intro-logo
Uraian

Lisa adalah wanita lulusan sarjana pendidikan yang sudah melamar pekerjaan kesana-kemari tetapi dia masih saja menganggur setelah di tolak di beberapa sekolah. Karena kesal, saat berjalan pulang gadis itu menendang kaleng bekas minuman bersoda yang tak sengaja tepat mengenai helm pengendara motor lelaki masih memakai pakaian putih abu-abu. Lisa menelan Saliva nya namun bersyukur karena korbannya masih bocah. Tetapi bocah lelaki itu merasa tak terima dan mendatangi Lisa.

"Maaf, aku tak sengaja."

"Maaf, enak sekali, Tante. Apa gunanya Polisi kalau semua beres dengan minta maaf!"

"Tante? Kapan aku kawin sama Om kamu? Lihat SIM mu, Dik. Kalau gak ada kulaporkan ke Polisi!"

Ternyata Lisa adalah guru privat adik kandung dari Fandi yang bernama Radit. Karena Fandi masih merasa kesal, timbul niatnya mengerjai Lisa dan dia menaruh obat p*r*ngsang di minuman Lisa yang di kiranya obat sakit perut.

"Apa yang kamu lakukan, dik? Aku ingin di peluk."

Lisa jatuh di atas Fandi karena pengaruh obat tetapi naas beberapa tetangga, teman arisan Ibu Fandi datang dan memergoki mereka.

"Kami tidak melakukan apapun!"

"Bohong! Ayo panggil Pak RT dan kawinkan mereka karena kalau ada orang berzina maka sekampung ketiban sialnya!"

Mereka di nikahkan karena kejahilan Fandi. Fandi harus menerima konsekuensi menikahi Lisa yang nantinya akan menjadi guru di Sekolah Menengah Kejuruan tempatnya menuntut ilmu.

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1. Gaga-Gara Obat
Bab 1. Gaga-Gara Obat POV Lisa Aku terduduk lesu di halte bus, sudah melamar pekerjaan kesana kemari namun aku belum juga mendapatkannya. Beberapa orang juga duduk di halte itu untuk menunggu bus. Setelah bus nya datang ada beberapa penumpang yang turun dan mereka yang menunggu tadi naik ke bus itu. Namun aku masih setia saja duduk ditempat ini sambil merenungi nasibku. Aku sarjana keguruan dan Ilmu pendidikan yang sudah setahun lulus kuliah. Usiaku kini dua puluh tiga tahun. Namun, mengapa ya mencari kerja itu sulit. Sudah ke beberapa sekolah aku melempar lamaran namun belum ada tanda tanda aku dipanggil bekerja disekolah itu. Akhirnya dengan lesu ku langkahkan kaki dari halte itu. Aku mau pulang saja. Rasa kesal menderaku hingga aku cemberut sepanjang perjalanan. Ibuku pasti kecewa sudah menyekolahkan aku hingga sarjana namun belum dapat kerja juga setelah lulus kuliah. Ketika melihat kaleng bekas minuman yang sudah peyot di depanku. Aku menendangnya saja tanpa pikir panjang. Kaleng itu melayang entah kemana. Ah, aku tak ambil pusing. Hingga akhirnya ada seorang pengendara yang lewat dengan motor gede. Kaleng tadi mengenai kepalanya. Untung dia pake helm. Aku menutup mulutku dengan tanganku. Gawat. Apa yang harus kulakukan. Teriak batinku. "Hei. Kamu jangan lari!" katanya, saat aku ingin melangkah dengan kaki seribu. Aku akhirnya terdiam mematung. Ku perhatikan dalam-dalam siapa pengendara yang naik motor itu. Aku mendesah sedikit lega. Ternyata dia hanya anak ingusan. Masih memakai pakaian putih abu-abu. "Heh. Kamu mau mencelakakan orang ya!" hujat nya padaku. Dia membuka helm nya dan rambutnya di husap-husap perlahan. Sok keren, masih ingusan juga. Aku membatin dalam hati. "Hmmm, maaf dek. Nggak sengaja," kataku seadanya. Dia mendengkus kesal kearah ku. "Enak aja, tidak semudah itu minta maaf. Kalau semua bisa dimaafkan kriminalitas akan merajalela!" serunya, aku menghembuskan napas gusar. Emang aku sih yang salah. Tapi ini cuma persoalan kecil yang tak perlu di besar besarkan. "Ya elah dek. Kamu masih bocah sok ngomong kriminalitas. Coba lihat SIM kamu, mana tahu kamu naik motor gak ada SIM. Kamu juga bisa di kriminalitas kan, Ngerti!" kataku mencibir kearahnya. Dia berdecak kesal mendengar ucapanku. "Nggak beranikan nunjukin SIM. Hayo kamu tak laporin ke kantor polisi biar motor kamu disita," kataku menunjuk wajahnya. Dia semakin berkacak pinggang dan kesal padaku yang masih tenang. "Nih ...," katanya mengeluarkan SIM dari dompetnya, aku mengambil SIM itu dari tangannya. k****a perlahan. Tertera namanya Fandi Alfian. Lahir delapan belas tahun yang lalu. Dia dengan kasar segera mengambil SIM nya dari tanganku. Aku marasa terkejut. Dasar gak ada sopan santun. Kataku membatin. "Puas lu!" ucapnya kasar. "Ya elah, Dek. Umur mu masih belasan tapi udah sok banget. Di mana-mana yang muda menghormati yang lebih tua. Dasar bocah!" seruku melotot. Dia melengkungkan bibirnya. "Gitu ya, Tante." Sial, aku masih dua puluh tiga tahun udah dipanggil Tante. Ngajak berantem nih bocah. "Kapan aku nikah sama om kamu. Seenak jidat dipanggil Tante!" ujar ku mencebik kesal. "Emang, wajahmu mirip Tante-Tante." Dia tertawa lebar. Aku semakin kesal padanya. "Awas ya kamu," kataku makin melotot. "Udah ah, buang-buang waktu ngeladeni Tante-Tante," katanya memakai lagi helm nya. Dia menikmati wajahku yang gusar sebelum dia melajukan kembali motornya. Bocah sial. Aku menggerutu. ** "Lisa, kamu mau gantiin aku kan ngajar privat?" Reni datang kerumahku. Dia tetanggaku, Dia sudah lulus PNS dan sekarang sedang pemberkasan. "Loh, kamu gak ngajar lagi disana. Kamu bilang enak ngajar disana," kataku padanya, aku mempersilahkan Reni duduk. Kami duduk bersama di teras rumahku. "Aku sibuk, Lisa. Udah gak ada waktu lagi. Kamu bilang kamu nganggur, cuma ngajar anak SD aja Lisa. Enak kok, orangtua anak itu baik dan gaji mengajar juga lumayan." "Serius. Aku menjadi bersemangat. Sambil menunggu berkas lamaranku kebeberapa sekolah. Tak ada salahnya aku mencoba. Reni membisikkan nominal yang akan aku dapatkan bila menjadi guru privat. Mataku melotot, sungguh nominal yang lumayan besar. "Aku setuju," kataku tersenyum lebar. ** "Assalamualaikum." kataku ketika sudah di pagar rumahnya. Tak ada jawaban dan akhirnya aku masuk saja. Sampai dipintu aku memberi salam lagi. "Assalamualaikum." Selang beberapa saat pintu dibuka oleh wanita paruh baya yang cantik. Dia tersenyum ramah. "Waalaikum salam. Lisa ya guru baru Radit." Aku mengangguk. "Mari masuk." Dia membawaku ke rumahnya yang cukup mewah. Kami berjalan menyusuri rumah mewah Ibu itu. Ruang belajar sudah disediakan disebuah gazebo. Dimana ada tanaman-tanaman disekitar gazebo membuat suasana terasa nyaman. "Itu Radit," kata Ibunya. Aku duduk di gazebo itu. Kemudian kami saling berkenalan. ** "Mama …." Suara bariton menggema. Ibu Radit yang memperhatikan kami belajar menggeser tubuhnya, "Fandi, Mama dibelakang!" Seru sang Ibu. "Anak lajang saya udah pulang, Dek Lisa." katanya padaku. Aku tersenyum saja sambil terus mengajari Radit bocah kelas empat SD itu pelajaran matematika. Fandi mendatangi Mamanya. "Eh, kenalkan, dek Lisa ini anak saya. Fandi. Abang nya Radit," kata Mamanya padaku. Aku membelalakkan mata begitupun bocah sombong itu. "Lu …." katanya sedikit kaget. "Kalian udah saling kenal?" tanya Mamanya. "Eh, gak mungkin lah, Ma. Wajahnya mirip tukang cilok dipinggir jalan, Ma," ucapnya mengejekku. Aku mencibir kearah bocah tengil itu. "Kamu ini, dia Lisa. Guru baru Radit. Reni guru yang lama udah gak ngajar lagi!" Ujar Mamanya. Fandi menelisikku kemudian mengangguk. "Udah kamu kirim bingkisan buat Tante Tiara, Fandi?" tanya Mamanya, "Udah, Ma!" Kata bocah tengil itu seadanya. "Ya udah, Mama mau bersiap dulu ya. Mau pergi arisan. Teman teman Mama bentar lagi kesini, kami mau pergi bareng! Fandi kamu buatkan Lisa minuman dan kasih Radit cemilan." Perintah Mamanya. Fandi menatapku sengit. Mungkin kesal karena dia disuruh-suruh mamanya. "Kok aku sih, Ma. Dari tadi gak Mama buatkan dia minum!" Protes Fandi gak terima. "Tadi baru sesi perkenalan dan baru mulai belajar, sudah setengah jam juga makanya karena kamu datang, kamu yang buatkan Lisa minuman." "Gak apa apa Bu, saya gak haus kok," selaku menatap sengit juga bocah tengil itu. "Gak boleh gitu Lisa, kamu kan …." "Oke, Fandi buatkan dia minum," kata Fandi akhirnya mengalah. "Nah gitu dong. Ya sudah Mama mau bersiap dulu." Sang Mama tersenyum ke arahku. Sementara bocah tengil itu menatapku kesal, aku yakin dia mencercaku habis habisan dalam hatinya. ** Dia kemudian datang membawakan ku minuman dan camilan. Radit masih berkutat dengan soal-soal matematika yang kuberikan. "Ini, Tante minumlah," ujarnya memberikan minuman itu padaku. Adiknya Radit tertawa ketika Fandi memanggilku Tante. Aku mendengkus kesal dan melirik minuman yang diberikannya. Teh manis dingin. "Udah cepetan, Minum," ujarnya lagi. Aku merasa curiga namun sungguh aku haus sekali. Botol air mineralku ketinggalan dimeja makan rumahku karena buru buru kesini. Aku berpikir tak mungkin dia meracuniku. Akukan wanita terhormat, guru privat adiknya. Kuminum teh itu dengan cepat. Sekali minum langsung habis. Dia tertawa melihat aku sudah habis meminum air itu. "Kok kamu tertawa, bocah. Kamu campur racun ya? Awas kalau aku mati, kamu orang pertama yang aku hantui!" ujarku ketus. Dia hanya tertawa saja. Aku menjadi curiga. "Aku ke kamar dulu, Tante," ucapnya menatapku senang. ** Kepalaku rasanya pusing setelah minum air itu. Jantungku berpacu lebih kencang. Aku tak kuat lagi, aku permisi sebentar pada Radit untuk ke toilet. Setelah menunjukkan jalannya, aku bersegera kesana. Dadaku naik turun tak beraturan, rasanya tubuhku begitu panas. Kulihat bocah tengil itu sedang duduk manis sambil bermain video game. Dia melihatku yang sudah sempoyongan. "Gimana, kamu sakit perut ya," ujarnya padaku. Dengan sisa kesadaran ku, aku mendatanginya. Dia pasti sudah menaruh obat pada minumanku. Bocah sial. "Heh, kamu taruh apaan keminumanku. bocah tengil." Aku memarahinya. "Gak ada kok, cuma air biasa aja." "Gak mungkin. Tubuhku rasanya panas dan ada gelenyar aneh. Aku ingin di peluk," ujarku memelas. Fandi membelalakkan mata. "Aku kasih obat sih, cuma obat sakit perut. Kamu baik baik saja, 'kan?" Dia tampak khawatir. "Bocah jahat kamu. Kamu harus tanggung jawab," kataku meremas remas pakaiannya. "Idih, apaan aku gak ngapa-ngapain kok," katanya. Aku semakin kesal padanya, dengan sisa kekuatanku, aku berniat memukulnya namun tubuhku malah terjatuh diatasnya. "Assalamualaikum, Jeng Ayu." Beberapa Ibu kompleks datang dan menyaksikan keadaan kami. Sungguh memalukan mereka pasti berpikir aku dan bocah tengil itu sudah berbuat m***m. "Jeng Ayu. Anakmu main kuda kudaan dirumah mu Jeng," kata mereka berteriak. Tak berselang lama Mama Fandi keluar. Betapa kagetnya dia melihat aku dan bocah tengil itu ….

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Tunangan Pengganti CEO

read
1K
bc

TERNODA

read
198.5K
bc

TAKDIR KEDUA

read
33.9K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.3K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.6K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook