RUMAH TUA
“Aku tatap dirinya yang sama persis dengan diriku, bagai pinang dibelah dua, hanya saja wajahnya terlihat lebih pucat dengan tatapan mata yang kosong. Saat aku berkaca, dia selalu muncul sebagai bayanganku di cermin. Tatap mata yang nyalang, bagai menembus jiwaku. Saat bayanganku tersenyum, terlihat wajahku yang dingin dan kaku. Dia mirip denganku, tapi bukan AKU.”
***
Perjalanan dari bandara Syamsudinnoor menuju kampung halamannya tak terlalu lama. Sekitar dua jam.Terlihat gadis itu melempar pandangan keluar jendela mobil. Siluet masa kecil melintas samar. Sesekali dia mengerjap seolah ingin menembus kembali pada masa itu.
Beberapa kali dia menghembuskan napas panjang. Teringat kalimat yang di lontarkan sang nenek sebelum meninggal.
“Sofia, pergilah ke kampung halamanmu yang dulu. Juallah rumah peninggalan papa dan mama kamu!”
Saat asyik dalam lamunan. Tiba-tiba, dirinya terkesiap saat sopir taxy menegurnya.
“Mbak! Sudah sampai,” ucapnya.
“Oh, i-iya Pak. Terima kasih.” Seraya Sofia Hasbi memberikan lembaran uang dan turun dari mobil.
Sofia berdiri tepat di depan pintu pagar yang sudah berkarat, dengan tas ransel di punggungnya. Banyak bagian di mana catnya mulai terkelupas. Dia memandang lekat ke arah rumah tua itu. Rumah yang masih telihat kokoh dan tak menghilangkan kesan mewah saat di masanya dulu.
Rumah peninggalan papa dan mama, yang sudah dia tinggalkan sejak lima belas tahun yang lalu. Setelah kematian orang tuanya.
Samar gadis itu mendengar suara seseorang yang tengah memanggil namanya.
“Sofia! Sofia Hasbi!”
Seketika gadis berambut panjang itu, membalikkan tubuhnya yang semampai, seraya melepas topi yang melekat di kepala. Rambut hitam lurus langsung berkibar ditiup oleh angin.
Sofia melihat seorang lelaki tua berjalan mendekat. Kisaran berumur enam puluh tahun, mengenakan kopiah hitam yang menutupi sebagian rambut putihnya.
“Sofia kah?” tanya lelaki itu ragu.
“Iya, Paman. Apa ini Paman Botek?”
Lelaki itu mengangguk perlahan, seraya tersenyum lebar. Dia seperti senang dengan kedatangan Sofia.
“Kapan datang?”
“Baru saja, Paman,” jawab Sofia santun.
Kemudian, Paman Botek membuka gembok pada pintu pagar besi. Terlihat cukup sulit, mungkin terlalu berkarat.
Kreeekkk!
Suara pagar yang berderit, memberi kesan seram di hati Sofia Hasbi. Dia berjalan mengikuti langkah paman Botek yang mendahuluinya. Sejenak Sofia seperti tertahan. Dia mengamati seluruh rumah itu dari luar, berikut halaman yang tak begitu terawat.
“Rumah ini masih seperti dulu, hanya saja sudah enggak ada tanaman indah yang menghiasi. Hanya ada satu pohon aja di pojok. Kayaknya sih, buah kasturi dan buah kecapi” bisik Sofia.
Sesaat, Sofia terbawa suasana di masa kecil dulu. Saat tengah asyik bermain kelereng seorang diri, ditemani sang mama. Namun, Sofia tiba-tiba teringat saat dirinya selalu melihat bayangan seorang gadis kecil yang bersembunyi di balik pohon rambutan saat itu.
“Siapa Sofia?”tanya sang mama.
Sofia kecil hanya menggelang, Dengan pandangan terus mengarah pada pohon rambutan. Sofia kecil memiliki rambut hitam panjang, yang sering dikepang dua. Bahkan dia sangat menyukai disaat sang papa menyisir rambut dan memberi pita disela kepangannya. Gadis itu pun tersenyum.
Tiba-tiba ….
“Sofiaaa!” Paman Botek berteriak ke arahnya. Yang masih berdiri di tengah halaman. Sembari senyum-senyum sendiri.
Sofia terperanjat. Segera dia membuyarkan kenangan masa lalu yang mendadak menyeruak ke dalam lamunan.
“Iya, Paman!”
“Ayo, naik sini!”
Sofia berlari kecil menuju teras rumah. Paman Botek sedang membuka kunci pintu utama rumah ini.
Kriiiet!
Derit pintu kembali terdengar nyaring. Membuat Sofia mengernyit. Seraya mengamati engsel yang berada di sisi dalam pintu.
“Besok akan Paman kasih minyak biar enggak bunyi.”
“Makasih, Paman. Soalnya Sofia agak parno dengan suara pintu yang berderit. Sedikit serem, terus kayak angker gitu.”
“Iya … iya. Besok pasti udah enggak bunyi lagi.”
Pintu utama rumah mulai terbuka sedikit. Paman Botek bergegas mendahului masuk. Bangunan rumah ini, masih terlihat sama. Seperti lima belas tahun yang lalu. Bagian luar rumah terbuat dari dinding beton yang kokoh. Saat berada di dalam, lantai dan beberapa ornament masih terbuat dari kayu ulin yang kuat.
Berulang kali gadis itu menghembuskan napas panjang. Ada desir lembut yang merayapi hati dan perasaan Sofia saat ini. Tak bisa dia gambarkan. Antara kenangan masa lalu dan aura yang terlihat aneh baginya.
“Paman yang jaga rumah ini dari dulu?” tanya Sofia, mengikuti langkah lelaki itu, masuk menuju ruang tengah.
“Yah, Sofia lupa?”ucapnya dengan dialek Banjar.
“Iya, Paman! Sofia lupa.”
“Dulu Paman ikut di rumah ini. Sebelum kamu lahir, saat orang tuamu masih pengantin baru. Papa kamu pengusaha ekspedisi yang sukses kala itu Sofia.”
Kemudian, Paman Botek menghentikan kalimatnya dan terdiam. Tampak kedua bola mata yang berkaca-kaca, dengan gerakan cepat ujung jarinya mengusap kasar.
“Ada apa, Paman?” Sofia terus memperhatikan lelaki tua itu. Dari gurat wajahnya berubah, membuat sang gadis penasaran. Kesedihan apa yang terjadi kala masih bersama orang tuanya.
“Kada (Tidak) apa-apa, Sof. Cuman sedih haja.”
“Boleh aku lihat-lihat Paman?”
“Silakan haja Sofia. Ini rumah kamu. Kamu bebas melakukan apa pun tanpa bilang ke Paman. Soalnya Paman ini hanya ditugasi Bu Syarif menjaga dan merawat rumah ini.”
Kembali Sofia tersenyum lebar padanya. Dia mulai berjalan mengitari ruang tamu, yang masih sama saat lima belas tahun yang lalu. Tampak debu menyelimuti semua perabotan yang tertutupi oleh plastik transparan.
“Paman yang beri plastik ini?”
“Iya, Bu Syarif yang suruh.”
“Oh, Nini sering kontak ya, Paman?”
“Sering sekali. Bahkan sebelum Sofia datang beliau pun masih ada kirim sms.”
“Kirim SMS, Paman?” tanya Sofia dengan kedua bola mata membulat. Seolah terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Paman Botek. “Sebelum saya datang, Paman?” ulang Sofia, sembari tak berkedip menatapnya.
Lelaki itu mengangguk.
“Kenapakah?” tanya lelaki itu mulai keheranan. Saat melihat reaksi yang ditunjukkan oleh Sofia.
“Paman apa tidak mendengarkah, kalau Nenek sudah meninggal satu tahun yang lalu?”
“A-apa …?”
Paman Botek tersentak, kaget. Kunci rumah yang dibawa sampai terjatuh. Kedua tangannya bergetar. Seketika raut wajahnya terlihat sangat pucat. Dia melepas kopiah hitam yang dikenakan. Serta mengacak rambut yang memutih.
_oOo_
Hai Readers! Salam kenal ya.